DEMI UANG: HARUSKAH KAMPUS MENJADI ‘BROKER’ TAMBANG (ANALISIS KRITIS PERNYATAAN FORUM REKTOR)

Zulfatun Mahmudah

Pertambangan menjadi bisnis seksi yang menarik minat banyak institusi. Setelah NU dan Muhammadiyah, kini giliran Forum Rektor “kepincut” bisnis tersebut. Seperti ditulis Kompas.com (22/1/2025), Wakil Ketua Forum Rektor, Didin Muhafidin mendukung wacana agar Perguruan Tinggi (PT) dapat mengelola tambang yang diusulkan masuk dalam revisi Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba).

Didin menegaskan, biaya kuliah bisa turun jika kampus mengelola tambang. “Dengan mengelola tambang, SPP tidak perlu naik, beban lain tidak perlu naik, dan kesejahteraan pegawai bisa meningkat,” ungkapnya. Dikutip dari liputan6.com (23/1/2025),   Didin juga mengatakan agar masyarakat tidak perlu kawatir apabila PTN-BH dan PTS ikut mengelola pertambangan karena mereka memiliki Majelis Wali Amanah dan akuntan publik untuk mengawasi pengelolaan keuangan.

Pernyataan tersebut di atas mengesankan sikap gegabah dalam melihat persoalan pertambangan. Pertambangan seolah dipastikan akan mendatangkan keuntungan finansial bagi kampus, tanpa melihat bagaimana proses pertambangan dilakukan dengan segala risiko yang ada. Pernyataan tersebut sekaligus menunjukkan cara berpikir yang hanya berbasis pada satu sudut pandang, bisnis dan profit.

Realitas tambang sebagai industri yang berisiko, khususnya dilihat dari persoalan lingkungan dan sosial, seolah terabaikan begitu saja. Sikap kritis kampus, khususnya akademisi yang selama ini kerap melihat tambang dari kaca mata lingkungan dan sosial, seolah tenggelam oleh bayangan besarnya keuntungan dari pengelolaan tambang.

Pandangan tersebut tidak berbeda jauh dengan narasi yang dibangun pengurus PBNU di awal upayanya mendapatkan konsesi. “NU miskin, dan membutuhkan modal untuk operasional organisasi,” kata Ketua PBNU, Yahya Cholil Staquf di sejumlah forum. Pernyataan tersebut sedikit berbeda dengan konstruksi narasi PP Muhammadiyah, yang terkesan lebih ilmiah.

Muhammadiyah ingin mengelola tambang dengan dalih untuk menyejahterakan umat. Meskipun sekilas tidak terlihat adanya tujuan meraup pundi-pundi uang, namun narasi tersebut sesungguhnya sangat sulit dibuktikan, mengingat begitu kompleksnya persoalan sosial penambangan yang seringkali muncul di lapangan. Pernyataan tersebut menjadi sebuah wacana dalam kata yang membutuhkan pembuktian nyata.

Tambang Bisnis Jangka Panjang

 Sebagai kumpulan akademisi, Forum Rektor idealnya merupakan wadah berkumpulnya para ahli yang mengkaji segala persoalan secara logis dan ilmiah. Pertanyaannya adalah, apakah dukungan terhadap kebolehan Perguruan Tinggi (PT) menambang sudah dikaji secara ilmiah? Apalagi dasar berpikirnya adalah untuk membantu keuangan institusi kampus.

Tanpa bermaksud menggurui, ada baiknya pihak-pihak yang tergabung di Forum Rektor mengkaji lebih dalam bagaimana proses pertambangan dilakukan. Industri tambang bukanlah bisnis yang bisa menghasilkan keuntungan cepat. Jangankan keuntungan, mengembalikan modal awal saja, membutuhkan waktu cukup panjang. Kondisi ini harus dipahami agar bayangan keuntungan tidak berujung petaka yang mengecewakan.

Ada banyak tahapan yang harus dilalui hingga sebuah pertambangan bisa meraup keuntungan. Tahapan tersebut meliputi eksplorasi, konstruksi, produksi, dan pemasaran. Masing-masing tahap sendiri membutuhkan waktu bertahun-tahun. Tahap riset awal dan eksplorasi misalnya, bisa jadi membutuhkan waktu 5-10 tahun. Hal ini juga diungkapan Ridho Kresna Wattimena,  Dekan Fakultas Teknik Pertamabngan dan Perminyakan ITB dalam rapat dengar pendapat umum terkait revisi UU Pertambangan Minerba bersama Badan Legislasi DPR RI, Jakarta, sebagaimana ditulis Kompas.com (23/1/2025).

Sebagai gambaran, dalam laporan keberlanjutan (https://www.kpc.co.id/id/laporan-keberlanjutan/), PT Kaltim Prima Coal (KPC) menyebutkan, tahun 1982 pihaknya melakukan tahapan eksplorasi, dan baru bisa berproduksi pada tahun 1990. Sedangkan penjualan hasil tambang baru terlaksana pada tahun 1992.

Meskipun sudah bisa memasarkan produknya, sebuah korporasi tambang bisa dipastikan belum mendapatkan keuntungan di awal fase pemasarannya. Kondisi tersebut disebabkan tingginya biaya eksplorasi, pembangunan infrastruktur, dan juga biaya produksi. Pada tahap konstruksi yang dilakukan tahun 1989 misalnya, KPC menginvestasikan dana senilai US$570 juta.

Modal awal bukan satu-satunya persoalan yang akan dihadapi PT, jika terjun di bisnis tambang. Berbicara keuntungan dalam bisnis ini juga harus penuh perhitungan. Pasalnya, di luar biaya operasional, ada begitu banyak kewajiban yang harus dipenuhi agar operasi pertambangan berjalan sesuai aturan.

Kewajiban tersebut meliputi jaminan reklamasi, pajak, royalti, dan sharing profit yang besarannya sudah diatur dalam UU Minerba No 4 tahun 2009, pasal 29 . Perlu dipahami bahwa jaminan reklamasi tidak sama dengan biaya reklamasi yang nantinya harus dianggarkan ketika korporasi sudah melakukan proses pertambangan. Selain itu, korporasi juga harus menyediakan dana CSR yang terkadang besarannya justru tidak bisa diprediksi, bergantung dari isu sosial dan lingkungan yang terjadi di lapangan.

Tantangan lain yang akan dihadapi PT adalah terkait pemasaran. Wacana pergeseran PLTU ke energi terbarukan, bisa jadi akan mempersempit pasar penjualan batu bara dalam negeri. Dikutip dari cnbcindonesia.com (22/11/2024), Presiden Prabowo menegaskan akan menyuntik mati PLTU batu bara dalam negeri dalam kurun waktu 15 tahun ke depan.  Terkai hal tersebut, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE), Eniya Listiani Dewi mengatakan, 13 PLTU  akan diakhiri masa operasinya sebelum 2030.

Percepatan pengembangan energi terbarukan untuk penyediaan tenaga listrik sendiri, secara resmi diatur melalui Peraturan Presiden No 112 tahun 2022. Berbagai kebijakan tersebut idealnya menjadi salah satu pertimbangan Forum Rektor ketika akan mendukung wacana hak konsesi untuk PT. Jika tambang yang harus dikelola PT adalah batu bara dan baru 5-10 tahun ke depan bisa berproduksi, kemana hasil tambangnya akan dijual?

Forum Rektor yang beranggotakan para ahli, bisa jadi punya terobosan jitu mengatasi hal tersebut. Salah satunya adalah dengan hilirisasi. Persoalannya, hingga tahun ini, belum ada industri batu bara di Indonesia yang berhasil melakukan hilirisasi. Selain itu, terobosan ini berbiaya sangat tinggi.

Upaya untuk melakukan hilirisasi batu bara pernah dilakukan sebagai salah satu proyek strategis nasional. Dikutip dari cnbcindonesia.com (9/3/2023), pemerintah menggandeng Air Products and Chemicals.Inc (APCI), sebuah perusahaan asal Amerika.  Sayangnya, investasi senilai Rp 33 triliun yang akan dilakukan di Bengalon, Kutai Timur itu batal dilanjutkan setelah APCI  mengundurkan diri dari proyek tersebut.

Melihat begitu panjangnya proses yang harus dilalui, dan begitu tingginya biaya yang harus dikeluarkan, mungkinkah bisnis ini mendatangkan keuntungan cepat bagi PT? Pertanyaan yang paling mendasar adalah dari mana modal awal akan diperoleh? Apakah PT akan mengambil langkah seperti NU dan Muhammadiyah yang disinyalir menggandeng mitra bisnis dalam melaksanakan hak konsesinya.

Jika langkah ini yang dilakukan, maka PT tidak lebih dari sekedar broker yang menjual hak konsesinya kepada pemilik modal. Dengan cara tersebut bisa dipastikan keuntungan pun akan terbagi bukan semata milik PT sendiri. Menjadi kontraproduktif ketika lembaga yang katanya membutuhkan dukungan dana, justru terjebak praktik memperkaya kapitalis demi memaksakan terjun di bisnis yang sangat berisiko ini.

Tambang dan Isu Sosial

 Modal awal yang begitu besar dan lamanya jangka waktu meraih keuntungan, bukan persoalan tunggal yang akan dihadapi PT, jika terjun di bisnis ini. Tambang adalah bisnis yang sangat dekat dengan isu sosial. Hal tersebut akan selalu muncul dalam setiap langkah kinerja korporasi. Bagi para praktisi pertambangan, isu sosial menjadi makanan sehari-hari yang harus dicarikan solusi agar korporasi bisa terus berproduksi.

Sebelum tahapan eksplorasi dan produksi misalnya, korporasi pertambangan akan dihadapkan pada persoalan pembebasan lahan. Bagi pihak yang tidak pernah terjun di bisnis pertambangan, bisa jadi hal ini akan memunculkan pertanyaan, “hak konsesi sudah dimiliki, mengapa harus melakukan pembebasan lahan? Realitas yang ada, hak konsesi tidak serta merta menjadi tiket untuk melakukan kegiatan penambangan.

Pasal 135 UU No 4 2009 menggariskan,  pemegang IUP Eksplorasi atau IUPK Eksplorasi hanya dapat melaksanakan kegiatannya setelah mendapat persetujuan dari pemegang hak atas tanah. Dalam konteks ini, korporasi tetap harus melakukan sejumlah negosiasi dengan pemilik lahan agar bersedia melepas lahannya dengan ganti rugi yang disepakati. Tumpang tindih kepemilikan juga kerap dihadapi dalam proses pembebasan lahan.

Nilai pembebasan lahan sendiri sangat bervariasi bergantung luasan dan jenis tanaman yang ada di lahan yang akan ditambang. Menggelontorkan uang milyaran untuk pembebasan lahan, menjadi hal yang kerap dilakukan agar korporasi bisa melakukan proses produksi. Bagi korporasi tambang, pembebasan lahan menjadi isu serius yang harus ditangani. Tidak mengherankan jika sejumlah korporasi membentuk departemen khusus terkait land management yang dipimpin langsung oleh seorang manajer.

Tentu saja pembebasan lahan bukan satu-satunya isu sosial yang harus diselesaikan. Korporasi akan dihadapkan pada persoalan sosial lain, seperti pengembangan masyarakat adat di wilayah sekitar tambang, isu tenaga kerja dan kontraktor lokal, dan berbagai tuntutan Ormas yang seringkali mengatasnamakan suku dan agama. Isu tersebut akan menjadi persoalan yang cukup rumit. ketika sudah ditumpangi pihak-pihak yang secara politis memiliki kepentingan pribadi.

Gambaran kondisi di atas, bisa menjadi pertimbangan, jika Forum Rektor akan terus mendukung izin usaha penambangan bagi Perguruan Tinggi. Satu hal yang pasti, kampus harus menyiapkan  sumber daya, baik finansial maupun tenaga ahli agar hak konsesi mendatangkan keuntungan sesuai yang diangankan.

Tambang dan Isu Lingkungan

Kehadiran isu sosial seringkali tidak bisa dilepaskan dari isu lingkungan. Sebagai contoh, ketika terjadi banjir di sekitar tambang, korporasi pertambangan akan menjadi sasaran tembak yang paling enak. Buntunya saluran air oleh tumpukan sampah dan dangkalnya sungai akibat pembuangan sampah yang tak terarah, seolah tidak dilihat sebagai penyebab terjadinya banjir.

Tambang adalah industri yang dari lahirnya telah disorot negatif dari sisi lingkungan. Banyaknya penambang ilegal dan penambang legal yang tidak menjalankan aturan penambangan yang baik, semakin memperburuk citra industri ini sebagai ‘biang kerok’ terjadinya kerusakan lingkungan.

Meskipun gambaran umum industri penambangan demikian, bukan berarti tidak ada korporasi yang terus berupaya menjalankan operasi penambangan sesuai regulasi. Persoalannya adalah penanganan lingkungan sesuai regulasi identik dengan biaya tinggi. Meskipun jaminan reklamasi sudah diserahkan ke negara,  namun korporasi harus tetap memiliki anggaran tahunan untuk menangani persoalan lingkungan yang muncul akibat proses penambangan.

Sebagai gambaran, dalam laporan keberlanjutannya, KPC menggelontorkan dana senilai US$ 68,991,313.89 tahun 2023, US$ 66,601,059.37 tahun 2022, dan US$ 70.822.279,48 tahun 2021.

Biaya tersebut digunakan untuk program tata kelola lingkungan, antara lain; reklamasi dan revegatasi, pengelolaan kualitas air, udara dan tanah, pencegahan dan penanggulangan air asam tambang, penyiapan kolam pengendap, dan pengelolaan limbah B3 dan non B3. Selain itu, korporasi juga harus menyiapkan desain dan tata kelola lingkungan pasca tambang, sehingga ketika korporasi selesai beroperasi tidak menyisakan kerusakan, sebagaimana yang banyak ditemukan saat ini.

Bagi korporasi yang menerapkan proses penambangan berbasis Good Mining Practice (GMP) dan good corporate governance, program lingkungan menjadi aktivitas penting yang terus dilakukan, meskipun harus menghabiskan biaya cukup besar. Dalam UU No 4 tahun 2009 pasal 95 disebutkan bahwa pemegang IUP dan IUPK wajib menerapkan kaidah penambangan yang baik. Pelaksanaannya diatur dalam Permen ESDM No 26 tahun 2018. Dengan GMP diharapkan dampak negatif pertambangan bisa diminamilisir.

Persoalan yang lebih serius adalah, akan ada pembukaan lahan tambang dalam jumlah besar, jika peluang ini ditangkap oleh sebagian besar PT di Indonesia. Padahal sumber daya alam bukanlah milik generasi saat ini saja. Eksploitasi secara besar-besaran dalam waktu bersamaan berpotensi mempercepat berkurangnya cadangan sumber daya alam sekaligus memperluas terjadinya kerusakan alam.

Berbagai gambaran peliknya tata kelola lingkungan pertambangan disertai biaya pelaksanaannya yang sangat tinggi, harus menjadi pertimbangan, ketika PT berniat menggeluti bisnis tersebut. Forum Rektor harus mengkaji, apakah keuntungan yang akan diraih sebanding dengan risiko yang ada. Ketika PT justru tidak mampu melakukan tata kelola lingkungan pertambangan dengan baik, maka PT akan kehilangan reputasinya sebagai institusi yang selama ini dinilai kritis menyuarakan pelestarian lingkungan.

 


Penulis adalah Doktor Kajian Budaya dan Media, bekerja di bidang public communication di sebuah industri pertambangan internasional, dan dewan pakar komunikasi publik di sebuah organisasi pertambangan

error: Content is protected !!