Woman’s Cinema: Between Empowering and Stereotyping
Representasi Perempuan dalam Film
Gagasan tentang woman’s cinema yang muncul sekitar awal tahun 1970an tidak bisa dilepaskan dari problem representasi perempuan dalam film Hollywood klasik. Para teoritikus film feminis seperti Laura Mulvey dan Claire Johnston menilai representasi perempuan dalam film bersifat negatif dan mengalami distorsi. Pemikiran dan gerakan feminis yang berkembang saat itu menjadi wacana ideologis yang ditujukan untuk menggoyang hegemoni ideologi patriarki, khususnya dalam dunia sinema. Perbincangan tentang film feminis itu sendiri terkait erat dengan pemikiran John Berger dalam bukunya Ways of Seeing (1972) tentang looking. Menurutnya melihat dan dilihat merupakan proses yang terkait erat dengan persoalan seksual dan relasi kuasa. Berger mengatakan,
Men act and women appear. Men look at women. Women watch themselves being looked at. This determines not only most relations between men and women, but also the relation of women to themselves. The surveyor of woman in herself is male: the surveyed female. Thus she turns herself into an object – and most particularly an object of vision – a sight. (Berger 1972: 47)
Pandangan Berger tersebut menjadi pondasi munculnya berbagai pemikiran terkait posisi perempuan dalam sebuah film. Johnston (dalam Mulvey, 2015:5) menegaskan bahwa dalam suatu ideologi yang didominasi laki-laki, perempuan ditampilkan sebagaimana ia tampil untuk laki-laki. Perempuan ditampilkan sebagai potongan gambar dalam film, tetapi perempuan sebagai perempuan sendiri seringkali tidak hadir. Menurutnya, perempuan dalam film berfungsi sebagai tanda, tetapi tanda tersebut bukan didasarkan realitas kehidupan perempuan. Hal senada disampaikan Mulvey (2015:22) yang menegaskan bahwa di dunia yang ditata oleh ketidakseimbangan seksual, kenikmatan dalam menonton telah memisahkan antara penonton aktif (laki-laki) dan penonton pasif (perempuan). Dalam konteks ini, perempuan menjadi objek tatapan. Tubuh perempuan dierotiskan dan difragmentasi untuk memenuhi kepuasan penonton.
Mulvey melalui tulisannya yang berjudul Visual Pleasure and Narrative Cinema (dalam Kellner, 2006: 246) mengatakan, dalam sebuah film, mata kamera diibaratkan sebagai mata laki-laki sehingga tampilan perempuan dalam media cenderung patuh pada kontrol tatapan mata laki-laki. Posisi laki-laki merupakan subjek aktif, sedangkan perempuan sebagai objek pasif. Selanjutnya Mulvey menegaskan, perempuan tidak diposisikan sebagai subjek yang memiliki kuasa atas dirinya sendiri, tetapi seringkali diposisikan sebagai objek bagi hasrat laki-laki (male gaze). Pembagian antara penonton aktif (laki-laki) dan penonton pasif (perempuan) berimbas pada pembentukan struktur narasi film. Pahlawan laki-laki dalam film dianggap sebagai pembawa cerita, sedang perempuan berperan sebagai tontonan erotis. Lebih lanjut Mulvey menjelaskan bahwa kode-kode sinematik tidak hanya membentuk pemahaman melalui citra-citra visual tetapi juga melalui kemampuan film mengendalikan dimensi ruang dan waktu, melalui tahapan pemilihan gambar, pembingkaian, penyuntingan, dan narasi.
Berangkat dari pemikiran tersebut, para teoritikus film feminis mewacanakan film-film baru yang mampu merepresentasikan perempuan dalam sebuah “kontra sinema feminis” (feminist counter cinema). Pemikiran kritis Mulvey bahkan tidak hanya berhenti pada tataran wacana akademis kritis. Mulvey juga berupaya mewujudkan wacana tersebut dalam bentuk kerja sineas untuk menghasilkan film-film yang mengarah pada kontra narasi klasik Hollywood. Kaum feminis percaya, melalui bahasa estetik yang ada, film bisa menjadi sarana efektif untuk mensosialisasikan wacana ideologis gerakan feminisme dalam nilai dan praktik kehidupan sosial. Sebab, film sendiri menurut Commolli dan Narboni dalam Kauvaros (2006: 377) merupakan produk ideologis dan bersifat politis karena ditentukan oleh ideologi pihak yang memproduksinya.
Selain sebagai alat sosialisasi ideologi feminis, film juga memiliki arti penting bagi representasi citra perempuan. Teresa de Lauretis (dalam Mulvey, 2015: 21) menyebutkan,
“cinema works most effectively as an imaging machine, which by producing images (of women or not of women) also tends to produce woman as image. The stakes for women in the cinema, therefore, are very high and our intervention most important at the theoretical level.”
Mengacu pendapat de Lauretis tersebut, film dianalogikan sebagai mesin yang mampu membentuk citra seseorang. Oleh karena itu, woman’s cinema menjadi poin penting dalam gerakan feminsime yang harus diperjuangkan dan diwujudkan. Representasi perempuan dalam film yang kerap bias gender itu, juga menjadi perhatian tersendiri saat kemunculan jurnal feminis Woman and Film tahun 1972. Jackson dan Jones (2009: 364) menjelaskan bahwa kehadiran jurnal tersebut bersifat politis yang merupakan bentuk perlawanan terhadap citra perempuan dalam film dan peran perempuan dalam industri film.
Subjek Perempuan dalam Woman’s Cinema
Persoalan representasi yang dinilai tidak menguntungkan perempuan disikapi kaum feminis dengan upaya memunculkan woman’s cinema. Apa sesungguhnya woman’s cinema itu? Dalam sebuah buku yang berjudul “Woman’s Cinema the Contested Screen”, Butler (2002: 1) memulai diskusinya dengan mengatakan woman’s cinema adalah konsep yang sangat sulit didefinisikan. Menurutnya, woman’s cinema bisa berarti film yang dibuat oleh perempuan, film untuk perempuan, film yang bercerita tentang perempuan, atau bahkan ketiganya. Butler menambahkan woman’s cinema merupakan konstruksi kritik dan teori yang cukup komplek dari proses hibridisasi sejumlah praktik dan wacana yang tumpang tindih dan tunduk pada berbagai definisi yang membingungkan.
Meskipun demikian, Butler memberikan wacana umum tentang woman’s cinema dengan melihat pada karakteristiknya, seperti dalam kutipan berikut:
Women’s cinema is not ‘at home’ in any of the host of cinematic or national discourses it inhabits, but . . . is always an inflected mode, incorporating, reworking and contesting the conventions of established traditions. . . . The distinctiveness of women’s film-making is therefore not based on an essentialist understanding of gendered subjectivity, but on the position – or positions – of women in contemporary culture . . . : neither included within nor excluded from cultural traditions, lacking a cohesive collective identity but yet not absolutely differentiated from each other (Butler 2002: 22).
Melihat paparan tersebut, woman’s cinema dipahami sebagai ideologi yang bertujuan membongkar berbagai tradisi, terutama terkait pemahaman subjek gender yang bersifat esensialis. Woman’s cinema menempatkan perempuan sebagai subjek dalam budaya kontemporer yang berupaya melepaskan diri dari tradisi yang melingkupinya. Secara spesifik, de Lauretis (1984: 8) menyebutkan, salah satu tugas woman’s cinema adalah kemampuannya mengkonstruksi sesuatu yang berbeda terkait dengan kenikmatan naratif dan visual, yang tidak hanya didasarkan pada subjek laki-laki.
Smelik dalam tulisannya yang berjudul Feminist Film Theory (2016) menyebutkan salah satu yang menjadi perhatian woman’s cinema adalah “visual pleasure” yang mengintegrasikan struktur voyeurisme dan narsisme ke dalam cerita dan gambar. Voyeurisme dipahami sebagai suatu kenikmatan visual dengan melihat orang lain sebagai objek, sedangkan narsisme merupakan kenikmatan visual yang diperoleh melalui identifikasi tokoh yang ditampilkan dalam gambar. Dalam film Hollywood klasik, baik vouyerisme maupun narsisme ditampilkan berdasarkan pada konteks ‘male gaze’.
Kemunculan woman’s cinema mengubah pandangan tersebut. Kamera bukan lagi sebagai kepanjangan mata laki-laki dan lebih bersifat netral. Karakter perempuan dan penonton perempuan tidak lagi menjadi objek. Perempuan dalam film bisa tampil cantik sekaligus memiliki kekuatan, bukan lagi sebagai tubuh yang dijadikan objek hasrat laki-laki. Smelik (2016) mencontohkan perubahan tersebut melalui berbagai film kategori neo–femme fatale yang menjadi bagian penting woman’s cinema. Melalui neo-femme fatale, penonton perempuan juga memiliki kesempatan memuaskan fantasinya lewat pahlawan perempuan, yang selama ini dilekatkan pada laki-laki. Smelik (dalam Buikema, 2009) menjelaskan dalam film Hollywood klasik, tubuh perempuan yang dierotiskan akan selalu diikuti oleh kekerasan seksual, seperti perkosaan dan pada akhirnya terbunuh. Sebaliknya, dalam konteks woman’s cinema, tokoh perempuan digambarkan memiliki kekuatan untuk melawan balik dan tetap hidup hingga film berakhir, seperti dalam film Basic Instinct (1992) dan The Last Seduction (1994). Helen Hanson (dalam Farrimond, 2018: 5) menjelaskan neo-femme fatal menampilkan serangan balik atas posisi perempuan sebagai objek seksual. Kebangkitan femme fatale di bioskop 1980an dan 1990an sekaligus menandai kebangkitan feminisme.
Woman’s Cinema dan Problem Representasi
Berbagai paparan di atas menunjukkan, cita-cita ideal woman’s cinema, dengan demikian, adalah sebisa mungkin menjadikan tubuh dan narasi sebagai bagian strategis untuk menghancurkan narasi klasik yang menempatkan perempuan sebagai objek tatapan. Selain itu, penonton tidak lagi disuguhi narasi tubuh tradisional, melainkan sebuah teknik penceritaan, penokohan, dan pengambilan gambar yang mengedepankan inovasi agar mampu menghadirkan dialektika bagi penontonnya. Sebagaimana dikatakan Mulvey, “feminist cinema was to be an avant-garde film practice that would free the look of the camera into its materiality in time and space and the look of audience into dialectics and passionate detachment (1989:26).”
Untuk mewujudkan cita-cita ideal tersebut dibutuhkan insan-insan film perempuan yang memiliki komitmen tinggi untuk mencetak film feminis. Persoalannya adalah, seberapa banyak jumlah perempuan yang terjun di dunia sinema, baik sebagai produser, sutradara, maupun penulis naskah. Berdasar data statistik 2020 yang dikeluarkan oleh Center for the Study of Woman in Television and Film, jumlah perempuan yang memegang posisi kunci dibalik produksi sinema di Hollywood (sutradara, penulis, produser, sinematografer, dan editor) hanya mencapai 34%. Jika woman’s cinema dikaitkan dengan definisi sebuah film yang diproduksi oleh perempuan, maka jumlah tersebut bisa dikatakan belum memadai. Kita juga perlu mempertanyakan, apakah mereka semua memiliki perhatian yang sama terhadap persoalan feminisme yang ditandai dengan hadirnya produk film feminis? Seberapa besar pula keberpihakan dan pemahaman mereka terhadap persoalan feminis, khususnya terkait representasi perempuan dalam dunia media?
Keberpihakan dan pemahaman terhadap persoalan feminis menjadi poin penting ketika berbicara woman’s cinema. Sebab, hal tersebut akan berkontribusi terhadap produk film yang dihasilkan. Sebuah film yang merepresentasikan citra perempuan yang diangankan oleh gerakan feminisme, sekaligus memberikan gambaran tentang pemberdayaan perempuan. Bagaimana perempuan dicitrakan dalam film merupakan kunci utama makna pemberdayaan, terlepas dari siapa sosok yang berperan dibalik layar. Untuk menjawab sejumlah pertanyaan tersebut, tulisan ini mencoba melihat dua film yang melibatkan sineas perempuan, diperankan oleh perempuan, dan bercerita tentang perempuan. Kedua film tersebut adalah ‘Bye Bye Body’ dan ‘Tilik’. Tulisan ini akan mengungkap representasi perempuan dalam kedua film tersebut sebagai perwujudan woman’s cinema. Selain itu, tulisan ini ingin menggali apakah film feminis mampu menghadirkan konsep pemberdayaan yang berkontribusi pada citra positif perempuan, atau justru melegitimiasi dan menaturalisasi stereotype perempuan yang telah berkembang di tengah masyarakat.
Antara Empowering dan Stereotyping
Bye Bye Body merupakan film pendek yang digarap sutradara perempuan, Charlotte Benbeniste dan juga produser perempuan, Barbara Twist dan Amanda Friedman. Film yang diproduksi di Amerika tahun 2019 itu juga didominasi pemeran perempuan. Bye Bye Body menceritakan tentang perempuan bernama Nina, diperankan oleh Kat Christiansen yang memiliki problem berat badan. Ia mencoba menurunkan berat badannya dengan mengikuti sejumlah latihan di sebuah camp penurunan berat badan. Sayangnya hingga minggu terakhir program berjalan, berat badan Nina tidak kunjung berkurang. Dalam keputusasaannya, Nina dikenalkan dengan seorang pria yang akhirnya mengajaknya kencan sekaligus melakukan hubungan seks. Pengalaman tersebut menjadi hal penting yang mampu menumbuhkan kepercayaan diri Nina, meski dengan kondisi tubuh yang dirasa tidak ideal. Nina bahkan tidak lagi mempersoalkan bentuk tubuhnya setelah menyadari bahwa masih ada pria yang masih mau mengencani dan tertarik dengan tubuh gemuknya. Perubahan sikap dan emosi yang mencerminkan hal tersebut nampak sangat jelas yang ditampilkan dengan visualisasi wajah ceria dan sikap yang tidak lagi murung seperti yang digambarkan sebelumnya. Penggambaran tubuh dan adegan seks dibidik melalui kamera pada 35mm yang bisa dinikmati penonton dengan tampilan close up. Benbensite berupaya menampilkan film tentang tubuh-nya terasa menyentuh dan hidup. Film tersebut dinilai sebagai film pemberdayan perempuan dan berhasil meraih Vimeo Staff Pick Award, Aspen Shortsfest. (Sumber: https://www.shortoftheweek.com/2020/10/22/bye-bye-body/)
Bye Bye Body yang hampir sepenuhnya digarap oleh perempuan dan menampilkan cerita tentang perempuan, menjadi bukti kemampuan perempuan mewarnai panggung sinema. Persoalannya adalah ketika kehadiran film feminis diorientasikan untuk mendobrak objektifikasi tubuh perempuan dan memposisikan perempuan sebagai pemilik kuasa atas tubuhnya, benarkah Bye Bye Body menjawab tujuan tersebut? Dalam film tersebut dengan jelas digambarkan kepercayaan diri perempuan muncul setelah mendapatkan sentuhan tangan laki-laki yang berorientasi pada objektifikasi tubuh perempuan sebagi pemuas seks. Afirmasi tersebut bukan didasarkan pada penghargaan laki-laki yang didasarkan pada kemampuan berpikir ataupun kepribadian perempuan.
Jika dilihat dari alur cerita, film ini mengakhiri ceritanya dengan kebahagiaan perempuan yang juga diraih melalui kehadiran laki-laki. Hal ini mempertegas citra perempuan yang lemah dan membutuhkan sosok lain (laki-laki) agar dirinya menjadi kuat dan bangkit. Visualisasi dan ending cerita itu mengandung pesan bahwa kebahagiaan dan kepercayaan diri perempuan tidak bisa dilepaskan dari sosok laki-laki, yang dicitrakan sebagai sosok kuat dan mampu menjadi pelindung. Penggambaran ini tidak berbeda dengan citra perempuan yang ada di sejumlah film Hollywood klasik, terutama film-film yang menggambarkan para ‘princess’ yang mengejar kebahagiaan dari belaian seorang pangeran.
Hal lain yang perlu dicermati adalah terkait tatapan kamera. Pengambilan gambar yang kebanyakan dilakukan dalam jarak dekat dan menfokuskan pada lekuk tubuh memberikan kesempatan penonton untuk leluasa menikmati tubuh perempuan. Apalagi angel pengambilan gambar secara close up banyak dilakukan dalam kondisi perempuan mengenakan kostum renang. Hal yang juga layak diperdebatkan adalah pengambilan gambar saat adegan seks, yang mempertontonkan tubuh Nina menjadi objek hasrat laki-laki. Adegan tersebut sangat berbeda dengan penggambaran kuasa perempuan atas tubuhnya dalam film Basic Instinct. Jika dikaitkan dengan upaya kaum feminis menghadirkan woman’s cinema, representasi tersebut justru menguatkan posisi ‘male gaze’ yang konon ingin dilawan oleh kaum feminis.
Berbagai analisa di atas menggiring pemikiran kita tentang bentuk woman’s cinema. Layakkah sebuah film dikatakan woman’s cinema hanya karena digarap dan dimainkan oleh perempuan tanpa memperhatikan pesan yang muncul di layar? Menurut Buikema (2009), perempuan tidak cukup hanya hadir, karena representasi tidak hanya persoalan hadir atau tidak hadir. Dalam tulisan yang berjudul “The Arena of Imaginings: Sarah Bartmann and the Ethics of Representation (2009: 72), Buikema menjelaskan language can be a means of making present whatever is absent. Terkait hal ini, Buikema (2009) menjelaskan bahwa bahasa adalah alat untuk membuat sesuatu yang sebelumnya absent menjadi present. Oleh karena itu, kita perlu memastikan; bahasa seperti apa yang digunakan untuk membicarakan perempuan, siapa yang membicarakan, dan dalam kontek apa perempuan dihadirkan dan diposisikan.
Jika para sineas yang terlibat dalam film Bye Bye Body memiliki preferred reading terkait pemberdayaan, bisa jadi audience akan memiliki pemikiran berbeda yang justru pada posisi oppositional reading. Hall (1997: 10-11) menjelaskan bahasa dalam konteks representasi baik yang berbentuk suara, citra visual, ekspresi wajah, maupun gesture, bukan semata milik pembicara, melainkan milik bersama sesuai kesepakatan sosial yang berlaku. Selain itu, Hall (1997) juga menegaskan, representasi bukanlah praktik yang netral dan bebas nilai, karena praktik produksi makna selalu melibatkan upaya seleksi, reduksi, penambahan, pembingkaian, dan berbagai tindakan lainnya.
Selain Bye Bye Body, tulisan ini juga akan melihat konteks woman’s cinema melalui film Tilik. Berbeda dengan Bye Bye Body, Tilik bukanlah film yang menonjolkan representasi dalam bentuk citra visual. Tilik lebih menitikberatkan pada narasi perempuan yang suka bergosip, menggunjing dan seksis terhadap sesama perempuan. Film yang berdurasi 30 menit itu, didominasi oleh pemeran perempuan, dengan tokoh utama yang paling menonjol adalah Bu Tejo. Dari awal hingga akhir film, dialog para tokohnya menfokuskan pada perbincangan tentang sosok Dian, baik terkait profesi, hubungan asmara, pendidikan, kesehatan, harta benda, penggunaan susuk, hingga kekayaan ibunya. Bu Tejo menggunakan informasi ini untuk meyakinkan ibu-ibu lain bahwa Dian adalah ‘gadis nakal’. Berbicara paling keras, dan memiliki mulut yang besar, Bu Tejo berada di tengah frame sebagian besar film, dan mendominasi film tersebut. ‘Tilik’ merupakan film pendek karya anak bangsa yang dirilis pertama kali tahun 2018. Tilik merupakan Bahasa Jawa yang berarti menjenguk. Film garapan sutradara Wahyu Agung Prasetyo dan produser Elena Rosmeisara itu terbilang film pendek yang sukses di pasaran. Selain meraih piala Maya, film yang diunggah di kanal Youtube 17 Agustus 2020 itu juga menyedot perhatian pemirsa. Liputan6.com melansir, film ini ditonton 20 juta orang (https://www.liputan6.com/showbiz/read/4344625/film-tilik-tembus-20-juta-penonton-bu-tejo-dapat-gelar-ratu-gibah-indonesia).
Tilik menfokuskan pada dialog para tokohnya yang sarat dengan bahasa seksis. Penggambaran perempuan sebagai subjek seksisme mendominasi sebagian besar narasi film. Hal ini bisa dilihat dari berbagai kalimat yang disampaikan Bu Tejo selaku pemeran utama dan diaminkan oleh sebagian besar perempuan dalam film tersebut. Di awal adegan (menit 01:22-01:25), tokoh utama, Bu Tejo membuka percakapan “Dian ini kerjanya apa, ya? Kok, ada yang bilang kerjaanya enggak bener.” Untuk meyakinkan kalimat tersebut, Bu Tejo memaparkan bahwa pekerjaan Dian sering keluar masuk hotel dan mall. Percakapan ini mengindikasikan bahwa perempuan dicitrakan ‘enggak bener’ hanya karena aktivitasnya keluar masuk hotel dan mall.
Pelecehan terhadap Dian terus berlanjut. Pada menit 04:27- 04:28, tokoh lain yang bernama Bu Tri mengatakan “kalau Dian kerjaannya jelas, nggak mungkin punya barang yang seperti itu.” Kalimat ini muncul akibat profokasi Bu Tejo yang mengatakan bahwa Dian memiliki banyak barang baru dan mahal, padahal belum lama bekerja. Dialog ini menunjukkan bahwa perempuan selalu pada posisi mencuriga perempuan lain yang sukses. Sebaliknya, kesuksesan perempuan juga belum tentu diapresiasi sebagai sebuah prestasi, bahkan dicurigai.
Tilik tidak hanya membingkai seksisme terhadap perempuan yang dianggap ‘nakal’ seperti Dian. Yu Ning, sosok perempuan yang memiliki pemikiran kritis dan mencoba menawarkan narasi berbeda dengan Bu Tejo, juga menjadi objek seksisme. Pada menit 04:44-04:48, Bu Tejo mengatakan “makanya Yu Ning, rajin-rajin baca berita dari internet dong.” Kalimat tersebut muncul akibat Yu Ning mencoba menegur ibu-ibu lain agar tidak percaya begitu saja dengan berita yang beredar. Menurutnya informasi internet belum bisa dipastikan kebenarannya. Karakter Yu Ning sebagai perempuan yang tidak mudah termakan issue justru diposisikan sebagai “the other” sebagai liyan. Yu Ning dicitrakan tidak seperti perempuan pada umumnya, hanya karena tidak percaya dengan sebuah gosip yang belum tentu kebenarannya.
Pada adegan selanjutnya, di menit 06:34 – 06:33, Bu Tejo kembali bergosip tentang Dian, yang dianggapnya hamil. “Itu kalau bukan muntah gara-gara hamil, kenapa juga dia harus pergi.” Kalimat ini memperkuat citra Dian yang dianggap sebagai perempuan ‘nakal’, sehingga memungkinkan hamil di luar nikah. Padahal, dalam film ini, Dian diceritakan sebagai perempuan yang belum bersuami. Ketika dimunculkan tudingan hamil, artinya kehamilan itu terjadi disetting sebagai kehamilan di luar pernikahan. Dalam konteks budaya Indonesia, perempuan yang hamil di luar nikah cenderung dinilai bermoral rendah. Kehamilan di luar nikah juga kerap dipakai untuk menunjukkan bahwa seksualitas perempuan kotor sehingga perempuan yang hamil di luar nikah dianggap hina. Dengan penggambaran tersebut, Tilik memberi ruang bahwa perempuan layak dihujat dan dimarginalkan.
Dalam Tilik, perempuan yang terpilih menjadi pemimpin juga dicitrakan belum tentu didasari kemampuan. Hal ini terlihat dari dialog supir truk, Gotrek pada menit 12.06, yang mengatakan “yang jadi Lurah Dian aja gimana? bapak-bapak pasti milih semua.” Alasan memilih Dian yang disampaikan tidak terlepas dari perbincangan Dian sebagai kembang desa yang banyak memikat laki-laki. Tidak ada penjelasan tambahan yang disampaikan Gotrek, khususnya terkait kecakapan yang dimiliki Dian yang memungkinkan masyarakat, khususnya laki-laki memilihnya. Dialog ini menyiratkan pola pikir seksis bahwa perempuan adalah objek tatapan laki-laki. Peluang perempuan sebagai pemimpin pada akhirnya akan direduksi pada sekedar penampilan fisik yang membuat bapak-bapak terpikat.
Pada menit 15:07, Bu Tejo menyindir Dian dengan kalimat “orang udah seumurannya, kok belum nikah.” Tilik mencitrakan perempuan berumur yang belum menikah sebagai sesuatu yang pantas dipersoalkan. Alasan yang digunakan Bu Tejo adalah, teman-teman seumuran Dian sudah menikah semua. Perkataan Bu Tejo didasari oleh kekhawatiran jika Dian tidak menikah akan menggoda suami-suami mereka. Hal ini terlihat dalam dialog menit 15:41- 15:46, Bu Tejo mengatakan “Dian itu perempuan nakal yang bisa menggoda suami-suami kita.”
Puncak seksisme terjadi pada akhir adegan film. Dian digambarkan berpacaran dengan mantan suami Bu Lurah yang secara penampilan dan usia lebih tepat sebagai ayahnya. Tentu saja, persoalannya bukan pada boleh atau tidaknya perempuan menjalin hubungan dengan laki-laki yang usianya jauh lebih tua. Pembingkaian akhir cerita itu, secara tidak langsung menjadi pembenaran tindak seksisme yang dilakukan oleh Bu Tejo ke Dian. Hal ini sekaligus mencitrakan bahwa perempuan muda yang mendadak bisa hidup mapan, tidak bisa dilepaskan dari keberadaan laki-laki, baik sekedar sebagai pacar atau istri simpanan. Stereotype ini dibingkai sangat kuat, baik melalui bahasa, visual gambar, maupun alur cerita. Hal ini bisa dilihat dalam menit 29:26-30.10, ketika Dian menceritakan dirinya tidak nyaman dengan status hubungannya yang terus dirahasiakan. Tatapan kamera difokuskan pada tangan laki-laki tua yang menggenggam erat tangan Dian. Visualisasi dan ending cerita itu mengandung pesan bahwa kebahagiaan dan kedamaian perempuan tidak bisa dilepaskan dari sosok laki-laki, yang dicitrakan sebagai sosok kuat dan mampu menjadi pelindung.
Tilik sebagaimana Bye Bye Body membingkai cerita tentang perempuan dan diperankan oleh perempuan. Jika mengacu pada gambaran tentang woman’s cinema di atas, maka Tilik juga bisa menjadi ruang representasi perempuan melalui film. Pertanyaannya adalah dalam konteks apa perempuan direpresentasikan? Melalui tokoh utama yang dimunculkan, Tilik menawarkan narasi bahwa kecantikan dan kemandirin perempuan adalah sebuah ancaman, tidak hanya bagi laki-laki tapi juga perempuan. Hal ini dibuktikan dengan narasi yang dibangun oleh ibu-ibu dalam film itu, bahwa Dian bisa membuat resah rumah tangga dan desa mereka. Melalui tokoh utama, Tilik menggiring opini bahwa perempuan cantik dan mandiri, perlu diwaspadai. Hal yang lebih ironis adalah narasi tersebut dibangun dengan meminjam tubuh perempuan sebagai subjek dimana korbannya (objek) juga perempuan.
Kembali kepada tulisan Buikema (2009) representasi tidak sekedar persoalan hadir. Sangat disayangkan jika perempuan muncul dalam sinema, tapi kemunculannya justru melegitimasi stereotype perempuan yang memiliki karakter cenderung negatif. Tilik memang menonjolkan peran perempuan yang memiliki pengaruh sekaligus mampu membentuk opini publik. Namun penggambaran tersebut sangat dekat dengan stereotyping watak perempuan yang senang gosip, menggunjing, bahkan tidak rasional. Sebuah stereotype yang secara terus-menerus ditampilkan dalam dunia sinema sehingga melekat dalam memori pemirsanya. Label ‘the power of mak-mak’ yang sering muncul di berbagai perbincangan media misalnya, diperlihatkan dengan jelas ketika Bu Tejo dan ibu-ibu lainnya berhasil memperdaya dan memaksa polisi agar tidak menilang pelanggaran yang mereka lakukan. Perempuan dihadirkan dengan ‘power’nya yang berkonotasi negatif untuk melawan segala sesuatu yang menghalangi langkahnya. Label tersebut diperkuat dengan ucapan Bu Tejo “pokoknya kami akan tilik bu Lurah, titik.” Kata ‘pokoknya’ sangat mencerminkan cara berpikir yang tidak rasional, dan itu diidentikkan dengan perempuan. Adegan polisi di menit 23:35 yang kewalahan menghadapi mak-mak, menggambarkan perempuan bisa melakukan apapun dengan ‘power’ dan ‘kenekadan’ yang dimilikinya.
Dyer (dalam Kellner, 2006: 357-358) menjelaskan bahwa dalam film, stereotype dibangun melalui ikonografi dan struktur film. Dalam ikonografi, stereotype dibentuk melalui serangkaian tanda visual dan aural, seperti lewat suara, bahasa tubuh, bagian tubuh dan atribut-atribut lain yang ditempelkan pada karakter. Sedangkan stereotype dalam struktur film, dibangun melalui struktur statis dan struktur dinamis. Struktur statis merujuk pada bagaimana dunia yang disajikan dalam film itu diorganisir sedemikian rupa. Sedangkan struktur dinamis terkait bagaimana cerita dalam film disampaikan, yang biasa dikenal dengan istilah plot. Dyer (ibid: 361) menambahkan bahwa stereotype juga bisa dibentuk melalu karakter cerita. Dalam sebuah film, karakter dikonstruksi melalui berbagai medium, seperti naratif film yang terjadi dalam satu ruang dan waktu, serta acting individu dalam film tersebut.
Penutup
Berbagai persoalan yang dipaparkan di atas menunjukkan bahwa woman’s cinema yang dilahirkan untuk tujuan pemberdayaan perempuan, terkadang justru bisa menjadi sarana stereotyping perempuan. Oleh karena itu, kita tidak seharusnya terjebak pada perbincangan apakah sebuah film diproduksi sebagai woman’s cinema atau man’s cinema. Sebuah dikotomi femininitas dan maskulinitas yang justru memberi peluang perdebatan yang semakin menjauh dari makna pemberdayaan itu sendiri.