Memaknai Sebuah Emansipasi (Tribun Kaltim, 21 April 2015)

21 April merupakan tanggal yang cukup penting bagi kaum perempuan Indonesia. Tanggal tersebut diakui sebagai hari peringatan kebangkitan kaum perempuan melawan diskriminasi gender, dengan mengusung label
“Hari Kartini”. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana kaum perempuan memaknai peringatan hari bersejarah tersebut?

Sejumlah organisasi perempuan dan lembaga-lembaga baik swasta maupun pemerintah kerap menandai momen penting itu dengan berpakaian kebaya. Bahkan siswi dari SD hingga SMA ikut-ikutan kena imbasnya. Mereka pun diminta berkebaya pada tanggal tersebut. Tidak hanya itu, berbagai kontes kebaya juga turut memeriahkan peringatan hari
Kartini.


Jika berkebaya diorientasikan sebagai upaya pelestarian budaya, sebenarnya tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Persoalannya menjadi berbeda ketika sudah ada embelembel, berkebaya identik dengan memperingati perjuangan Kartini. Di sisi lain, publik perempuan sendiri tidak memiliki pemahaman yang komprehensif, mengapa Kartini begitu
dianggap berjasa bagi kaumnya, hingga kelahirannya perlu diperingati secara khusus.


Kartini merupakan perempuan Jawa yang lahir di Jepara akhir abad ke 19, tepatnya tahun Pada saat itu, budaya pakaian Jawa dalam bentuk kebaya tentu saja masih sangat kental. Tidak mengherankan jika Kartini tumbuh dewasa dengan selalu berpakaian kebaya. Jika Kartini lahir di era sekarang, barangkali Kartini akan tampil berbusana blazer layaknya
para pemikir era modern.

Sangat disayangkan jika perjuangan agung Kartini sebatas diperingati dengan kebaya dan segala kontesnya. Sementara pemikiran dan kepribadian Kartini jauh melewati batas symbol pakaian yang dikenakan pada zamannya. Meski masa hidup Kartini terbilang sangat singkat, namun berbagai pemikiran dan perjuangannya cukup menjadi teladan yang luar biasa bagi kaum perempuan masa kini. Kartini wafat di usia sangat muda, 25 tahun, tepatnya 17 September 1904. Apa sesungguhnya yang sudah dilakukan Kartini sepanjang hidupnya?


Sebuah Teladan

Kita mengenal begitu banyak pahlawan perempuan sebelum era Kartini, seperti Nyi Ageng Serang, Cut Nyak Dien, Cut Meutiah, dan lain-lain. Tentu saja, jasa mereka luar biasa tidak hanya bagi perempuan tapi bagi seluruh bangsa ini.

Ada satu hal yang membedakan Kartini dengan para pejuang pendahulunya. Kartini tidak memanggul senjata, tapi ia berjuang dengan menuangkan segala pemikirannya lewat tulisan. Kartini tidak hanya berjuang melawan colonial Belanda saat itu, namun juga berjuang melawan adat istiadat bangsanya yang banyak merugikan kaum perempuan.


Pemikiran dan aspirasi Kartini tertuang dalam surat-surat yang ditulis untuk sahabatnya di Belanda, khususnya Stella dan Ny. Abendanon. Kumpulan surat-surat itulah yang akhirnya ditebitkan dalam sebuah buku yang tertulis dalam berbagai bahasa. Buku yang terbit pertama ditulis oleh J.H Abendanon dalam bahasa Belanda tahun 1911. Door Duisternis tot Lict: Gedachten Over en Voor Het Javaansche van Raden Adjeng Kartini (Dari Kegelapan Menjadi Terang: Pemikiran Tentang dan Untuk Bangsa Jawa oleh Raden Adjeng Kartini), demikian judul bukunya.


Dalam salah satu suratnya ia menyebutkan “Kami sebagai perempuan Jawa hanya boleh mempunyai satu cita-cita, mengimpikan satu impian, ialah suatu hari kami akan dikawinkan sesuai dengan pilihan orang tua”. Surat tersebut ia tulis sebagai ungkapan kekecewaan atas tradisi yang dianggap merugikan perempuan. Sebagai anak Bupati, Kartini memang berkesempatan mengenyam pendidikan dasar Hindia Belanda di Jepara.

Namun berbeda dengan saudara laki-lakinya, usai pendidikan
dasar dia tidak dibolehkan melanjutkan pendidikan kejenjang lebih tinggi.
Kala itu, anak perempuan harus masuk fase pingitan begitu usianya mencapai 12 tahun, sampai akhirnya siap dinikahkan di usia 14 tahun. Kartini menentang keras budaya pingit terhadap anak perempuan.

Tidak hanya menentang budaya itu, Kartini juga mengajukan beasiswa untuk bisa sekolah ke Belanda. Dalam surat yang ditulis ke Stella, Kartini mengatakan “…ayahku tidak pernah mengira, bahwa kesempatan yang diberikan kepada anak-anak gadisnya menimbulkan keinginan dalam diriku yang bertentangan dengan adat istiadat Jawa bagi gadis sepertiku”.
Kartini sadar bahwa apa yang menjadi keinginannya sangat bertentangan dengan adat kala itu.

Meski kedua perjuangan tersebut tidak terwujud, namun Kartini mampu mengulur masa remajanya cukup panjang hingga usia 24 tahun. Kartini yang dalam suratsuratnya juga menentang poligami, akhirnya dinikahkan
dengan Bupati Rembang yang kala itu sudah beristri.

Sekilas, Kartini berubah dari aspirasi yang diperjuangkannya. Namun dari salah satu surat yang ia tulis, tergambarkan bahwa yang berubah adalah bukan apa yang ia perjuangkan, melainkan cara yang ia pilih. Diceritakan bahwa masyarakat kala itu sangat berharap Kartini memiliki kekuatan sebagai pelindung. Menikah dengan Bupati Rembang, yang notabenenya sebagai penguasa, dinilai sebagai salah satu jalan memberikan perlindungan kepada rakyat kecil sekaligus mewujudkan idealismenya.


Hal lainnya adalah, Kartini sangat menghormati ayahnya yang memang sudah banyak memberi keleluasaan jauh di atas perempuan pada masanya, meski mendapat tekanan berbagai kalangan saat itu. Meski penuh idealisme, namun Kartini tetap mengedepankan ketaatan pada orang tua. Hal ini tergambar dari surat yang berbunyi “…doa orang tua lebih kuat dan lebih dahulu dikabulkan daripada doa anak-anaknya”.


Pengambilan keputusan itu, mengindikasikan Kartini bukanlah perempuan yang egois. Ia rela mengorbankan idealismenya demi menyelamatkan kepentingan yang lebih besar. Agaknya sikap inilah yang justru perlu menjadi pembelajaran bagi perempuan di era sekarang. Tuntutan emansipasi dan segudang gerakan feminisme yang dijalani
seyogyanya tidak perlu mengorbankan kepentingan yang lebih hakiki.

Bukan rahasia lagi, betapa banyak perempuan yang mengejar popularitas dengan dalih emansipasi. Tidak jarang mereka mengorbankan tugas mulianya sebagai ibu yang diharapkan mampu menyiapkan masa depan
yang lebih baik bagi anak-anaknya, demi sebuah kata emansipasi.
Meski hidup di zaman feodal, Kartini tumbuh menjadi perempuan yang sangat akrab dengan buku. Berbagai buku dan majalah kala itu, yang diperoleh dari sahabat-sahabatnya di Belanda.

Kegemarannya membaca sejak kecil membentuk Kartini tumbuh dengan jiwa kritis. Ia mengkritik sikap pejabat Belanda kepada pribumi, etika Jawa yang kerap membuat jurang pemisah, dan laki-laki yang kala itu dianggapnya egoistik.

Pemikiran Kartini yang begitu jauh kedepan menimbulkan tanda tanya sebagian orang. Ia menentang keras anggapan bahwa pemikiran dan aspirasinya akibat pengaruh teman-teman Belanda. Dalam salah satu surat, Kartini menulis “yang menumbuhkan idealisme dan tekad dalam diriku untuk berjuang adalah Tuhan”.


Surat-surat Kartini tak terhitung jumlahnya, yang ia tulis dalam empat tahun terakhir sebelum wafat. Apa yang tertuang dalam tulisan ini hanyalah sekelumit dari curahan hati Kartini tentang apa yang dihadapi kaum perempuan pada zamannya. Kartini bukan sekedar simbol kebaya, Kartini juga tidak mengejar emansipasi secara membabibuta. Ia mencoba mendudukkan hak perempuan secara proporsional, tanpa melepas fitrah
keperempuanannya.

Saatnya kaum perempuan memahami lebih jauh apa yang Kartini perjuangkan. Hingga akhirnya Kartini tersenyum bangga melihat kesuksesan kaumnya, bukan menangis sedih karena emansipasi yang tidak pada tempatnya.

error: Content is protected !!