MENYOAL KADERISASI PEREMPUAN NU

Gelora Bung Karno (GBK) nampak hijau manakala ratusan ribu perempuan berbaju hijau memadati area tersebut. Mereka adalah ibu-ibu dari seantero penjuru negeri yang tengah memperingati hari lahir Muslimat ke 73. Sebagai bagian dari warga Nahdiyyin tentu saja kita patut bangga melihat pemandangan itu. Tidak bisa dipungkiri keberadaan organisasi yang bernaung di bawah Nahdlatul ‘Ulama (NU) ini merupakan salah satu organisasi perempuan terbesar di Indonesia.

Muslimat bukan satu-satunya organisasi perempuan di tubuh NU, di dalamnya masih ada Fatayat. Bahkan untuk remaja putri, NU juga memberikan wadah berkiprah yang disebut Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul ‘Ulama (IPPNU). Sebagai salah satu ormas terbesar di tanah air, NU pantas berbangga karena memiliki kader perempuan sangat besar yang terwadahi dalam orgnisasi yang memiliki akar sangat kuat.

Persoalannya adalah, apakah jumlah besar saja sudah cukup untuk mewarnai kehidupan negeri ini? Apakah jumlah besar juga menjadi jaminan eksistensi organisasi perempuan ini mewarnai gerakan perempuan yang ada? Sederhananya, apakah jumlah besar bisa turut menentukan kebijakan “gender mainstreaming” di negeri ini?

Untuk bisa mewarnai segala hal tersebut, tentu saja dibutuhkan perempuan yang mampu masuk ke berbagai bidang dengan keahlian dan pengetahuan tertentu. Pertanyaannya, berapa banyak kader yang duduk di legislatif dan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Berapa jumlah kader yang memegang kendali korporasi negeri ini? Hal yang tidak kalah penting juga, seberapa banyak kader yang duduk di industri media ataupun menjadi pelaku media yang turut menentukan arah pemberitaan. Berapa banyak kader perempuan NU yang tampil di dunia literasi seperti jurnal dan media ilmiah lainnya?

Untuk menjawab pertanyaan itu, barangkali tidak perlu sebuah riset atau survey yang canggih. Kita cukup melihat tokoh-tokoh perempuan di negeri ini yang muncul dari organisasi perempuan ini. Memang benar, ada beberapa tokoh yang lahir dari organisasi perempuan NU. Sebut saja Khofifah Indar Parawangsa dan Yenni Wachid yang memang kiprahnya sudah terakui hingga ke mancanegara. Namun demikian, jika dihitung secara prosentase, jumlah tokoh yang ada masih belum mewakili jumlah kader perempuan yang ada di tubuh NU, yang notabenenya mencapai ratusan ribu orang.

Lantas apa yang menjadi inti persoalan? Barangkali hal yang paling mendasar adalah persoalan sudut pandang. Di era modern dan penuh persaingan saat ini, kita sudah harus berpikir untuk bisa tumbuh dan berkembang di posisi dan situasi yang lebih komplek. Artinya, kita tidak cukup hanya besar di kandang sendiri. Untuk bisa tumbuh dan berkembang di luar kandang, salah satu prasarat adalah memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk mengimbangi kuatnya arus persaingan.

Organisasi perempuan NU harus bisa membuat program kerja yang lebih komprehensif agar kadernya memiliki daya saing di luar organisasinya, tanpa harus menghilangkan program utama yang menjadi ciri khas ke-NU-an seperti pengajian dan tahlilan.  Tentu saja program tersebut harus dikelola dengan professional, bukan sebatas terpampang di catatan rapat atau tertulis di buku kerja.

Pengkaderan

Hal lain yang lebih krusial adalah terkait pengkaderan. Bicara masalah pengkaderan, barangkali kita bisa membela diri bahwa hal itu tidak hanya melanda organisasi perempuan NU. Hampir semua organisasi yang professional sekalipun mengalami hal sama. Alasan itu tidak perlu dipungkiri, namun kita tetap harus mencoba menjadikan proses pengkaderan ini sebagai hal serius yang harus ditangani. Kita perlu menyiapkan Khofifah dan Yenni baru, sehingga apa yang telah mereka perjuangkan sebelumnya bisa terus berlanjut.

Pengkaderan, sesungguhnya menjadi bagian penting dari kesuksesan seorang pemimpin. Oleh karena itu, tidak ada alasan yang tepat untuk tidak menerapkan hal ini menjadi program khusus yang ditangani secara serius. Dengan langkah ini diharapkan organisasi perempuan NU tidak hanya besar dari kuantitas, namun juga mampu melahirkan tokoh-tokoh perempuan yang berkualitas.

Untuk melahirkan tokoh berkualitas, dibutuhkan kedewasaan memberikan panggung untuk eksis. Bisa jadi, saat ini NU memiliki banyak kader perempuan setingkat master dan doktor. Saatnya mereka diberi panggung untuk berkiprah tanpa melihat kader itu keturunan siapa. Sangat berbahaya bagi perkembangan organisasi jika praktik seperti ini mewarnai sistem pengkaderan. Sebab, hal ini akan melahirkan sebuah diskriminasi yang berujung kepemimpinan hanya milik istri pembesar, tanpa melihat kemampuan dan potensi yang dimiliki seseorang.

Kelangkaan kader yang siap memimpin, bisa melahirkan praktik kepemimpinan yang hanya mengikuti jabatan suami. Hal ini akan menjadi penghambat tersendiri bagi perkembangan organisasi. Oleh karena itu, praktik seperti ini harus dihindari jika organisasi NU ingin tumbuh besar baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Dengan kuantitas dan kualitas, diharapkan organisasi perempuan NU siap mewarnai segala aspek kehidupan di negeri ini.

error: Content is protected !!