KOMEDI TANTE LALA: REPRESENTASI SYMBOLIC ANNIHILATION PEREMPUAN DI MEDIA
ABSTRAK
Video Tante Lala merupakan video yang menggambarkan seorang ibu yang kesulitan dalam mendampingi anaknya belajar. Dalam video tersebut digambarkan Tante Lala yang marah-marah karena anaknya, Rafa yang tidak mampu menghafal sila pertama Pancasila. Video tersebut memberikan gambaran karakter perempuan yang lebih dekat dengan emosi dan seolah merepresentasikan karakter perempuan pada umumnya. Paper ini bertujuan untuk mengungkap bagaimana media melakukan symbolic annihilation perempuan melalui video Tante Lala. Paper ini juga akan menggali bagaimana pemirsa perempuan meresepsi konten video Tante Lala. Penelitian ini menggunakan metode hermeunatik untuk mengkaji teks dalam video. Hasil penelitian menunjukkan symbolic annihilation perempuan bisa ditemukan dalam dua bentuk. Pertama, symbolic annihilation ditampilkan melalui representasi bahasa yang digunakan dalam video baik berupa suara, citra visual, ekspresi wajah, gesture, dan emoji. Kedua, symbolic annihilation dalam bentuk peneguhan berbagai media terhadap video tersebut melalui pemberitaan dan infotainment. Informan menilai konten video Tante Lala dan pemberitaan media dan siaran infotainment terkait video tersebut memberikan gambaran yang keliru tentang perempuan. Video tersebut dinilai tidak mewakili perempuan pada umumnya. Media dinilai berkontribusi terhadap stereotyping perempuan sebagai sosok yang lebih mendasarkan emosi ketimbang nalar.
Key words: Representasi; symbolic annihilation; video tante lala; media
PENDAHULUAN
Dunia maya pernah digemparkan oleh video seorang ibu yang tengah kesulitan mengajari anaknya. Perempuan itu dikenal dengan nama Tante Lala. Dalam video yang berdurasi 10 menit 6 detik itu, Tante Lala nampak begitu kesal saat mengajari anaknya, Rafa karena berkali-kali salah dalam mengucapkan sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dalam video tersebut, publik disuguhi tayangan yang memperlihatkan karakter seorang ibu yang tidak sabar, pemarah, dan bahkan gagal mengajari anaknya. Bahasa yang digunakanpun terlihat sangat kasar untuk anak kecil. Video yang diunggah seorang pemilik akun Facebook bernama Stella Ztart Makarena itu sudah 3,6 juta kali ditonton dan 52 ribu kali dibagikan. (https://www.viva.co.id/trending/1308538-sosok-tante-lala-emak-viral-yang-ngegas-ajarkan-anak-pancasila?page=3&utm_medium=page-3).
Video Tante Lala hanyalah satu dari sekian banyak video yang menggambarkan karakter buruk seorang ibu dalam mengajari anak. Ironinya, penggambaran sosok perempuan yang cenderung negatif justru menjadi hiburan tersendiri bagi warganet. Penggambaran sosok perempuan yang tega memukuli anaknya dalam kontek pembelajaran online juga pernah membanjiri dunia maya. Kompas.com melansir, seorang ibu memukuli anaknya dengan kayu balok lantaran tidak ikut pembelajaran online. Video tersebut melengkapi penggambaran perempuan yang tidak hanya pemarah, namun juga kejam, yang seolah jauh dari watak keibuan. (https://regional.kompas.com/read/2020/09/21/05340061/bocah-10-tahun-dianiaya-dengan-balok-kayu-gara-gara-tak-ikut-belajar-online?page=all).
Produksi dan distribusi video pembelajaran online marak terjadi di era pandemi saat ini. Tidak bisa dipungkiri, pandemi Covid-19 berkontribusi pada perubahan kehidupan manusia, baik secara ekonomi maupun sosial. Hal yang paling nyata adalah perubahan sistem pendidikan, yang sebelumnya dilakukan dengan tatap muka, kini kegiatan belajar mengajar harus dijalankan secara online. Anak-anak pun harus belajar dari rumah. Kondisi itu mengharuskan orang tua terlibat aktif dalam proses belajar anak. Berbicara orang tua, logikanya menyangkut dua sosok manusia, ayah dan ibu. Realitasnya, pendidikan anak dalam keluarga menjadi issue yang selalu beririsan dengan perempuan.
Di era pembelajaran online ini, perempuan dipanggil kembali untuk menjadi sosok ibu, sebagai pendidik dalam keluarga. Konsep ibuisme yang pernah digaungkan era Orde Baru melalui berbagai ideologi, kini dibangkitkan kembali di era pandemi. Julia Suryakusuma (2011, p. 17) menjelaskan peran perempuan di era Orde Baru dilegitimasi secara resmi oleh pemerintah kala itu melalui Panca Dharma Wanita. Peran tersebut terkait erat dengan perempuan di sektor domestik, yang mencakup tugas sebagai pendamping suami, pencetak generasi penerus bangsa, pendidik dan pembimbing anak, pengatur rumah tangga, dan anggota masyarakat yang berguna. Meskipun Pemerintahan Orde Baru tidak lagi memegang kendali pemerintahan saat ini, namun Panca Dharma Wanita masih menjadi bagian tak terpisahkan dari berbagai peran yang dijalani perempuan, khususnya di era pandemi saat ini.
Meski perempuan menjalani berbagai peran yang sangat penting, citra perempuan kerap tidak seindah peran yang dijalankan, khususnya citra di ranah media. Mengacu pada video Tante Lala dan berita Kompas.com di atas, citra perempuan justru tergambarkan sebagai sosok yang pemarah dan kejam. Cixous dalam Woodward (1999, p. 37) menjelaskan bahwa laki-laki dan perempuan selalu digambarkan dalam oposisi biner. Perempuan diasosiasikan dengan hati dan emosi, sedangkan laki-laki diasosiasikan dengan kepala dan rasional. Tidak mengherankan jika perempuan dan laki-laki dicitrakan berbeda di dunia media. Laki-laki kerap dicitrakan sebagai sosok yang memiliki intergritas dan kemampuan penalaran yang baik. Friedan (1963) mengatakan bahwa laki-laki direpresentasikan lebih baik secara kualitatif dan kuantitatif dalam teks media.
Peredaran video di dunia maya yang menggambarkan para ibu yang mengajari anaknya dengan sikap kesal dan marah, justru menjadi tayangan komedi yang menghibur. Dalam sebuah wawancara dengan salah satu stasiun TV, Tante Lala mengaku banyak netizen yang berkomentar bahwa tayangan video tersebut lucu. Hal itu berimbas pada peningkatan jumlah followers akun Instagram Tante Lala yang mencapai 200 ribu followers (https://www.insertlive.com/hot-gossip/20201006174616-7-165656/momen-viral-gegara-pancasila-bikin-tante-lala-panik-lo-kenapa). Karakter Tante Lala yang mengundang tawa, seolah mencerminkan karakter perempuan pada umumnya. Untuk memastikan hal tersebut, kita perlu melihat dengan cermat bagaimana sebuah media bekerja.
Hall dalam sebuah video kuliahnya yang berjudul Represenatation and the Media (Jhally, 2005: 3) meyakini bahwa berbagai pesan yang dikomunikasikan oleh media bersifat kompleks dan terkait erat dengan relasi kuasa dan kepentingan ideologis tertentu. Mengacu pendapat tersebut, kita tidak bisa bersikap taken for granted dalam memaknai representasi yang diproduksi dan disebarkan oleh media. Jackson dan Jones (2009) memandang representasi media sebagai citra yang keliru mengenai perempuan sekaligus stereotipe yang merusak persepsi diri perempuan. Senada dengan hal tersebut, Pollock dalam Jackson dan Jones (2009: 366) menjelaskan bahwa citra perempuan bersumber dari tempat lain, yakni keinginan produsen media ataupun struktur sosial.
Hall (dalam Jhally, 2005, p.14) juga menjelaskan bahasa berperan penting dalam mengkonstruksi dan memproduksi makna. Dalam praktik representasi, bahasa tidak hanya berupa ujaran dan tulisan semata. Representasi juga melibatkan bahasa dalam bentuk lain, seperti suara, citra visual, ekspresi wajah, gesture, emoji, dan juga fashion. Dalam konteks representasi, Hall (1997, p 10-11) menggunakan pendekatan konstruktif untuk melihat peran bahasa. Menurut Hall, bahasa bukan semata milik pembicara, melainkan milik bersama sesuai kesepakatan sosial yang berlaku. Seorang pembicara akan tetap tunduk pada aturan bahasa yang disepakati bersama.
Penggambaran perempuan di media menjadi perhatian banyak pihak melalui berbagai riset yang mereka lakukan. Sarkar (2014, p. 52) dalam penelitiannya yang berjudul Media and Women Image: A feminist Discourse mengatakan, citra perempuan dalam proyek media saat ini adalah standar kecantikan feminin yang tidak realistis. Citra terkait standar kecantikan tersebut berpengaruh terhadap cara pandang perempuan terhadap dirinya. Standarisasi kecantikan juga menjadi perhatian Hu (2020, p. 6) dalam riset yang berjudul Toxic Royalty: Feminism and the Rhetoric of Beauty in Disney Princess Films. Menurutnya, representasi wanita dalam animasi Putri Disney tidak hanya mengungkapkan norma pasif dan kepatuhan yang diromantisasi, tetapi juga standar kecantikan perempuan.
Selain terkait kecantikan, kajian perempuan dalam media juga terkait pelecehan seksual. Mallam (2019) dalam penelitiannya ‘Sexual Harassment as Courtship: Performing Hegemonic Masculinity in Contemporary Telugu Cinema’ mendefinisikan pelecehan seksual terhadap wanita sebagai titik tolak utama studinya. Hasil riset menyebutkan perilaku pacaran sering dipengaruhi oleh kebutuhan untuk melakukan hegemoni maskulinitas dan melanggengkan budaya pemerkosaan.
Video Tante Lala memaparkan hal berbeda yang tidak terkait dengan kekerasan seksual ataupun standar kecantikan perempuan. Video tersebut memberikan gambaran perempuan yang mengedepankan emosi bukan penalaran, yang seolah menjadi legitimasi kebenaran teori gender yang berkembang saat ini. Representasi yang sesungguhnya belum tentu mewakili perempuan, khususnya kaum ibu lainnya, bisa dikatakan sebagai bentuk seksisme terhadap perempuan. Haraldsson dan Wängnerud (2018: 2) memaknai seksisme di media sebagai “the (re) production of societal sexism through under- and misrepresentation of women in media, leading to a false portrayal of society through a gendered lens”. Mengacu definisi seksisme tersebut, bisa disimpulkan bahwa misrepresentasi perempuan dalam media dikategorikan sebagai salah satu bentuk seksisme. Realitasnya, penggambaran perempuan di media kerap tidak merepresentasikan kondisi real perempuan. Terkait hal itu, Mulvey (dalam Sassatelli, 2011: 132) mengatakan bahwa tubuh perempuan yang beredar dalam gambar sangat berbeda dengan tubuh perempuan dalam kehidupan sehari-hari.
Kerja ideologis media dalam meneguhkan seksisme, juga menjadi perhatian Gaye Tuchman. Melalui tulisannya yang berjudul “The symbolic annihilation of women by the mass media” (1978), Tuchman berpendapat media mencerminkan nilai-nilai dominan masyarakat dalam berbagai citra dan representasi. Media bertindak sebagai agen sosialisasi yang menyampaikan berbagai citra peran jenis kelamin yang distrereotipkan. Tuchman menilai media telah melakukan pemusnahan simbolis terhadap perempuan. Pemusnahan tersebut dilakukan dalam tiga cara, yaitu omission, trivialization, condemnation. Omission dimaksudkan sebagai tindakan yang menganggap kehadiran perempuan tidak penting, sehingga perempuan sengaja tidak ditampilkan. Kalaupun perempuan dimunculkan, keberadaannya sebatas sebagai pelengkap tanpa memiliki peran atau yang dikenal dengan trivialization. Di sisi lain, ketika perempuan dimunculkan, kehadirannya justru tidak lebih untuk dipersalahkan ataupun didiskriditkan.
Video Tante Lala yang viral di jagat maya perlu ditinjau dalam konteks apa perempuan direpresentasikan. Buikema (2009: 72), dalam tulisannya yang berjudul “The Arena of Imaginings: Sarah Bartmann and the Ethics of Representation menjelaskan language can be a means of making present whatever is absent. Menurut Buikema, perempuan tidak cukup hanya hadir, karena representasi tidak hanya persoalan hadir atau tidak hadir. Artinya, ketika perempuan eksis dan viral di media perlu pemaknaan tersendiri, apakah kehadiran tersebut memberikan citra baik perempuan atau justru memperkuat stereotype perempuan sebagai sosok yang hidup di luar batas normalitas. Dyer dalam Kellner (2006, p 355-356) standar normalitas sterotype didasarkan pada kelompok dominan, yang memunculkan mode masyarakat sesuai dengan pandangan, sistem nilai, dan sensibilitas mereka sendiri. Dalam stereotype, kelompok dominan melegitimasi eksistensinya dengan menerapkan norma-norma tertentu kepada kelompok yang tersubordinasi. Dyer juga menjelaskan bahwa pihak dominan membangun karakter dan karakteristik stereotype sebagai sesuatu yang seolah realistis, yang sangat dekat dengan keseharian.
Peneguhan representasi perempuan di media tidak semata terkait stereotype, namun juga terkait legitimasi industri budaya. Melalui tulisan berjudul Cultural Industry: Entlightenmen Mass Deception yang tertuang dalam buku Dialectic of Enlightenment (2002), Adorno dan Horkheimer mengkritisi kehadiran budaya yang masif dalam masyarakat kapitalis sebagai budaya yang berasal dari produk industri semata dan tidak berasal dari ekspresi kultural masyarakat. Industri budaya, yang membawa hasil kerja seni sebagai pembungkus produknya, jutru lebih mengutamakan aspek ekonomi dalam rasionalitas kapitalis ketimbang membawa pencerahan dalam masyarakat. Dalam pandangan Adorno dan Horkheimer, karya seni seharusnya menjadi pencerahan bagi kemanusiaan, bukan malah membuat kemunduran otonomi individu atau regresi terhadap makna sebenarnya dari pencerahan.
Lebih spesifik lagi, Adorno dan Horkheimer menganggap kehadiran industri budaya dalam masyarakat telah mengikis nilai-nilai kemanusiaan secara menyeluruh, dimana manusia hanya dinilai sebagai objek untuk memperoleh keuntungan, baik itu sebagai pembeli ataupun pekerja. Dalam relasi budaya kapitalis, budaya telah diubah menjadi komoditi. Masyarakat sebagai konsumen sendiri hanya dilihat sebagai “angka-angka statistik pada grafik lembaga penelitian, dan dikelompokkan berdasarkan pendapatan ekonomi ke dalam warna merah, hijau, dan biru; sebuah teknik yang diterapkan ke dalam segala jenis propaganda (2002, p.97).
Berdasarkan berbagai paparan di atas, paper ini betujuan untuk mengungkap bagaimana media melakukan symbolic annihilation perempuan melalui video Tante Lala. Paper ini juga akan menggali bagaimana pemirsa perempuan meresepsi konten video Tante Lala. Penelitian ini menggunakan metode hermeunatik. Analisis data dilakukan dengan mengacu model encoding dan decoding Stuart Hall, dengan pertimbangan peneliti akan melakukan analisa dua variable, yaitu teks dan resepsi auidiense terhadap teks tersebut. Peneliti akan menempatkan teks sebagai encoding, dan resepsi audiens sebagai decoding. Sumber data dalam penelitian ini adalah teks video Tante Lala, berita yang ditulis media, dan empat perempuan yang dijadikan informan. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan koding pada teks dan interview mendalam dengan informan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Symbolic Annihilation Perempuan oleh Media
Penghancuran simbolik perempuan (symbolic annihilation) dalam video Tante Lala bisa ditemukan dalam dua bentuk. Pertama, symbolic annihilation yang ditampilkan melalui representasi bahasa yang digunakan dalam video. Mengacu pendapat Hall di atas, bahasa dalam konteks representasi bisa berbentuk suara, citra visual, ekspresi wajah, gesture, dan emoji. Kedua, symbolic annihilation dalam bentuk peneguhan berbagai media terhadap video tersebut.
Video Tante Lala merepresentasikan sosok perempuan kasar, pemarah, bahkan tidak sabar dalam menjalankan perannya sebagai pendidik anak. Dalam video yang berdurasi 10 menit 6 detik itu, Tante Lala berkali-kali membentak anaknya ketika terjadi kesalahan. Pada detik ke 20 misalnya, Tante Lala mengucapkan kata “tunggu” dengan nada membentak hingga anaknya tersentak. Kemudian pada detik ke 54, ia meminta seseorang mengambilkan sapu untuk menakuti anaknya agar lebih serius dalam belajar. Dari awal pembelajaran berlangsung, Tante Lala terus menerus menggunakan nada suara tinggi dalam memberikan pemahaman kepada anaknya. Klimaknya, pada menit ke 3:11 ia memukul dan mencubit anaknya yang selalu tidak hafal dengan bunyi sila dalam Pancasila yang diajarkannya. Pada akhir video, tepatnya di menit ke 3:16 Tante Lala mengajari anaknya dengan suara menggeram akibat kesal. Hingga tayangan video berakhir, Tante Lala tidak berhasil membuat anaknya hafal apalagi paham dengan pembelajaran yang diberikannya.
Seperti dijelaskan oleh Hall (dalam Jhally, 2005: 14) di atas, dalam konteks representasi bahasa berperan penting dalam mengkonstruksi dan memproduksi makna. Jika dikaitkan dengan pendapat tersebut, video Tante Lala yang diproduksi dengan bahasa yang kasar menggambarkan karakter perempuan yang emosional. Mengacu pandangan konstruksionisme bahwa bahasa bukan semata milik pembicara, melainkan milik sosial yang bisa dimaknai dari berbagai sudut pandang oleh pembaca atau audiens. Oleh karena itu, bagi audiens, khususnya perempuan yang dalam membimbing anaknya tidak seperti yang dipertontonkan dalam video itu, bisa menyimpulkan video Tante Lala merupakan bentuk internal symbolic annihilation. Dikatakan internal karena video tersebut diproduksi oleh perempuan dan berimbas pada diri perempuan. Artinya, melalui video tersebut terjadi internal seksisme lewat media yang pelakunya adalah perempuan sendiri. Melalui video tersebut, perempuan eksis dan hadir mewarnai panggung media. Namun kehadirannya justru memperkuat stereotype bahwa perempuan adalah sosok yang lebih mengedepankan emosi bukan nalar. Perempuan yang notabenenya menjalani beban ganda di era pandemi ini justru digambarkan sebagai sosok yang tidak baik dalam memberikan pembelajaran pada anak. Sangat disayangkan ketika para ibu yang mampu memberi pembelajaran anak dengan sabar, bahasa santun, dan mampu mengganti peran guru di sekolah justru tidak muncul dalam pemberitaan. Disinilah symbolic annihilation perempuan dalam kontek omission terjadi. Perempuan yang bisa jadi mampu memberikan pendidikan memadai terbenam oleh viralitas video Tante Lala yang kemunculannya justru memberikan gambaran sisi negatif perempuan.
Selain melalui bahasa yang diproduksi dalam video, symbolic annihilation perempuan melalui video Tante Lala juga dilakukan oleh industri media. Sejumlah acara infotainment stasiun TV dengan sengaja memblow up kehadiran video tersebut dengan mengundang Tante Lala sebagai bintang tamu. Infotainmen “Nih Kita Kepo” Trans TV, “Brownis” Trans TV, dan “Rumpi No Secret” Trans TV dengan sengaja mempertontonkan ketidakmampuan perempuan dalam mendampingi belajar anak sebagai komedi yang menghibur. Kehadiran Tante Lala di acara tersebut lebih dicitrakan sebagai perempuan pemarah bukan sebagai sosok yang berjuang untuk mendidik anak. Selain itu, infotainment tersebut juga fokus mengungkap bagaimana video tersebut menjadi viral. Hal ini terlihat dari ungkapan host acara. Dalam Brownis misalnya, host membuka dengan ungkapan “ini ada bintang tamu, ini viral, ibu-ibu marah waktu ngajari anaknya”. Hal senada juga muncul pada pertanyaan host Nih Kita Kepo. Pada kesempatan itu, host menanyakan “mama suka marahin Rafa gak di rumah?. Sementara itu host acara Rumpi No Secret bertanya yang juga terkait dengan karakter pemarah, “sapu itu buat apa? Tante Lala menjawab untuk menakut-nakuti.
Tidak hanya ditampilkan di layar TV. Berbagai tayangan itupun diunggah ke kanal youtube sehingga jangkauan pemirsa lebih luas. Youtube berjudul “Tante Lala Bawain Nyai Klappertaart Ala Manado” yang merupakan siaran Nih Kita Kepo diunggah 7 Oktober 2020 ditonton oleh 410. 552 pemirsa. Sementara Youtube berjudul “Wendi Babysitting Anak Tante Lala, Mamanya Nyanyi Terus Sih” yang merupakan unggahan acara Brownis, 6 oktober 2020 ditonton oleh 58,157 pemirsa. Sedangkan Youtube berjudul “Kocaknya Tante Lala si Ibu Pengajar Pancasila yang Viral” yang merupakan siaran dari Rumpi No Secret diunggah 4 Oktober 2021 ditonton oleh 188,547 pemirsa. Berbagai acara tersebut menjadikan karakter perempuan yang pemarah dan tidak berhasil mengajari anaknya sebagai tayangan komedi untuk menghibur penonton. Jika dikaitkan dengan pendapat Sara Mills (2008, p.140) yang menyebutkan bahwa seksisme bisa berlindung di bawah wujud humor yang tidak disadari oleh auidens, maka media telah melakukan seksisme terhadap perempuan dengan cara memblowup video Tante Lala.
Peneguhan karakter perempuan pemarah yang mampu membius pemirsa juga dilakukan sejumlah media online. Senada dengan infotainment TV, media-media tersebut juga menyoroti bagaimana video tersebut viral. Manadopost.jawapos.com menulis judul “Begini Tips Jadi Viral ala Tante Lala”. Dalam berita yang diposting 18 November 2020 itu, media memaparkan pendapat Tante Lala yang mengatakan bahwa dirinya mewakili ibu-ibu se-Indonesia yang tekanan darahnya langsung naik saat mendampingi belaja anak secara online. Penggambaran perempuan pemarah menjadi bahasa yang terus dimunculkan sejumlah media dalam menulis judul. Tribunternate.com menulis “Viral Tante Lala Ngegas Ajari Anak Hafalkan Pancasila, Berikut Fakta-fakta Tentangnya”. Judul senada ditulis tribunbatam.id “FAKTA Tante Lala yang Ngegas Ajarkan Anak Pancasila, Ternyata Ini Profesi Sebenarnya”. Judul yang mengusung konten sosok perempuan yang marah saat mengajari anaknya juga ditemukan di www.viva.co.id. Media ini menulis “Sosok Tante Lala, Emak Viral yang Ngegas Ajarkan Anak Pancasila”.
Berbagai judul pemberitaan di media tersebut merepresentasikan karakter perempuan pemarah, meski bahasa yang digunakan sedikit berbeda. Kata “ngegas” dalam kalimat tersebut bisa diartikan suara keras dan nada tinggi yang kesemuanya merepresentasikan kemarahan. Media membingkai konten video tersebut untuk menggambarkan bagaimana sosok perempuan. Media juga secara tidak langsung menggiring publik bagaimana cara seseorang untuk bisa tenar dan viral. Dengan kata lain, media turut serta meneguhkan stereotype perempuan yang sebenarnya belum tentu sama ataupun mewakili karakter perempuan pada umumnya. Kondisi tersebut sesuai dengan pendapat Jackson dan Jones (2009) yang memandang representasi media sebagai citra yang keliru mengenai perempuan, sekaligus stereotipe yang merusak persepsi diri perempuan.
Persoalan lain yang muncul adalah video Tante Lala hanya berhenti pada persoalan eksistensi perempuan di media. Jika dikaitkan dengan pandangan Buikema, Bahasa dalam kontek representasi digunakan untuk membuat sesuatu yang semula absent menjadi present. Video Tante Lala dibahasakan dengan sangat lugas Emak yang “marah” saat ngajari anaknya, yang seolah relate dengan karakter perempuan.
Penyebaran berita secara massiv tersebut tidak bisa dilepaskan dari keberadaan media sebagai bagian dari industri budaya. Sesuai pendapat Adorno dan Horkheimer kehadiran budaya yang masif dalam masyarakat kapitalis sebagai budaya yang berasal dari produk industri semata dan tidak berasal dari ekspresi kultural masyarakat. Tidak bisa dipungkiri, kerja media tidak bisa dilepaskan dari tujuan meraup keuntungan melalui iklan. Video Tante Lala yang sudah viral sebelumnya melalui media sosial menjadi produk yang menarik minat sejumlah pihak untuk memasang iklan. Media tidak lagi berfungsi memberikan pencerahan bagaimana seharusnya menjadi sosok ibu yang mampu mendampingi anak dengan baik saat belajar. Video Tante Lala menjadi komoditas yang mendatangkan keuntungan finansial, sekaligus arena marginalisasi perempuan.
Video Tante Lala di Mata Pemirsa Perempuan
Meski sejumlah media membungkus stereotipe perempuan sedemikian rupa, namun pemirsa tidak selalu memaknai hal tersebut sama dengan apa yang dikehendaki media. Sebagian pemirsa melakukan negosiasi pembacaan yang didasari oleh argument-argumen tertentu. Sejumlah informan dalam riset ini menganggap bahwa apa yang ditampilkan oleh video Tante Lala tidak mencerminkan perempuan dan berpotensi memperburuk citra perempuan. Siti Rohmah Shobariah, ibu tiga anak yang juga berprofesi sebagai guru mengatakan, “Video Tante Lala secara tidak langsung melemahkan dan merendahkan perempuan. Sebab, banyak perempuan yang mampu mendampingi anak saat belajar dengan baik. Mereka memiliki pengetahuan dan kesadaran bahwa ibu adalah madrasah (sekolah) pertama bagi anak-anaknya. Video tersebut tidak mewakili perempuan dan tidak layak untuk dipertontonkan. Jika viedo tersebut justru diviralkan oleh sejumlah media, dikhawatirkan muncul gambaran bahwa begitulah cara ibu mengajari anaknya.”
Sementara Fira Vimarthrani, ibu dua anak yang berprofesi sebagai karyawan swasta menyoroti video Tante Lala sebagai bentuk pelecehan terhadap perempuan yang dikemas dalam tayangan komedi. Video tersebut seolah merepresentasikan standar kemampuan perempuan, yang realitasnya perempuan di Indonesia yang berprofesi sebagai pendidik justru lebih banyak dari pada laki-laki, terutama untuk tingkat pendidikan TK. Berdasarkan data dan statistik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI tahun 2018, jumlah guru dan kepala sekolah TK laki-laki di Indonesia 10.330 orang, sedangkan jumlah guru dan kepala sekolah TK perempuan di Indonesia mencapai 303.317 orang. Artinya, perbandingan jumlah laki-laki dan perempuan adalah 1 : 30 orang. Fira juga menyoroti kecenderungan siaran media saat ini. “Penayangan video Tante Lala oleh sejumlah media menunjukkan kreativitas media yang lemah. Mereka hanya mengkopi unggahan media sosial yang viral tanpa melihat kualitas dan kontribusi media dalam memberikan pencerahan publik. Kerja media lebih didominasi kepentingan perolehan penonton dan iklan, sehingga tayangan berkualitas akan dikalahkan oleh topik-topik yang dianggap sedang viral.”
Komentar tidak setuju juga datang dari Karnia, seorang mahasiswi yang juga ketua PMII Putri Kabupaten Kutai Timur. Ia melihat video Tante Lala mengandung kekerasan terhadap anak. Video tersebut semakin memperkuat stereotype bahwa perempuan cenderung mengedepankan emosi dibanding penalaran. Pendapat yang sedikit berbeda datang dari Defy Yeni Nadira seorang ibu rumah tangga dengan dua anak. Menurutnya, video tersebut tidak akan serta merta membuat citra perempuan jelek jika dilihat dari sisi persoalan yang dihadapi ibu-ibu di era pembelajaran online saat ini. Defy menjelaskan, “kesulitan mengajari anak di rumah menjadi problem tersendiri yang dihadapi perempuan dalam pembelajaran online saat ini. Idealnya, tentu saja cara mengajari anak tidak seperti yang ditunjukkan oleh Tante Lala dalam video tersebut. Oleh karena itu, media baik TV maupun media online seharusnya menfokuskan pada sisi tersebut, sehingga persoalan yang dihadapi ibu-ibu menjadi perhatian bersama. Bukan malah menekankan pada persoalan karakter perempuan yang marah atau sensasi viral dari video tersebut.”
Berbagai pendapat terkait video Tante Lala dan kerja media dalam turut menviralkannya menunjukkan bahwa pemaknaan terhadap konten video tersebut bukan semata hak milik pemroduksi makna dan industri media. Pemirsa, khususnya perempuan akan melakukan negosiasi pembacaan atas pesan tersebut. Pembingkaian video tersebut oleh industri media menjadi gambaran bahwa representasi bukanlah praktik bebas nilai. Ada kepentingan tertentu yang ingin diraih oleh berbagai pihak melalui media.
KESIMPULAN
Video Tante Lala merepresentasikan sosok perempuan kasar, pemarah, bahkan tidak sabar dalam menjalankan perannya sebagai pendidik anak. Representasi tersebut meneguhkan anggapan bahwa perempuan adalah sosok yang lebih menekankan pada emosi bukan penalaran. Video tersebut memunculkan symbolic annihilation perempuan di media. Symbolic annihilation tersebut bisa ditemukan dalam dua bentuk, Pertama, symbolic annihilation yang ditampilkan melalui representasi bahasa yang digunakan dalam video baik berupa suara, citra visual, ekspresi wajah, gesture, dan emoji. Kedua, symbolic annihilation dalam bentuk peneguhan berbagai media terhadap video tersebut melalui pemberitaan dan infotainment.
Berdasarkan wawancara dengan audiens yang dijadikan informan penelitian, mereka menilai konten video Tante Lala dan pemberitaan media dan siaran infotainment terkait video tersebut memberikan gambaran yang keliru tentang perempuan. Video tersebut dinilai tidak mewakili perempuan pada umumnya. Media dinilai berkontribusi terhadap stereotyping perempuan sebagai sosok yang lebih mendasarkan emosi ketimbang nalar.
Referensi
Buku
Adorno, T. W & Horkheimer, M. (2002). Dialectic of Enlightenment. California: Stanford University Press.
Buikema, R. (2009). “The Arena of Imaginings: Sarah Bartmann and the Ethics of Representation”. Dalam Rosemarie Buikema dan Iris van der Tuin (ed.), Doing Gender in Media, Art and Culture, hlm. 70-85. London dan New York: Routledge.
Dyer, R. (2006). “Stereotyping”. Dalam Durham, M.,G. & Kellner, D., M, Media and Cultural Studies KeyWorks, hlm. 353-365. UK: Blackwell Publishing.
Friedan, B. (1963). The Feminine Mystique. London: Penguin Books
Hall, Stuart. (1997). The Work of Representation. Dalam Stuart Hall, Jessica Evans, dan Sean Nixon (ed.), Representation, hlm. 1-47. London: SAGE
Haraldsson, A & Wängnerud, L. (2018). The effect of media sexism on woman’s political ambition: evidence from a worldwide study. Jurnal Feminist Media Studies.
Jackson, S. & Jones, J. (2009). Pengantar Teori-Teori Feminis Kontemporer (terjemahan). Yogyakarta: Jalasustra
Jhally, S. (2005). Stuart Hall: Represenatation and the Media (transkrip). Northhampton: Media Education Foundation.
Mills, Sara. (2008). Language and Sexism. Cambridge, New York: Cambridge University Press
Sassatelli, R. (2011). Interview with Laura Mulvey Gender, Gaze and Technology in Film Culture Roberta Sassatelli. Jurnal Theory Culture & Society.
Suryakusuma, J. (2011). Ibuisme Negara Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru. Depok: Komunitas Bambu.
Woodward, K. (1999). Identity and Difference. London, California, New Delhi: Sage
Tuchman, G. (1978). Introduction: The symbolic annihilation of women by the mass media. Dalam Tuchman, G., Daniels, A. K., & Benét, J. (Eds.), Hearth and home: Images of women in the mass media (pp. 3-38). New York : Oxford University Press.
Jurnal
Hu, S., X. (2020). Toxic royalty: feminism and the rhetoric of beauty in disney princess films.
Inquiries Social Science, Art, and Humanities Journal, Vol. 12 No.07.
Mallam, S., K., R. (2019). Sexual harassment as courtship: Performing Hegemonic Masculinity in Contemporary Telugu Cinema. Journal of Creative Communications 14(2) 118–131.
https://journals.sagepub.com/doi/abs/10.1177/0973258619848626.
Sarkar, S. (2014). Media and women image: A Feminist discourse. Journal of Media and Communication Studies, Vol 6 (3), pp. 48-58. https://www.researchgate.net/publication/280927556_Media_and_women_image_A_Feminist_discourse.
Media Sosial
Tante Lala Bawain Nyai Klappertaart Ala Manado.
(https://www.youtube.com/watch?v=iisRM_dw794).
Wendi Babysitting Anak Tante Lala, Mamanya Nyanyi Terus Sih”
(https://www.youtube.com/watch?v=kEYT81ZQNHs).
Kocaknya Tante Lala si Ibu Pengajar Pancasila yang Viral”
(https://www.youtube.com/watch?v=nAnIlGZdvsM).
Sosok Tante Lala, Emak Viral yang Ngegas Ajarkan Anak Pancasila
Begini Tips Jadi Viral ala Tante Lala
https://manadopost.jawapos.com/show-celebrities/18/11/2020/begini-tips-jadi-viral-ala-tante-lala/
Viral Tante Lala Ngegas Ajari Anak Hafalkan Pancasila, Berikut Fakta-fakta Tentangnya
FAKTA Tante Lala yang Ngegas Ajarkan Anak Pancasila, Ternyata Ini Profesi Sebenarnya