CALEG PEREMPUAN DAN DOMINASI PEMILIH PEREMPUAN
Deretan gambar calon legislatif (Caleg) perempuan menghiasi setiap sudut kota di tanah air. Sekilas nampak jumlah mereka tidak berbeda jauh dengan caleg laki-laki. Meski jika dilihat dari data riil, bisa dipastikan jumlah caleg perempuan masih lebih sedikit dibanding caleg laki-laki. Sebab, kuota yang tersedia untuk caleg perempuan memang hanya 30%.
Bukan hal yang salah ketika para caleg perempuan memasang poster dirinya dalam jumlah yang barangkali lebih banyak dari caleg laki-laki. Paling tidak, itu adalah sebuah upaya mendulang popularitas untuk meraih elektabilitas saat pemilihan legislatif 17 April nanti.
Lantas sejauh mana poster tersebut berimbas pada elektabilitas? Dilihat dari sudut pandang gender, caleg perempuan sesungguhnya memiliki peluang cukup besar. Sebab, jumlah pemilih perempuan pada setiap pemilihan legislatif selalu lebih tinggi dibanding pemilih laki-laki. Pada pileg 2019 ini, berdasar data KPU, pemilih perempuan mencapai 92.929.422 orang atau 50,6% dari total pemilih. Hal ini berbanding terbalik dengan jumlah caleg perempuan yang jumlahnya justru lebih sedikit dibanding laki-laki. Ini artinya dominasi pemilih perempuan sangat potensial sebagai pendulanng suara atau vote getter.
Dilihat dari sisi gender, para caleg perempuan secara otomatis memiliki kedekatan tersendiri dengan para caleg perempuan. Artinya, ada peluang yang cukup signifikan bagi caleg perempuan untuk mendapatkan suara banyak dari kaum yang diwakilinya. Pertanyaannya adalah mampukah para caleg perempuan memanfaatkan kondisi tersebut?
Pemaparan Program
Memasang poster banyak-banyak untuk sekedar tujuan popularitas bisa jadi membawa hasil yang cukup signifikan. Namun untuk meraih elektabilitas, pemasangan poster tentu saja jauh dari kata cukup untuk mencapai hal tersebut. Caleg perempuan perlu kerja keras dan kerja cerdas agar bisa memikat hati pemilih.
Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah pemaparan program. Sejauh mana caleg perempuan mampu membuat program yang keberpihakannya jelas kepada kaumnya. Sangat disayangkan jika para caleg sendiri tidak memiliki rencana matang apa sesungguhnya yang akan dilakukan setelah terpilih nanti.
Jika program sudah tersusun dengan baik, langkah yang harus diambil tentu saja adalah sosialisasi. Sosialisasi program tidak selamanya harus dalam bentuk kampanye. Perempuan adalah kaum yang paling banyak memiliki wadah berkumpul yang eksklusif yang kadang tidak dimiliki laki-laki. Lihat saja organisasi perempuan, dari yang berbasis organisasi keagamaan, politik, bisnis, hingga yang kecil-kecil seperti arisan tersedia di setiap penjuru wilayah tanah air. Tidak bisa dipungkiri perempuan memang makhluk yang paling senang membuat komunitas. Semua itu bisa menjadi wadah sosialisasi program dan dialog dengan calon pemilih yang relatif murah, meriah, dan tidak merepotkan. Dengan program yang jelas diharapkan pemilih perempuan memiliki rasa aman memberikan amanah kepemimpinan kepada sesama perempuan.
Namun realitanya, jangankan sosialisasi, program yang jelas dan terarah saja belum tentu mereka siapkan. Kalaupun ada caleg yang menyiapkan program barangkali prosentasenya belum memadai. Hal ini bisa terlihat selama masa kampanye berlangsung. Peluang, kesempatan, dan forum yang tersedia tidak dimanfaatkan dengan baik hingga jelang pileg berlangsung.
Alhasil, kami para pemilih perempuan seolah membeli kucing dalam karung yang tidak bisa diukur dengan jelas kualitasnya. Apakah hal tersebut akibat dari kurangnya kesiapan caleg perempuan dari sisi pengetahuan dan pengalaman? Jika ini yang terjadi, patut disayangkan. Sebab, di era revolusi industri 4.0 saat ini, segala sarana komunikasi untuk membekali diri menjadi orang yang berpengetahuan terbuka sangat lebar. Sangat disayangkan jika semua sarana tersebut hanya dimanfaatkan untuk personal branding yang bersifat sebatas pamer penampilan. Dominasi pemilih perempuan bisa jadi tidak terlalu signifikan menjadi pendulang suara hanya karena momentum tersebut tidak dimanfaatkan dengan baik.
Proses Pembelajaran
Menjadi calon legislatif idealnya harus melalui proses pembelajaran panjang. Ketika seseorang ingin menjadi wakil rakyat sudah semestinya ia membekali diri dengan segala kemampuan yang dipersyaratkan untuk menjadi juru bicara sekaligus pejuang bagi rakyat yang diwakilinya. Memang tidak bisa dipungkiri bekal lain berupa rupiah dalam jumlah besar mutlak diperlukan, karena realitanya biaya politik untuk menjadi caleg tidaklah murah.
Namun menjadi caleg secara instan hanya karena bermodal rupiah juga tidak dijamin membawa keberhasilan. Oleh karena itu, ketika seseorang memutuskan menjadi caleg, upaya membentuk popularitas dan pemahaman terkait dunia politik harus sudah dilakukan jauh hari sebelumnya.
Untuk melakukan hal tersebut, perempuan bisa aktif di organisasi perempuan atau bahkan di salah satu parpol. Hal tersebut harus dilakukan karena menjadi caleg tidak bisa mendaftar atas nama pribadi, namun harus melalui salah satu partai politik. Proses pembelajaran di organisasi ataupun parpol, harus dibarengi dengan upaya membekali dengan ilmu pengetahuan yang memadai. Dengan bekal tersebut, diharapkan perempuan bukan sekedar sebagai pelengkap keberadaan partai. Perempuan harus bisa memegang posisi penting jika kehadirannya ingin dilihat dan diperhitungkan oleh publik.
Langkah yang tidak kalah penting adalah perempuan harus siap dekat dengan calon pemilih dengan cara aktif dalam berbagai kegiatan yang berkembang di masyarakat. Terkadang faktor kesibukan perempuan di sektor domestik menjadi alasan tersendiri keengganan sejumlah perempuan menapaki jalan panjang menuju legislatif. Seringkali kemunculan mereka di tengah calon pemilih bersifat instan. Akibatnya, dominasi pemilih perempuan tidak menjadi peluang yang menguntungkan karena banyak diantara caleg perempuan sendiri kurang popular di tengah kaumnya.