FILM SEBAGAI MEDIUM PENYEBARAN IDEOLOGI PENGUASA

Althusser (1971: 143) dalam bukunya yang berjudul  Lenin Philosophy and Other Essays  menyebutkan bahwa institusi budaya, termasuk di dalamnya sastra dan seni merupakan bagian dari Ideological State Apparatus. Lebih lanjut Althusser (1971: 145) menjelaskan bahwa Ideological State Apparatus menjalankan fungsinya bukan dengan cara-cara represif melainkan dengan ideologinya. Film sebagai salah satu bentuk karya seni yang menurut Commolli dan Narboni (1969: 59) merupakan produk ideologis, pada akhirnya juga tidak bisa dilepaskan dari persoalan ideologi penguasa. Dalam tulisannya yang berjudul Cinema /Ideology/ Criticism (dalam Nick Browne, 1996: 60), Comolli dan Narboni mengatakan “every film is political, inasmuch as it is determined by the ideology which produces it.” Kutipan tersebut menegaskan bahwa film bersifat politis karena film ditentukan oleh ideologi yang memproduksinya. Mengacu pendapat tersebut, maka sangat dimungkinkan jika film menjadi alat penyebaran ideologi aparatus negara, bahkan kerap menjadi medium untuk mendisiplinkan masyarakat secara terselubung.

Pemanfaatan film sebagai alat penyebaran ideologi merupakan praktik yang sudah berlangsung cukup lama. Dalam konteks global, film telah menjadi alat propaganda sekaligus penyebaran ideologi berbagai rezim, seperti Nazi di Jerman, Leninisme dan Stalinisme di Uni Soviet, dan Fasisme di Italia. Selain pada rezim-rezim tersebut, kehadiran film sebagai alat penyebaran ideologi juga ditemui dalam film-film Hollywood, yang merepresentasikan nilai-nilai dan budaya Amerika.

Dalam sebuah pidato politik tahun 1933, pemimpin NAZI, Adolf Hitler mengatakan:

In relation to the political decontamination of our public life, the government will embark upon a systematic campaign to restore the nation’s moral and material health. The whole educational system, theatre, film, literature, the press, and broadcasting – all these will be used as a means to this end. They will be harnessed to help preserve the eternal values which are part of the integral nature of our people. (David Welch, 2001: 33)

Dalam kutipan pidato tersebut dengan jelas disebutkan bahwa film menjadi salah satu medium yang digunakan untuk melestarikan nilai-nilai moral yang diyakini dan dianut oleh rezim NAZI yang berkuasa saat itu. Rentschler dalam bukunya The Ministry of Illusion: Nazi Cinema and Its Afterlife (2002) menjelaskan bahwa konsep estetika sinema NAZI tidak bisa dilepaskan dari persoalan ideologi. Rentschler (2002) juga menegaskan bahwa Hitler dan Paul Joseph Goebbels, Menteri Propaganda kepercayaan Hitler sangat menyadari kemampuan film untuk memobilisasi emosi dan melumpuhkan pikiran, untuk menciptakan ilusi yang kuat dalam diri penonton. Untuk mewujudkan hal tersebut, Goebbels sebagai pencetus propaganda lewat film, melakukan monitoring ketat terhadap seluruh produksi film di Jerman pada saat itu.

Berbagai langkah Hitler menjadikan film sebagai alat penanaman ideologi NAZI terbilang berhasil. Seperti disebutkan Jan-Christopher Horak (1998),  seorang ahli sejarah perfilman bahwa bagi kebanyakan orang Jerman yang lahir sebelum perang dunia II, ideologi begitu mendarah daging sehingga disalahartikan sebagai sebuah kenyataan. Hal tersebut berkontribusi pada kepercayaan mereka bahwa fakta sejarah yang disajikan dalam film NAZI adalah sebuah kebenaran, bukan sebagai produk rasis yang terjadi di abad ke-sembilan belas.

Renstschler (2002) menyebutkan, diantara film produk NAZI yang disebut sebagai pembius kesadaran adalah film The Blue Light (1932) karya Leni Riefenstahl dan  Hitler Junge Quex (1933) karya Hans Steinho. Kedua film tersebut dinilai sebagai alat penyadaran warga Jerman terhadap kehadiran “Reich” (kaisar) yang baru. Rentshler bahkan menyebut film The Blue Light (1932) sebagai master text film NAZI. Sementara Hitler Junge Quex (1933) dianalisis sebagai sebuah narasi yang dibangun secara persuasif untuk menggambarkan sosok pria ideal Jerman. Selain itu, Hitler juga memproduksi film untuk menumbuhkan nasionalisme dan kebanggaan warga terhadap “heimat” (tanah air), seperti Der verlorene Sohn  (1934), Glückskinder (1936), dan La Habanera (1937). Melalui ketiga film tersebut, Hitler juga memberikan gambaran negatif  tentang Amerika dan Hollywood.

Selain oleh rezim Hitler, pemanfaatan film sebagai alat ideologi juga tidak bisa dipisahkan dari sejarah Uni Soviet.   Dmitry Shlapentokh and Vladimir Shlapentokh (1993: 17) dalam buku “Soviet Cinematography 1918-1991 Ideological Conflict and Social Reality” mengatakan sinema Soviet adalah bagian yang sangat penting dari sejarah Uni Soviet secara umum. Dimulai di era kepemimpinan Lenin, film telah menjadi alat idelogi aparatus negara. Sebagaimana Hitler yang memandang film sebagai bagian penting ideologi negara, Lenin juga meyakini bahwa “Cinema is the most powerful weapon” (Stephen Gundle, 2016: 19). Begitu pentingnya peran film, maka Lenin membuat sebuah regulasi terkait film apa yang boleh ditampilkan agar tidak bertentangan dengan ideologi yang dianut. Kebijakan Lenin tersebut berlanjut di era kepemimpinan Joseph Stalin (1929-1953). Stalin bahkan selalu terlibat langsung dalam produksi film untuk memastikan bahwa film yang diproduksi merepresentasikan tujuan partai dan kepentingan aparatus negara. Selain itu, produksi film juga di bawah pengawasan langsung Central Committee yang merupakan bagian Departemen Kebudayaan dan the State Committee of Cinematography.

Shlapentokh dan Shlapentokh (1993: 21) menyebutkan, pemanfaatan film sebagai mesin propaganda ideologi telah dimulai sejak era Lenin, tepatnya tahun 1920, dan mencapai puncaknya pada era Stalin. Hal tersebut ditandai oleh kebijakan Stalin yang menjadikan film sebagai instrumen politik untuk membius kesadaran jutaan orang Soviet agar percaya pada dunia imajiner. Mereka dijadikan sebagai penghuni surga sosialis, sebuah realitas yang sangat subjektif, meski bertentangan dengan realitas kehidupan yang mereka alami. Seperti dikatakan oleh Iurii Bogolov, seorang kritikus film (dalam Dmitry Shlapentokh and Vladimir Shlapentokh, 1993: 22):

[E]ven for peasants who had experienced the horrors of collectivization, movies like Pyriev’s Swineherd and Shepherd, Tractor Drivers, or The Rich Bride, all of which depicted the happy life in the countryside, did not seem to be mocking their real experience. Their own poverty seemed less real. The affluence on the screen was for them evidence of its material existence.

Tidak hanya mengedepankan kebahagiaan semu, sejumlah film yang diproduksi juga menggambarkan pengabdian tulus terhadap ideologi penguasa, seperti  Movie Eye (1924) karya Vertov, Battleship Potemkin (1925) karya Eisenstein, dan Land (1930) karya Dovzhenko. Film-film tersebut memberikan gambaran anti individualis dan lebih mengedepankan kepemilikan bersama, sebagaimana ideologi yang dianut Uni Soviet.

Gambaran film sebagai alat ideologi juga ditemukan pada rezim Fasis, Italia. Stephen Gundle (2016: 24-25) dalam bukunya Mussolini’s Dream Factory Film Stardom in Fascist Italy mengatakan bahwa film sesungguhnya bukan bagian integral rezim Fasis di bawah kekuasaan Benito Mussolini. Namun demikian, sebagian besar sejarawan berpendapat bahwa di era tersebut film berkontribusi pada cara bagaimana masyarakat diorganisir dan diatur di bawah kendali Fasisme. Hal tersebut bisa dilihat dari tujuan utama dibangunnya “Cinecitta” tahun 1937 di Roma yang merupakan  studio film terbesar di Eropa.

Pendirian Cinecitta dimaksudkan agar produksi film bisa dilakukan lebih mudah sekaligus menjadikan film-film tersebut berkontribusi terhadap kebijakan pengembangan budaya yang berlandaskan pada ideologi Fasis. Gundle (2016) menggambarkan, dua film yang diproduksi atas biaya pemerintah kala itu, Scipione l’Africano dan Condottieri karya Luis Trenker, menjadi bukti bahwa propaganda ideologi Fasis menjadi prioritas kehadiran Cinecitta. Kedua film tersebut dengan jelas memobilisasi sejarah untuk membenarkan dan melegitimasi segala tindakan rezim Fasis.

Sementara itu, Steven Ricci (dalam Gundle, 2016) menganalisa setidaknya ada empat kode heuristik yang tumpang tindih antara apa yang ditampilkan dalam film dan pembacaan sinematik pemirsa. Pertama, tatanan sosial yang munculkan dalam film digambarkan sebagai tatanan Fasis; kedua, masa lalu selalu dilihat sebagai Romawi, sedangkan masa kini dan masa depan sebagai rezim Fasis; ketiga, kontradiksi antara cara hidup pedesaan dan perkotaan diperlakukan sebagai hal yang dapat didamaikan dalam agenda Fasis; keempat, publik selalu disapa sebagai badan nasional yang seolah tidak memiliki perbedaan satu sama lain. Analisis tersebut menunjukkan bahwa film menjadi medium penyebaran ideologi Fasis, meskipun dikatakan tidak menjadi bagian integral rezim tersebut.

Berbagai paparan tersebut di atas seolah mengesankan bahwa film menjadi alat ideologi aparatus negara untuk membungkam kesadaran rakyat di negara yang dikuasai rezim diktator dan totaliter. Oleh karena itu, menjadi penting untuk melihat hal serupa di negara yang melabeli dirinya menjunjung demokrasi seperti Amerika. Meskipun tidak secara vulgar film menjadi alat kekuasaan, namun Maesuwong dalam risetnya yang berjudul The Promotion of American Culture through Hollywood Movies to the World (2012) menyebutkan bahwa film menjadi medium untuk menyebarkan nasionalisme, gaya hidup, nilai, dan ideologi yang dianut Amerika ke seluruh penjuru dunia.  Bahkan keberadan Hollywood sendiri sebagai pusat perfilman Amerika, menurut Michael Ryan dan Douglas Kellner (1988) adalah untuk mendukung hal tersebut. Dalam buku Camera Politica: The Politics and Ideology of Contemporary Hollywood Film, Ryan dan Kellner (1988: 1) menyebutkan  “Hollywood exists to legitimate the dominant institutions of the nation state as well as their value systems.” Ryan dan Kellner juga menegaskan bahwa sejak era tahun 60-an hingga sekarang, keberadaan film di Amerika terkait erat dengan gerakan politik dunia.

Lebih lanjut, Ryan dan Kellner (1998) mencontohkan melalui film Rambo, Amerika terkesan ingin memperlihatkan sebagai negara yang baik, sementara musuhnya, Vietnam dan Rusia yang berhaluan komunis sebagai kelompok yang biadab. Film tersebut dinilai mengusung konsep manikheisme, dimana musuh dihadirkan sebagai liyan yang merepresentasikan bangsa yang jahat, sedangkan Amerika adalah pahlawan yang baik. Melalui film tersebut Amerika tidak hanya menanamkan ideologi kemanusiaan yang seolah menjadi bagian penting nilai-nilai yang dianutnya. Lebih dari itu, Ryan dan Kellner mengatakan, Rambo dapat dibaca sebagai tanggapan atas kekalahan Amerika di Vietnam sekaligus tantangan imperialisme kepada mereka yang membatasi kekuatan militernya.

Selain menjadi alat propaganda internasional, film juga menjadi medium penyebaran jargon “American Dream” yang digaungkan sebagai etos nasional Amerika. J. Emmett Winn (2007:12) dalam bukunya “The American Dream and Contemporary Hollywood Cinema” menyebutkan, setidaknya ada tiga tema yang diangkat dalam film Hollywood yang menarasikan jargon American Dream tersebut. Pertama tema terkait “moral mobility” yang mencoba menarasikan kesuksesan kelas pekerja yang mendambakan mobilitas kelasnya ke atas dengan disertai motivasi tinggi dan kemauan bekerja keras.  Kedua, tema “moralizing failure” yang memberikan gambaran kegagalan kelas pekerja menaikkan kelasnya akibat motivasi tak bermoral dalam mengejar kekayaan, namun pada akhirnya mampu menemukan kembali nilai-nilai kebaikan sebagai kelas pekerja. Ketiga, tema “moralizing the material” yang merepresentasikan kelas atas yang mampu belajar kehidupan yang lebih baik setelah menjalin hubungan dengan kelas sosial bawah.

Winn (2007: 13) menegaskan bahwa  ketiga tema tersebut seolah ingin memberikan gambaran tidak adanya problem kelas sosial di Amerika. Selain itu, berbagai tema film tersebut menunjukkan adanya upaya Amerika membius kesadaran masyarakat dengan glorifikasi jargon American Dream, sebagai sesuatu yang riil dan berkonotasi baik. Melalui film-film Hollywood, Amerika juga berupaya menarasikan warganya yang tetap tangguh, di tengah banyaknya keterbatasan sosial yang membuat mustahil bagi kebanyakan orang Amerika mencapai mobilitas sosial seperti yang diangankannya. Gambaran tersebut membuktikan bahwa film menjadi alat penyebaran ideologi penguasa seperti apapun jenis pemerintahan yang dianutnya.

 

error: Content is protected !!