United Breaks Guitars: Bentuk Kegagalan Penanganan Krisis

Pendahuluan

United Breaks Guitars adalah sebuah lagu dan video musik yang menggambarkan buruknya penanganan keluhan customer. Kasus tersebut menimpa penumpang United Airlines, Dave Carroll, seorang musisi asal Kanada. Carroll melakukan komplain atas gitarnya yang rusak akibat penanganan bagasi yang tidak baik. Namun pihak maskapai tidak merespon hal tersebut dengan baik.

Akibatnya, Carroll mencari saluran lain untuk menyampaikan kekecewaannya. Melalui lagu dan video musik yang diunggah di YouTube, ia berhasil mempengaruhi opini publik yang berdampak signifikan pada United Airlines. Maskapai ini diterjang krisis setelah membiarkan issue tersebut tanpa penanganan yang tepat. Peristiwa ini menjadi pembelajaran yang sangat berharga bagi banyak organisasi terkait pentingnya manajemen krisis dan komunikasi krisis.

Sebuah organisasi yang tidak menyiapkan diri dengan  manajemen krisis dan komunikasi krisis, akan mengalami kerugian baik dari sisi finansial maupun reputasi. Selain itu, dilihat dari sisi PR, perusahaan ini tidak menjalankan prinsip PR dengan baik, terbukti tidak adanya upaya untuk membangun komunikasi yang berdampak pada munculnya pemberitaan positif.  Oleh karena itu, kasus ini perlu dijadikan bahan diskusi untuk melihat secara lebih komprehensif bagaimana peristiwa terjadi, tindakan korporasi, hingga pengaruhnya terhadap eksistensi korporasi. Diskusi ini juga memberikan pembelajaran bagaimana membuat rencana komunikasi untuk menyelesaikan krisis tersebut.

Kronologi Kasus

Keseluruhan kisah United Breaks Guitars (UBG) tergambar dengan jelas dalam buku United Breaks Guitars The Power of One Voice in The Age of Social Media. Buku yang ditulis sendiri oleh Dave Carroll (2012) itu menjelaskan bagaimana cara United Airlines menangani dan melayani customer. Peristiwa ini terjadi 31 Maret 2008 silam, ketika Carroll terbang menggunakan United Airlines untuk tujuan tour musik. Penerbangan dilakukan dari Halifax, Canada menuju Nebraska, Amerika Serikat.

Dalam perjalanan tour musik itu, Carroll membawa berbagai alat musik, salah satunya adalah Tylor Guitar 710ce. Saat mendarat, ia dikejutkan oleh teriakan salah seorang penumpang perempuan yang mengatakan “oh my God they’re throwing guitars out there”. Khawatir akan kerusakan gitarnya, Carroll pun mencoba menanyakan cara penanganan bagasi tersebut kepada crew dan petugas United Airlines lainnya. Namun upaya itu tidak mendapatkan tanggapan baik. Dari tiga petugas yang ditemui, Carroll justru mendapatkan jawaban “this stuff happens all the time, no one cares, we won’t be doing anything about it, and you should just accept it.”

Setibanya di Nebraska, Amerika, Carroll membuka bagasi berisi gitar kesayangannya dan menemukan gitar tersebut rusak parah. Saat check in di Omaha untuk perjalanan pulang, ia pun mencoba menyampaikan keluhannya sambil menunjukkan gitar yang rusak. Sayang petugas United Airlines yang ditemui kembali tidak memberikan respon yang memuaskan customer. Carroll pun memutuskan untuk memperbaiki gitar tersebut ke ahlinya dengan biaya mencapai $1.200.

Respon negatif yang diterima tidak membuat dirinya putus berharap. Komplain tertulis pun ia lakukan dengan harapan biaya perbaikan akan diganti dengan voucher penerbangan. Tujuh bulan setelah kejadian, akhirnya Carroll berhasil komunikasi dengan seorang customer service di Chicago bernama Ms Irlweg. Kekecewaan kembali ia rasakan, setelah ada keputusan akhir bahwa pihak United Airlines tidak bisa memenuhi permintaannya. Alasan pihak maskapai adalah komplain harus disampaikan paling lambat 24 jam setelah kejadian.

Dalam kondisi putus asa atas kasus yang menimpanya, sang musisi ini memutuskan membuat lagu dan video musik yang menceritakan peristiwa yang dialaminya. Lagu yang mulai ditulis Januari 2008 itu, akhirnya diunggah ke YouTube 6 Juli 2009 dan berhasil memikat puluhan juta viewer. Pada September 2009, jumlah viewer mencapai lebih dari 20 juta orang. Video tersebut juga dinobatkan sebagai most-watched YouTube music video in the world. Berawal dari YouTube, peristiwa ini menjadi pemberitaan di sejumlah media besar di dunia, seperti BBC, CNN, The New York Times, dan Oprah Radio.

Dua hari setelah beredarnya video UBG, pihak United Airlines bereaksi. Tanggal 8 Juli 2009, tepatnya delapan bulan setelah ditolaknya permohonan penggantian biaya, Manajer customer service United Airlines menghubungi Carroll. Pihaknya meminta maaf sekaligus menawarkan penggantian biaya perbaikan dan kompensasi atas kejadian yang dialami. Carroll menolak pemberian ganti rugi tersebut. Akhirnya United Airlines mencoba mengambil hati publik dengan menyumbangkan dana senilai $3.000 atas nama Carroll ke sebuah Institut Jazz di Amerika Serikat. Langkah yang diambil United Airlines sudah sangat terlambat. Semua tindakan yang dilakukan tidak berdampak positif terhadap upaya pengembalian reputasi.

Krisis pun tidak bisa dihindari lagi. Chris Ayres dalam tulisannya di The Times Online, UK mengatakan “..within four days of the song going online, the gathering thunderclouds of bad PR caused United Airlines’ stock price to suffer a mid-flight stall, and it plunged by 10 per cent, costing shareholders $180 million. Which, incidentally, would have bought Carroll more than 51,000 replacement guitars.” (https://www.huffpost.com/entry/united-breaks-guitars-did_n_244357. Diperoleh tgl 20 uli 2019). United Airlines tidak hanya mengalami kerugian finansial. Di mata publik slogan “fly the friendly skies” yang selama ini dipakai untuk membangun reputasinya serta merta berubah. Publik mengubah slogan tersebut dengan “United Breaks Guitars”.

Literature Review

Dari sudut pandang ilmu komunikasi, ada dua pembelajaran yang bisa diambil dari kasus UBG. Pembelajaran pertama terkait pentingnya penanganan risiko, issue, dan krisis dengan benar. Pembelajaran kedua adalah pemanfaatan media sosial sebagai sarana pembentukan opini publik.

Jika dikaitkan dengan persoalan risiko, bisnis jasa seperti transportasi merupakan salah satu jenis bisnis yang memiliki risiko tinggi. Selain terkait kecelakaan, bisnis ini mudah mendapatkan komplain ketika penumpang merasa tidak dilayani dengan baik. Regester dan Larkin (2015, p. 17) mendefinisikan risiko sebagai “a measure of the adverse effect of an issue. It is about assessing and communicating the possible hazards associated with a particular process relative to the safeguards and benefits which it offers”. Berdasarkan kutipan tersebut, risiko dipahami sebagai ukuran dampak buruk suatu masalah. Definisi lain disampaikan oleh Field (2008) dalam Walaski (2011, p. 7) yang mengatakan “risk is the probability (or likelihood) that a harmful consequence will occur as a result of an action”. Pendapat Field ini menekankan probabilitas munculnya bahaya sebagai akibat dari suatu tindakan.

Agar risiko tidak berpotensi menjadi krisis, organisasi perlu melakukan sebuah komunikasi risiko. Dalam melakukan komunikasi risiko, Regester dan Larkin (2015, p. 22) memberikan beberapa pedoman agar komunikasi risiko efektif, seperti perlunya memahami dinamika emosi publik dan cara kerja kelompok kepentingan, termasuk media. Selain itu, Regester dan Larkin menegaskan pentingnya berkomunikasi dengan bahasa yang bisa mengurangi kegelisahan publik sekaligus memastikan dan membangun sebuah kepercayaan.

Dengan langkah tersebut diharapkan potensi risiko yang ada tidak memunculkan sebuah issue yang berdampak pada ketidakpuasan publik. Regester dan Larkin (2015, p. 43)  mendefinisikan issue sebagai berikut,

An issue represents a gap between corporate practice and stakeholder expectations. In other words, an emerging issue is a condition or event, either internal or external to the organization, that if it continues will have a significant effect on the functioning or performance of the organization or on its future interests.

Issue biasanya ditandai dengan beredarnya informasi baik di media sosial maupun media massa, seperti TV, koran, dan majalah. Di era industri 4.0 dimana manusia saling terhubung dengan perantara teknologi komunikasi, maka issue akan berkembang sangat cepat melalui media sosial. Seperti dikatakan Austin, Liu dan Jin (2017, p. 58),

Social media speed the development of critical situations because they enable rapid sharing of information on a hugely unimaginable scale in real time. People use social media to seek updated information on critical situations, to share experiences, and to get emotional support.

Harapan dan tuntutan publik melalui media berita tersebut, menurut Regester dan Larkin (2015, p. 28) menjadi tantangan tersendiri bagi jalannya sebuah organisasi. Regester dan Larkin menulis, sebuah survei pendapat publik pernah dilakukan di Amerika terkait kepuasan konsumen. Dari 1000 responden yang diteliti, sebesar 50% responden mengaku pernah melakukan boikot terhadap perusahaan, dan 26% menyatakan pernah bergabung dengan sebuah aksi boikot. Mereka mengaku bahwa alasan tindakan tersebut adalah pelayanan customer yang buruk dan kualitas produk yang tidak bagus.

Hasil penelitian tersebut berpotensi menjadi issue yang bisa merugikan organisasi. Meski demikian, Regester dan Larkin (2015, p. 39) optimis bahwa issue bisa diantisipasi dan ditangani dengan manajemen yang tepat. Regester dan Larkin  menjelaskan manajemen issue adalah “a proactive, anticipatory and planned process designed to influence the development of an issue before it evolves to a stage which requires crisis management” (2015, p. 68). Kutipan ini menunjukkan pentingnya langkah pro aktif, antisipatif, dan terencana agar issue tidak eskalasi menjadi krisis.

Krisis, menurut Fearn-Bank (2010, p. 2) adalah  “a major occurrence with a potentially negative outcome affecting the organization, company, or industry, as well as its publics, products, services, or good name”. Mengacu pendapat tersebut krisis berpotensi negatif tidak hanya bagi organisasi atau korporasi tapi juga pada publik, produk yang dihasilkan juga nama baik. Sedangkan Lerbinger (1997) dalam Ndlela (2019, p. 6) menyebutkan “three characteristics of crisis: suddenness, uncertainty, time compressions”. Mengacu pendapat Lerbinger tersebut selain muncul tiba-tiba, krisis berjalan dalam waktu yang sangat ketat. Artinya, krisis menuntut respon yang cepat.

Selain datang tiba-tiba, Tench dan Yeomans (2017, p. 347) mengatakan krisis bisa berasal dari berbagai sumber. Dengan kata lain, organisasi memiliki beragam potensi risiko krisis, baik yang terkait dengan stakeholder utama maupun pengoperasian fasilitas. Mengingat krisis akan berdampak pada banyak hal dan datang tak terduga waktunya, maka sebuah organisasi harus memiliki manajemen PR krisis dan komunikasi krisis yang baik. Dengan persiapan tersebut diharapkan ketika krisis terjadi organisasi siap dengan segala skenario langkah strategis yang akan diambil untuk mengatasinya.

Menurut Tench dan Yeomans (2017, p. 345) manajemen PR krisis adalah “a collection of factors that are used to address the crisis and to lessen the damage a crisis might inflict on the organization and its stakeholders. Crisis public relations management involves interventions that occur throughout the lifecycle of a crisis. Sedangkan crisis communication dimaksudkan sebagai dialog antara organisasi dan publik sebelum, selama dan setelah hal negatif terjadi. Dialog terkait strategi dan desain taktik yang dilakukan untuk meminimalkan kerusakan image organisasi (Fearn-Bank, 2010, p. 2).

Ketika krisis muncul organisasi harus bisa mengelola persepsi yang muncul bukan terjebak pada aspek-aspek teknis semata. Seperti dikatakan Regester dan Larkin (2005, p. 163),

Successful management of a crisis situation is about recognizing you have one, taking the appropriate actions to remedy the situation, being seen to take them and being heard to say the right things. Companies often misclassify a problem, focusing on the technical aspects and ignoring issues of perception.

Dalam kondisi krisis PR memegang peranan sangat penting. Selain menyelesaikan dampak dari krisis itu sendiri, PR juga harus memikirkan strategi yang tepat untuk memperbaiki image dan reputasi yang rusak akibat krisis. PR harus dikelola secara strategis agar berfungsi maksimal saat krisis terjadi. Grunig and Repper (1992) dalam Fearn-Bank (2010, p. 22) menegaskan “PR is managed strategically when it identifies stakeholders (separates active publics from stakeholder categories) and resolves issues created by interaction of organization and publics through symmetrical communications programs early in the development of issues”.

Salah satu yang harus diperhatikan oleh PR dalam kondisi krisis adalah komunikasi dengan media. Dalam kondisi normal, sangat sedikit media yang mau meliput organisasi. Namun sebaliknya, dalam kondisi krisis, media akan memburu PR ataupun siapa saja yang menjadi perwakilan organisasi. Oleh karena itu, PR harus membangun kerjasama yang baik dengan media.

Mengingat reputasi begitu berharga bagi sebuah organisasi, maka dalam penanganan krisis organisasi tetap harus mengedepankan penanganan korban. Regester dan Larkin (2005, p. 172) menegaskan “talk about people first, then the environment and property and, finally money”.  Dalam kondisi krisis, Ndlela (2019, p. 25) mengatakan bahwa stakeholder memegang kunci kesuksesan dan kegagalan tindakan organisasi selama masa krisis. Jika sebuah korporasi lebih mengutamakan menangani korban sebelum yang lain, dimungkinkan persepsi stakeholder akan tetap bagus dan seberat apapun krisis yang dihadapi tidak akan menghancurkan reputasinya.

Riview dan Analisa

Munculnya video UBG telah menyeret United Airlines dalam sebuah krisis.  Seperti disampaikan Fearn-Bank (2010, p. 2) bahwa krisis merupakan kejadian berpotensi negatif tidak hanya bagi organisasi atau korporasi tapi juga pada publik, produk yang dihasilkan juga nama baik. Seperti disampaikan Chris Ayres di atas, bahwa akibat kasus tersebut harga saham United Airlines turun hingga 10% atau setara dengan 180 juta USD. Selain itu, publik mengganti slogan maskapai ini dengan United Breaks Guitar, yang mengindikasikan buruknya opini publik terhadap maskapai ini.

Sementara itu, jika dikaitkan dengan definisi krisis yang disampaikan Lerbinger (1997) dalam Ndlela (2019, p. 6) bahwa salah satu kriteria krisis adalah kemunculannya yang tiba-tiba, maka kasus UBG tidak bisa dikatakan sebagai peristiwa yang muncul tiba-tiba. Sebab, tanda-tanda potensi krisis tersebut sudah ada jauh hari sebelum video UBG muncul di publik. Seperti disampaikan di atas, bahwa krisis ini berawal dari kerusakan gitar Dave Carrol akibat buruknya penanganan bagasi saat terbang dengan United Airlines tanggal 31 Maret 2008. Komplain yang dilakukan Carrol terjadi selama tujuh bulan, sampai akhirnya ada keputusan yang menyebutkan pihak maskapai tidak bisa memenuhi tuntutannya.

Keseluruhan tindakan yang dilakukan pihak United Airlines merupakan risiko yang sewaktu-waktu membahayakan korporasi. Sebagaimana pendapat Field (2008) dalam Walaski (2011, p. 7), risiko adalah probabilitas munculnya bahaya sebagai akibat dari suatu tindakan. Sayang maskapai ini tidak menyadari bahwa risiko tersebut bisa berdampak pada issue maupun krisis. United Airlines telah abai dan tidak menanggapi komplain customer dengan baik. Maskapai ini juga tidak melakukan deteksi dini bahwa ketidakpedulian pada komplain customer akan membahayakan korporasi.

Hal ini mengindikasikan bahwa United Airlines tidak memiliki komunikasi risiko yang baik . Padahal komunikasi risiko tersebut sangat penting agar korporasi memahami dinamika emosi publik dan cara kerja kelompok kepentingan sekaligus untuk mengurangi kegelisahan publik dan membangun sebuah kepercayaan, seperti disampaikan Regester dan Larkin (2015, p. 22). United Airlines tidak menunjukkan sikap empati atas kekecewaan yang dirasakan penumpangnya.

Kasus UBG pun akhirnya memasuki tahapan issue, yang dibuktikan dengan tidak adanya titik temu antara Carroll dan pihak United Airlines. Seperti dikatakan Regester dan Larkin (2015, p. 43) bahwa issue muncul ketika ada gap antara praktik organisasi dan harapan stakeholder. Meskipun demikian, Regester dan Larkin ((2015, p. 39) menjelaskan bahwa issue bisa diantisipasi dan ditangani dengan manajemen yang tepat. Namun kenyataannya pihak United Airlines tidak melakukan upaya tertentu untuk menangani issue tersebut. United Airlines tetap memutuskan tidak memenuhi tuntutan Carroll.

Ketidakpedulian pihak United Airlines dengan issue yang muncul, sekaligus membuktikan bahwa maskapai ini juga tidak memiliki manajemen issue. Ini terlihat dari tidak adanya langkah pro aktif, antisipatif, dan terencana untuk menyelesaikan kasus tuntutan customer, seperti dikatakan Regester dan Larkin (2015, p. 68).

Sikap United Airlines yang membiarkan komplain tanpa tanggapan, mendorong Carroll mencari alternatif saluran lain untuk menyampaikan kekecewaannya. Sebagai pencipta lagu dan musisi, Carroll menyalurkan emosinya melalui lagu yang disebarkan lewat YouTube. Kasus UBG pun tersebar dengan sangat cepat. Carroll tidak hanya berbagi pengalaman, ia pun mendapat dukungan emosional publik. Dampak tindakan Carroll sesuai dengan pendapat Austin, Liu dan Jin (2017, p. 58) yang mengatakan, penggunaan media sosial akan mempercepat perkembangan situasi krisis. Sebab, informasi yang tersaji akan tersebar cepat secara real time. Austin, Liu dan Jin juga menegaskan bahwa media sosial tidak sekedar sarana untuk menyebarkan informasi dan berbagi pengalaman. Media sosial juga bisa dimanfaatkan sebagai sarana  untuk mendapatkan dukungan emosional.

Berdasar tulisan Chris Ayres, dalam waktu empat hari setelah video UBG beredar, kasus ini telah berubah dari issue menjadi krisis. Pihak United Airlines tidak memiliki kesempatan lagi untuk mencegah hal tersebut. Seperti dikatakan Lerbinger (1997) dalam Ndlela (2019, p. 6) bahwa salah satu karakteristik krisis adalah time compressions. United Airlines telah menyia-nyiakan momen untuk mencegah kehadiran krisis tersebut. Maskapai ini terlihat kurang memahami bahwa krisis bisa berasal dari berbagai sumber, salah satunya adalah komplain customer yang tidak ditanggapi dengan baik, seperti yang disampaikan Tench dan Yeomans (2017, p. 347).

Kasus UBG juga mengindikasikan United Airlines tidak memiliki manajemen PR krisis yang baik. Ini terlihat dari tidak adanya langkah mengurangi kerusakan akibat krisis, seperti  memperbaiki opini publik yang teranjur beredar. United Airlines hanya melakukan komunikasi dengan Carroll tidak ada upaya melibatkan media untuk memperbaiki citranya. Jika dikaitkan dengan pendapat Tench dan Yeomans (2017, p. 345) tentang manajemen PR krisis, idealnya korporasi sebesar United Airlines memiliki perencanaan langkah untuk menghilangkan risiko kerusakan yang mungkin muncul akibat krisis. Langkah tersebut harus dilakukan sepanjang siklus hidup krisis (pre crisis, crisis event, dan post crisis).

Munculnya kasus UBG sekaligus menunjukkan bahwa United Airlines tidak memiliki komunikasi krisis yang baik. Dalam teori komunikasi krisis yang disampaikan Fearn-Bank (2010, p. 2), sebuah organisasi seharusnya melakukan dialog dengan publik sebelum, selama dan setelah hal negatif terjadi. Dialog terkait strategi dan desain taktik yang dilakukan dimaksudkan untuk meminimalkan kerusakan image organisasi. United Airlines terbukti tidak membangun dialog yang baik sejak krisis belum muncul. Bahkan maskapai ini menghindari dialog, terbukti para stafnya tidak mencoba memberikan respon positif ketika ada keluhan dari customer.

Dengan kondisi tersebut, hal mendasar yang perlu dipertanyakan adalah apakah United Airlines tidak melengkapi bisnisnya dengan PR? Atau apakah PR yang ada tidak dikelola strategis sehingga mereka gagal mengidentifikasi stakeholder sekaligus menyelesaikan issue yang ada? Sebab salah satu fungsi PR adalah membangun komunikasi dan hubungan baik dengan audience. Mengacu pendapat Fearn-Bank (2010, p. 22) PR yang dikelola strategis akan berupaya menyelesaikan issue melalui komunikasi yang simetris pada awal issue berkembang. Kenyataannya, pihak United Airlines tidak melakukan hal tersebut, bahkan Carroll mengalami kesulitan untuk berbicara dengan pihak customer service.

Dilihat dari skala prioritas, United Airlines juga kurang bisa melihat bahwa stakeholder memegang kunci kesuksesan dan kegagalan organisasi selama krisis, seperti yang disampaikan Ndlela (2019, p. 25).  Hal ini dibuktikan dengan cara United Airlines menanggapi komplain penumpang yang notabenenya merupakan stakeholder penting. Hal ini sekaligus membuktikan ketidaksesauian dengan prinsip penanganan krisis yang disampaikan Regester dan Larkin (2005, p. 172) yang menegaskan “talk about people first, then the environment and property and, finally money”. Akibat kesalahan langkah tersebut, United Airlines mengalami kegagalan melindungi reputasinya yang berdampak pada kerugian finansial yang cukup besar.

Rekomendasi

Melihat kronologi kasus dan analisa kasus berdasar literature review yang ada, langkah yang seharusnya diambil pihak United Airlines adalah sebagai berikut:

  1. Pada awal kejadian, seharusnya staf yang menerima komplain menunjukkan empati, bukan justru mengomentari bahwa tindakan melempar bagasi adalah hal lazim dalam dunia penerbangan. Jika staf tersebut memang tidak dalam kapasitas memberi jawaban pasti, maka hal yang bisa dilakukan adalah meminta maaf dan menjanjikan akan menyampaikan keluhan tersebut kepada pihak yang berwenang.
  2. Ketika Carroll akhirnya benar-benar menunjukkan gitarnya yang rusak, seharusnya pihak United Airlines langsung mengambil tindakan, karena komplain tersebut merupakan lanjutan dari komplain yang sebelumnya pernah dilakukan. Karena terbukti kerusakan tersebut akibat penanganan bagasi yang tidak benar, sewajarnya United Airlines bertanggungjawab atas pembiayaan perbaikan. Langkah tersebut sebagai bukti empati sekaligus upaya menurunkan emosi, sehingga customer tidak akan mencari alternatif lain untuk menyalurkan emosinya.
  3. Mengingat kasus tersebut terlanjur tidak tertangani dan eskalasi menjadi krisis, United Airlines harusnya berupaya menekan krisis tersebut agar tidak semakin melebar. Langkah yang bisa dilakukan selain meminta maaf dan menawarkan kompensasi terhadap korban, alangkah baiknya jika United Airlines membuat konferensi pers untuk mengakui kesalahan yang dilakukan dan memohon maaf atas kejadian tersebut secara terbuka melalui media. Konferensi pers utamanya dilakukan dengan media yang sudah turut mem-blow up kasus UBG. Selain media tersebut, pengakuan salah dan permohonan maaf juga dilakukan melalui media sosial agar jangkauan pembacanya lebih luas. Langkah ini diharapkan bisa mengurangi penilaian negatif publik terhadap korporasi yang telah melakukan transparansi dalam menjalankan bisnisnya.
  4. Selain mengakui kesalahan, United Airlines perlu memberikan jaminan bahwa kasus tersebut akan menjadi pelajaran untuk perbaikan pelayanan yang lebih baik. Tentu saja hal ini harus dibuktikan dalam tindakan nyata di lapangan. Langkah ini harus dijadikan pesan tunggal yang dilakukan serentak di seluruh cabang United Airlines di berbagai wilayah operasional.

Agar langkah tersebut membawa hasil maksimal, ada beberapa rekomendasi yang perlu dilaksanakan selama dan setelah krisis terjadi, seperti:

  1. Menyusun communication plan, agar langkah komunikasi yang akan diambil lebih terarah dan tepat sasaran. Dengan communication plan, diharapkan komunikasi yang dilakukan selama dan setelah krisis memiliki  acuan yang jelas dan didasarkan pada hal-hal yang telah digariskan oleh perusahaan.
  2. Memperkuat tim corporate communication dan memastikan tim PR memiliki pengetahuan komunikasi yang memadai. Dengan pengetahuan komunikasi yang baik, tim PR yang ada diharapkan mampu menjembatani komunikasi yang tepat dengan berbagai stakeholders.
  3. Menyiapkan standard operating procedure untuk memberikan petunjuk semua staf dalam menangani keluhan, dan memberikan petunjuk komunikasi yang jelas terkait pelayanan konsumen. Pihak United Airlines harus memastikan bahwa aturan tersebut diimplementasikan oleh semua staf di semua wilayah operasionalnya.
  4. Hal ini sangat penting agar informasi yang keluar tidak salah dan berdasarkan pada perkembangan yang terjadi di lapangan.

Setelah krisis tertangani, United Airlines harus melakukan evaluasi atas kinerja yang telah dilakukan selama krisis berlangsung. Sebab, penerbangan termasuk korporasi yang bisnis utamanya rentan terhadap krisis. Jika suatu hari korporasi mengalami kasus yang sama, perusahaan memiliki pengalaman untuk menangani hal tersebut dengan baik.

Referensi

Austin, L. & Jin, Y. (2017). Social media and crisis communication. New York, Amerika: Routledge

Carroll, Dave. (2012). United breaks guitars the power of one voice in the age of social media. USA: Hay House, Inc.

Fearn-Bank, K. (2010). Crisis management A case book approach. New York, USA: Routledge.

Ndlela, M. N. (2019).  Crisis communication A stakeholder approach

Regester, M. & Larkin, J. (2005). Risk issues and crisis management: a casebook of best practice. London, UK: Kogan Page Limited.

Tench, R. & Yeomans, L. (2017). Exploring public relations global strategic communication. Edenburg, UK: Pearson Educated Limited.

Walaski, P. (2011). Risk and crisis communications : methods and messages. London, UK: Library of Congress Cataloging-in-Publication Data.

error: Content is protected !!