MENENGOK KESIAPAN PEREMPUAN DI LEGISLATIF
Pemilihan Legislatif yang akan digelar April mendatang, menyisakan berbagai cerita. Sejumlah partai politik pun kini sedikit lega karena sudah lepas dari proses penyusunan daftar calon legislatif, yang menguras waktu dan tenaga. Tentu saja, kelegaan itu bersifat sementara karena hasil dari kerja keras yang mereka lakukan masih akan ditentukan pada hasil pemilihan mendatang.
Selama ini, Parpol tidak hanya sibuk dengan pemilihan siapa yang paling pas mewakili partai demi perolehan suara, Sejumlah Parpol juga disibukkan dengan pemenuhan 30% keterwakilan perempuan. UU No. 10 tahun 2008 mengatur setiap tiga bakal calon terdapat sekurang-kurangnya satu perempuan. Munculnya UU ini menunjukkan adanya implementasi gender mainstreaming dalam kebijakan yang dibuat pemerintah, khususnya dalam bidang politik.
Apakah produk UU ini bukti keberhasilan perempuan memasukkan perspektif gender dalam kebijakan pemerintah, atau memang ini murni political will pemerintah dalam kerangka pelibatan perempuan di lembaga-lembaga politik? Barangkali pertanyaan tersebut kurang signifikan dibahas. Pastinya UU tersebut membuka kesempatan sangat luas kepada perempuan untuk eksis di lembaga politik yang bertugas merumuskan kebijakan publik. Dengan masuknya perempuan ke lembaga tersebut diharapkan kebijakan publik selalu didasari konsep gender equality, sehingga perempuan akan selalu menjadi bagian penting dari proses pembangunan.
Persoalan yang muncul kemudian adalah sejauh mana peluang tersebut dimanfaatkan oleh perempuan? Untuk menduduki kursi legislatif dibutuhkan kendaraan berupa partai politik. Artinya, perempuan dituntut aktif di partai, paling tidak sebagai pengurus. UU sudah menggariskan bahwa parpol harus memiliki kepengurusan dari unsur perempuan sebesar 30%. Realitanya kader parpol perempuan masih sangat minim jumlahnya. Kalaupun ada, umumnya perempuan menempati posisi kurang strategis. Apakah ini merupakan bias gender atau memang perempuan yang tidak memiliki kemampuan, tentu parpol itu sendiri yang lebih tahu jawabannya. Bias gender sendiri terjadi manakala kepercayaan budaya dan pengatural struktural cenderung berpihak pada laki-laki dari pada perempuan.
Kesulitan parpol mendapatkan kader perempuan sebagai calon legislatif, mengakibatkan sejumlah parpol memasukkan perempuan dari luar partai, sekedar untuk mengisi quota 30%. Tentu saja hal ini praktik lazim dan publik tidak akan menyalahkan. Hal yang disayangkan adalah ketika perempuan yang masuk daftar calon tidak memiliki kapasitas dan kemampuan memadai, peluang untuk terpilih juga kecil. Kalaupun akhirnya terpilih, siapkah mereka dengan agenda yang akan diperjuangkan di lembaga wakil rakyat itu.
Jumlah keterwakilan tanpa disertai kemampuan, sangat disayangkan. Apakah dengan jumlah saja perempuan mampu menghasilkan perundang-undangan yang memiliki keberpihakan pada perempuan? Maraknya kasus human trafficking, TKW, dan KDRT hingga saat ini menjadi PR besar perjuangan kaum perempuan, khususnya mereka yang duduk di legislatif. Jika perempuan yang duduk di lembaga strategis itu tidak dibekali kemampuan yang memadai, mereka hanya akan menjadi pelengkap tanpa bisa mewarnai pengambilan keputusan. Lagi-lagi quota 30% hanya berfungsi sebagai simbol keterwakilan.
Persoalan lain yang kerap muncul adalah banyaknya perempuan yang notabenenya memiliki kemampuan dan pengetahuan memadai namun enggan bersinggungan dengan dunia politik. Sementara jabatan di legislatif tidak bisa dipisahkan dari hal tersebut. Hingga saat ini, dunia politik masih kurang diminati oleh perempuan. Hal ini terbukti dari sedikitnya politisi perempuan yang mewarnai kancah perpolitikan di tanah air.
Mengacu pendapat Linda Babcock dan Sara Laschever dalam bukunya Woman don’t Ask: Negotiation and the Gender Divide, perempuan lebih senang menggunakan pendekatan kolaboratif dalam menyelesaikan setiap persoalan. Selain itu, perempuan sering merasa kawatir jika tindakan yang diambilnya akan berdampak pada hubungan mereka dengan pihak lain. Hal tersebut berakibat perempuan enggan bernegosiasi. Mereka lebih senang menjalankan sesuatu dari pada harus bertanya tentang sesuatu.
Perempuan dalam penggambaran tersebut bisa dipastikan kurang tertarik dengan dunia politik mengingat dalam politik perdebatan bahkan pergesekan merupakan hal yang lazim terjadi. Dibutuhkan mental tersendiri untuk mampu bertahan dalam situasi tersebut. Jika ini yang terjadi, ketidakterwakilan perempuan di legislatif tentu saja bukan persoalan ada atau tidaknya quoata.
Kepemimpinan Organisasi Perempuan
Sebelum mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, sejumlah perempuan kadang memilih untuk bergabung dengan organisasi perempuan. Dilihat dari sisi pembelajaran, hal ini menjadi pilihan yang cukup baik dan bijak. Tentu saja hal ini sangat disayangkan jika ternyata keterlibatannya di organisasi hanya sebatas untuk batu loncatan cari popularitas sebelum menjadi caleg. Hal ini diperparah jika perempuan tersebut adalah istri dari sejumlah tokoh atau pejabat yang kehadirannya dapat menggeser posisi tertentu.
Tidak bisa dipungkiri sejumlah organisasi akan menempatkan pemimpin berdasar jabatan suami. Mekanisme yang ada tidak melihat apakah perempuan tersebut memiliki pengetahuan atau pengalaman yang dipersyaratkan untuk memimpin. Pola penghormatan pemimpin berdasar jabatan suami itu, tentu saja akan menutup peluang perempuan yang mungkin lebih siap memimpin, baik dari sisi pengalaman maupun ilmu pengetahuan. Tanpa disadari praktek diskriminasi telah dilakukan oleh perempuan terhadap perempuan.
Ketika pemimpin tersebut kemudian mendaftarkan diri sebagai caleg, dengan embel-embel pengalaman memimpin organisasi, lagi-lagi perempuan terjebak pada ketidakmampuan menempatkan wakil yang memiliki kapasitas dan integritas. Jika hal ini telah terjadi, masih pantaskah perempuan menuding bahwa biang diskriminasi adalah laki-laki?
Pada akhirnya semua persoalan kembali pada kaum perempuan. Apakah perjuangan panjang dan peluang yang sudah ada di depan mata akan berlalu begitu saja? Pastinya perjuangan melalui jalur apapun tidak akan berdampak signifikan selama perempuan hanya sibuk dengan retorika tanpa membakali diri dengan kemampuan dan pengetahuan.