PEMULIHAN REPUTASI PASCA KRISIS

Reputasi menurut The Penguin English Dictionary dalam Griffin (2014, p. 2) adalah keseluruhan kualitas ataupun karakter yang dilihat, dinilai dan diakui oleh pihak lain. Sedangkan krisis menurut Publicly Available Specification (PAS 200) adalah suatu kondisi yang tidak normal, tidak stabil, dan bersifat kompleks yang mengancam reputasi dan keberadaan sebuah organisasi (Griffin, 2014, p. 32).

Oleh karena itu pembicaraan tentang krisis tidak bisa dilepaskan dari persoalan reputasi. Sebab, jika tidak ditangani dengan baik, krisis akan berdampak pada rusaknya reputasi, baik reputasi institusi maupun individu. Krisis yang menimpa First Travel, sebuah biro penyelenggara haji dan umroh, menjadi contoh nyata kehancuran reputasi akibat krisis. Tidak hanya kehancuran reputasi, seperti dilansir oleh Kompas.com (https://nasional.kompas.com/read/2018/05/31/07290021/lima-fakta-dalam-sidang-vonis-bos-first-travel), Direktur Utama First Travel pun dijatuhi hukuman penjara 20 tahun dan denda sebesar Rp 10 miliar.

Kehancuran reputasi pasca krisis juga dialami oleh Mario Teguh. Sang motivator yang dilaporkan ke polisi atas tuduhan “tidak mengakui” anak kandungnya memutuskan mundur dari profesi yang telah melambungkan namanya. Kasus tersebut menimbulkan hilangnya kepercayaan masyarakat dan batalnya sejumlah kontrak mengisi acara yang telah disepakati dengan berbagai pihak. Akibatnya, Mario Teguh mengalami kerugian hingga milayaran rupiah, seperti disampaikan kuasa hukumnya, Vidi Syarief kepada Beritasatu.com (https://www.beritasatu.com/hiburan/388100/dampak-pengakuan-ario-terhadap-kehidupan-mario-teguh-3).

Meski banyak organisasi ataupun individu yang tumbang karena krisis, tidak berarti organisasi pasti hancur ketika krisis menerpa. Penanganan krisis yang baik berpotensi mengembalikan kepercayaan publik baik kepada perusahaan, para pemimpinnya, nilai-nilai yang dianutnya, maupun pada produk yang dihasilkannya. Contoh penanganan krisis yang tepat telah ditunjukkan oleh Johnson & Johnson. Perusahaan manufaktur yang bergerak dalam pembuatan dan pemasaran obat-obatan dan alat kesehatan itu terkena badai krisis di tahun 1982.

The Daily Herald, sebuah koran ternama di Chicago, pada 7 Oktober 1982  merilis berita dengan judul yang sangat menohok “5 dead after taking tylenol capsules filled with cyanide”. Tylenol adalah obat rasa nyeri yang diproduksi oleh McNeil Consumer Product Company yang kemudian menjadi bagian anak perusahaan Johnson & Johnson. Pemberitaan tersebut muncul terkait insiden meninggalnya lima orang  yang diindikasikan akibat konsumsi tylenol yang mengandung sianida. Tragedi lebih parah bahkan dilaporkan bahwa sebanyak 250 kematian dan penyakit di berbagai bagian Amerika Serikat dikaitkan dengan kapsul tersebut.

Hasil pengujian Johnson & Johnson menunjukkan bahwa tylenol yang terkontaminasi hanya di wilayah Chicago dengan jumlah tidak lebih dari 75 butir kapsul. Meski hanya sebagian kecil Tylenol yang terkontaminasi sianida, namun pihak Johnson & Johnson tetap menarik seluruh produknya secara nasional sebagai upaya merespon kondisi yang lebih buruk dan antisipasi ketakutan konsumen. Perusahaan mengambil risiko kerugian yang cukup besar dibanding membiarkan lebih banyak jatuh korban.  Langkah lain yang diambil perusahaan adalah membuat kemasan tylenol yang lebih aman meski harus menambah biaya. Johnson & Johnson juga menunjukkan rasa tanggungjawabnya dengan menanggung biaya pengobatan para korban keracunan.

Krisis yang dialami oleh Johnson & Johnson dipicu oleh faktor eksternal.  Pemicu eksternal bisa terkait dengan persoalan politik, sosial, atau bisa karena faktor cuaca.  Dalam kasus Tylenol, Johnson & Johnson mampu membuktikan bahwa persoalan yang ada terjadi akibat sabotase pihak tertentu, bukan akibat kelalaian produksi ataupun human error. Johnson & Johnson bisa dikatakan menjadi korban dalam kasus yang dihadapinya. Meski demikian, Johnson & Johnson tetap fokus pada keselamatan konsumen. Dengan langkah tersebut, Johnson & Johnson mampu menunjukkan integritas dirinya kepada stakeholder sehingga reputasinya tetap terjaga meski dihantam krisis.

Selain dipicu faktor eksternal, krisis juga bisa dipicu oleh faktor internal, seperti kegagalan kerja dan kelalaian manusia. Krisis yang berasal dari faktor internal memiliki dampak lebih besar terhadap reputasi dan kecenderungannya adalah negatif. Mengatasi krisis yang muncul akibat kelalaian sendiri lebih sulit dibanding krisis yang terjadi karena faktor eksternal. Hal ini juga berdampak pada sulitnya pemulihkan reputasi pasca krisis. Oleh karena itu, manajemen krisis akibat faktor internal lebih merupakan upaya meminimalkan dampak negatif dari krisis itu sendiri dibanding upaya meraih sesuatu yang positif.

Pemulihan reputasi pasca krisis merupakan fase penting dalam siklus hidup risiko reputasi. Pada fase ini akan terlihat kebangkitan sebuah organisasi, bisa jadi akan lebih kuat dari kondisi sebelumnya atau sekedar berjuang memulihkan reputasinya. Krisis akan selalu menyita waktu dan energi. Meski demikian, operasional organisasi atau perusahaan harus terus berjalan. Kayawan di level operasional harus tetap bekerja agar perusahaan tetap beroperasi meski dalam kondisi krisis. Disisi lain, para pemimpin perusahaan harus bisa memanfaatkan krisis yang muncul sebagai ajang pembelajaran bagaimana cara menangani krisis dengan tepat.

Lantas kapan pembelajaran tersebut dimulai? Kesempatan untuk mengidentifikasi pelajaran apa yang bisa dipetik oleh sebuah organisasi dalam menangani krisis yang menerpa tidaklah panjang. Oleh karena itu, pemimpin yang bertanggungjawab menangani krisis harus segera memulai proses identifikasi pembelajaran apa yang diperoleh setelah krisis tertangani.

Langkah pertama yang harus dilakukan adalah melakukan penilaian terhadap prinsip-prinsip yang dianut oleh prusahaan meliputi kebijakan, kepemimpinan, struktur, prosedur, karyawan, budaya dan pola hubungan yang tercipta. Terkait kebijakan diperlukan evaluasi apakah kebijakan yang ada memudahkan di dalam situasi krisis. Selain itu, bagaimana seorang pemimpin mengambil keputusan dan tindakan di saat krisis. Dari sisi struktur kita perlu melihat bagaimana kondisi struktur saat berada dalam tekanan, apakah komunikasi antar tim bekerja dengan baik? Selain itu, penting untuk memastikan apakah prosedur yang berlaku membantu dalam penanganan krisis dan orang-orang yang terlibat dalam penanganan krisis bekerja sesuai manual yang ada atau justru menciptakan pola kerja sendiri? Hal yang tidak kalah penting adalah melihat kerja karyawan saat krisis terjadi, apakah mereka mampu bekerja dalam tekanan? Selanjutnya penilaian terhadap budaya perusahaan dan hubungan perusahaan dengan para pemangku kepentingan juga mutlak harus dilakukan, apakah kedua hal tersebut membantu dalam merespon krisis yang terjadi.

Langkah kedua adalah penilaian setelah krisis terjadi. Penilaian dilakukan pada berbagai aspek spesifik dari penanganan krisis, seperti penilaian terhadap tim manajemen krisis. Penilaian bisa mencakup hal-hal sebagai berikut:

  • Seberapa cepat tim dibentuk dan seperti apa efektifitasnya? Siapa yang memimpin tim dan apa hambatan yang muncul?
  • Apakah komposisi tim terdiri dari orang-orang yang tepat?
  • Bagaimana tujuan, strategi, dan pengambilan keputusan dalam tim tersebut?
  • Bagaimana pola kerjasama dan koordinasi dalam tim?
  • Apakah tim didukung oleh sumber daya yang memadai?
  • Apakah semua informasi yang masuk dan keluar dikelola dengan baik?
  • Apakah fasilitas yang tersedia mendukung kerja organisasi dan pengambilan keputusan?

Proses tersebut di atas dapat diulang sebanyak yang diperlukan pada tiap-tiap bagian dalam sebuah organisasi untuk menilai kinerja mereka. Langkah terakhir yang harus dilakukan adalah melakukan tinjauan hasil eksternal, yang mencakup hal-hal sebagai berikut:

  • Apakah pemberitaan media bersifat positif? Apakah mobilisasi pihak ketiga berjalan sukses?
  • Bagaimana kecenderungan opini masyarakat yang tercermin melalui percakpan para pengguna media sosial?
  • Bagaimana survey pemangku kepentingan dijalankan dan bagaimana opini mereka terkait krisis yang dialami perusahaan?

Dalam melakukan penilaian tersebut, pendekatan yang digunakan harus fokus pada apa yang bisa dipelajari dari krisis yang terjadi bukan pada hal-hal yang melatar belakangi terjadinya krisis. Selain itu, proses ini juga harus dilakukan secepat mungkin begitu krisis selesai ditangani. Hal yang tidak kalah penting adalah penilaian harus dilakukan dengan semua pihak melalui penilaian dokumen, wawancara terstruktur, dan pengecekan informasi antar informan.

Penilaian kinerja dan peningkatan kesiapan menghadapi krisis bisa dilakukan dengan berkaca pada korporasi yang sukses melakukan hal tersebut, salah satunya adalah melalui studi kasus Heathrow Aiport. Bandara yang terletak di London, Inggris ini merupakan salah satu bandara paling sibuk di Eropa. Krisis terjadi pada Desember 2010 dipicu oleh kegagalan pihak bandara menangani terhentinya operasional bandara akibat badai salju. Media massa bahkan menuduh bandara Heathrow telah menggagalkan Natal, karena umumnya penumpang yang dirugikan adalah orang-orang yang akan merayakan libur Natal.

Heathrow melakukan review internal dan eksternal terhadap kegiatan dan peristiwa yang terjadi dengan melibatkan beberapa stakeholders seperti maskapai penerbangan, National Air Traffic Control Services (NATS) dan Departemen Transport setempat. Review tersebut merekomendasikan pihak bandara harus meningkatkan kemampuan menangani krisis. Sebuah strategi kunci diluncurkan Heathrow tidak lama setelah krisis terjadi. Heathrow membentuk sebuah tim yang dikenal the Heathrow Airport Demand and Capacity Balancing Group (HADACAB).

Program dan tim baru tersebut bertugas menangani krisis secara lebih pro aktif, sekaligus membangun media center untuk memberikan pemahaman mengenai peristiwa badai salju. Program baru tersebut terus dilatih dan diperbaharui. Langkah ini mampu menyelamatkan Heathrow dari terjangan krisis. Bahkan sejumlah pihak menempatkan bandara Heathrow sebagai salah satu bandara dengan penanganan krisis yang baik.

Membangun Kembali Kepercayaan dan Reputasi

Membangun kembali kepercayaan dan reputasi pasca krisis adalah langkah awal yang harus dilakukan oleh tim krisis manajemen. Sebab, krisis akan berimbas pada banyak hal, khususnya sikap dan penilaian para stakeholders terhadap organisasi. Hal ini jelas akan menimbulkan kerugian finansial. Tidak hanya stakeholders eksternal, para karyawan sendiri bisa jadi kehilangan kepercayaan terhadap perusahaan. Organisasi harus bisa meyakinkan bahwa kinerja organisasi masih bisa berjalan sesuai harapan. Ini adalah bagian penting dari pemulihan reputasi. Satu hal yang harus dipahami, reputasi bukan sebuah janji, kita dituntut bisa membuktikan bukan sekedar menceritakan tentang sebuah hal. Kita dituntut mampu menunjukkan langkah dan komitmen apa yang akan kita ambil pasca krisis.

Dalam membangun kembali kepercayaan dan reputasi, bagian komunikasi memegang peranan penting. Mereka menjadi penyampai pesan kinerja baik yang sedang dilakukan organisasi baik kepada stakeholders eksternal maupun internal. Mereka juga dituntut mampu menyampaikan informasi yang tepat kepada pihak yang tepat.

Kita bisa mengambil contoh langkah yang dilakukan Shell dalam membangun kembali kepercayaan dan reputasi. Tgl 9 Januari 2004 Shell mengumumkan pengurangan produksi hingga 20 persen. Pasar dan media menanggapi hal tersebut sebagai sesuatu yang bersifat negatif. Issue internal tersebut juga menimbulkan kekecewaan sekaligus menurunkan kebanggaan karyawan terhadap perusahaan tempat mereka bekerja.  Krisis pun tidak bisa dihindarkan.

Setelah dilakukan audit, ditemukan adanya kesalahan yang dilakukan oleh para pimpinan perusahaan. Shell mengambil langkah para pimpinan yang terlibat skandal diminta mengundurkan diri. Tidak hanya merubah struktur manajemen korporasi. Chief Executive yang baru juga menerapkan budaya perusahaan yang lebih sesuai dengan kondisi internal perusahaan. Program yang dikenal dengan “enterprise first” itu mendapat dukungan karyawan dan berhasil mengembalikan kepercayaan karyawan terhadap perusahaan.

Memulihkan Reputasi dengan Merubah Organisasi

Krisis memberikan kesempatan kepada pimpinan perusahaan untuk meningkatkan tujuan, strategi bahkan nilai perusahaan. Masa “penyembuhan” dapat digunakan untuk menyusun kembali rencana jangka panjang perusahaan. Disinilah fungsi komunikasi memegang peranan penting, karena menempatkan krisis sebagai kesempatan bagi perusahaan untuk berubah dan meningkatkan diri bukan hal yang mudah.  

Melihat krisis sebagai sebuah peluang tentu saja sangat susah, apalagi ketika badai tersebut sedang menerjang. Namun demikian, tidak satupun pemimpin organisasi yang menginginkan organisasinya hancur karena krisis. Para pemimpin yang memiliki visi jauh ke depan akan terus berupaya untuk melepaskan organisasinya dari kehancuran pasca kisis. Tentu saja, esensi dari upaya pemulihan pasca krisis sesungguhnya bukan untuk menormalkan kembali organisasi seperti bentuk semula. Pemulihan bisa jadi diarahkan untuk perubahan atau bahkan kemajuan ke bentuk yang baru. Pemulihan bisa juga sebuah upaya regenerasi organisasi menuju langkah jangka panjang yang lebih baik.

Merubah organisasi untuk mengembalikan reputasi pasca krisis pernah dilakukan oleh Barclays, bank multinasional Inggris. Pada Juni 2012, Barclays diterpa krisis akibat adanya krisis ekonomi global dan skandal yang terjadi dalam perbankan. Akibat krisis tersebut CEO Barclays, Bob Dymond mengundurkan diri. Untuk menyelamatkan Barclys, CEO baru, Antony Jenkins meluncurkan program dikenal dengan “Transform” yang merupakan singkatan dari ‘Turnaround, Return Acceptable Numbers and maintain Forward Momentum’. Program tersebut memiliki sejumlah alur kerja, yang mencakup antara lain struktur, nilai, kontrol, kepatuhan, dan reputasi yang kesemuanya terkait dengan budaya kerja.

Langkah yang diambil pihak Barclays merubaah struktur organisasi dan budaya kerja meruapakan salah satu cara memulihkan reputasi. Melalui program tersebut Barclays berhasil mengembalikan reputasi dan kepercayaan publik.

Melindungi Reputasi Saat Krisis

Menurut Coombs, reputasi adalah aset berharga dan tidak berwujud yang menarik pelanggan, menghasilkan bunga investasi, meningkatkan kinerja keuangan, menarik karyawan terbaik dan menciptakan keunggulan kompetitif. Membangun reputasi membutuhkan waktu yang sangat lama. Di sisi lain, ketika  krisis terjadi, reputasi akan sangat mudah terkikis. Dalam kondisi krisis, para stakeholder akan melihat bagaimana respon organisasi terhadap krisis yang ada dan seperti apa tanggungjawabnya. Oleh karena itu, selain menyelesaikan krisis, organisasi juga harus bisa memastikan agar reputasi sebagai asset yang paling berharga tetap bisa terlindungi. Salah satu caranya adalah dengan strategi komunikasi yang tepat.

Berbagai teori manajemen krisis dan riset PR fokus pada persoalan bagaimana komunikasi bisa digunakan sebagai alat melindungi reputasi di saat krisis terjadi. Salah satunya adalah “apologia theory”. Teori ini membahas tentang bagaimana individu dan organisasi mempertahankan diri atas tuduhan melakukan kesalahan. Ketika pesan muncul menyerang perilaku organisasi, mengkritik tindakan mereka, dan mengungkapkan beberapa tuduhan, maka pesan tersebut  tidak bisa dibiarkan tanpa kontrol karena bisa berdampak negatif dan mempengaruhi persepsi stakeholder. Oleh karena itu, individu ataupun organisasi harus segera mengambil tindakan untuk menanggapi tuduhan tersebut.

Teori ini memberikan pengetahuan bagaimana individu dan organisasi dapat mempertahankan reputasi mereka. Teori ini merujuk pada bentuk dan pesan-pesan tertentu yang terjadi setelah krisis ataupun tuduhan kesalahan baik yang dilakukan oleh individu, kelompok, maupun organisasi. Menurut Seeger dan Sellnow dalam Ndlela (2019, p. 100) apology dipahami sebagai ungkapan penyesalan atas terjadinya sesuatu (regret) dan penyesalan atas kesalahan yang telah dilakukan (remorse) sekaligus permintaan pengampunan. Melalui komunikasi apologi seseorang atupun organisasi akan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi sekaligus memperbaiki citra ataupun reputasi yang rusak.

Ware dan Linkugel dalam Ndlela (2019, p. 101) membagi teori ini dalam empat kategori, yaitu denial, bolstering, differentiation, dan  transcendence. Denial dimaksudkan sebagai strategi menolak dan menyangkal segala tuduhan, dan menganggap tuduhan tersebut tidak ada dasar pijakannya. Melalui strategi bolstering, organisasi berusaha mengingatkan kembali hal-hal positif yang telah mereka lakukan sebelumnya untuk mengurangi persepsi negatif terhadap organisasi. Differentiation adalah strategi yang diatur untuk memecah memecah sebuah kontek dalam dua arti yang berbeda. Sedangkan transcendence merupakan strategi dengan mengaburkan fokus dari efek kecil ke arah hal positif yang lebih besar.

Teori apologi menjadi dasar pengembangan teori komunikasi krisis yang lain seperti  “image repair theory (IRT) yang dikemukakan oleh William Benoit dan situational crisis communication theory (SCCT) yang digagas oleh W. Thimothy Coombs. Kedua teori ini memiliki kesamaan prinsip, bagaimana organisasi menaruh perhatian pada stakeholder sekaligus melindungi reputasi saat krisis terjadi.

Melalui IRT, Benoit mengembangkan strategi yang bisa digunakan organisasi untuk mengurangi, memperbaiki, atau bahkan menghindari kerusakan reputasi akibat krisis. Ada beberapa strategi yang dipakai dalam teori ini, yaitu denial, evasion of responsibility, reducing the offensiveness, corrective action, dan mortification.

Sebagaimana dalam teori apology, dalam IRT denial juga dimaksudkan sebagai strategi penyangkalan terhadap tuduhan yang ditujukan ke perusahaan, baik dengan cara menolak bertanggungjawab maupun dengan mereposisi bahwa kesalahan dilakukan pihak lain. Pada evasion of responsibility ada beberapa strategi yang bisa dijalankan, seperti melakukan pembelaan bahwa tindakan yang diambil akibat pancingan pihak lain, perusahaan tidak memiliki informasi yang cukup terkait kasus yang terjadi, kasus yang muncul akibat sebuah kecelakaan, atau memberikan i’tikad baik untuk memperbaiki. Strategi reducing the offensiveness dilakukan dengan menjelaskan beberapa hal, seperti perusahaan sudah berbuat yang terbaik, krisis tersebut hanya sandungan kecil, ada masalah lain yang lebih besar dibanding kasus ini, menuduh pihak lain yang meniup peluit sebagai pihak yang bertanggungjawab, atau pihak perusahaan melakukan ganti rugi terhadap korban dari kasus yang muncul. Cara lainnya adalah corrective action dan mortification dimana perusahaan langsung bertindak menyelesaikan masalah dan meminta maaf atas peristiwa yang sudah terjadi.

Dari strategi tersebut, Benoit ingin menggambarkan apa yang harusnya dikatakan oleh organisasi saat krisis dan bagaimana cara mengatakannya ketika harus membela diri terhadap tuduhan melakukan kesalahan.

Selain IRT, seperti disebutkan sebelumnya, teori lain yang diorientasikan untuk perbaikan reputasi adalah situational crisis ommunicationtheory (SCCT) yang digagas oleh W. Timothy Coombs. Teori ini mengidentifikasi bagaimana hubungan krisis dan reputasi dapat dipengaruhi oleh respon dari pemangku kepentingan, dapat dipahami pula bagaimana publik akan merespon upaya penanggulangan.  Premis yang dibangun dalam teori ini adalah krisis merupakan kejadian negatif yang tak terduga, sehingga stakeholder akan mebuat atribusi terkait tanggungjawab krisis. Atribusi tersebut akan mempengaruhi stakeholder dalam berinteraksi dengan organisasi dalam situasi krisis. SCCT Coombs didasarkan pada asumsi bahwa cara terbaik untuk melindungi reputasi organisasi dalam krisis adalah dengan memilih strategi respons krisis yang paling sesuai dengan ancaman reputasi yang disebabkan oleh krisis.

Coombs membagi strategi respon krisis pada empat bentuk, yaitu denial, diminishing, rebuilding, dan  bolstering. Bentuk-bentuk tersebut diambil berdasar perspektif stakeholder yang tercermin dalam kata dan tindakan yang dirancang untuk memberi manfaat bagi para stakeholder. Strategi denial misalnya, dilakukan untuk menghadapi stakeholder yang mengklaim telah terjadi krisis. Sedangkan strategi diminishing digunakan untuk meminimalkan tanggung jawab organisasi terhadap krisis, dengan tujuan meminimalkan potensi kerusakan reputasi di mata para pemangku kepentingan. Melalui strategi rebuilding organisasi mencoba untuk membangun kembali reputasi. Sedangkan strategi bolstering ditujukan untuk mengingatkan para pemangku kepentingan tentang suatu kerja baik organisasi masa lalu.  

Teori ini juga menjelaskan ada tiga varibel yang bisa digunakan untuk mengevaluasi ancaman reputasi akibat krisis. Ketiga variable tersebut adalah tipe krisis, sejarah krisis, dan reputasi sebelum terjadi krisis. Dalam buku Ongoing Crisis Communication (1999, p.126), Coombs mengklasifikasikan tipe krisis dalam lima kelompok, yaitu krisis yang disebabkan oleh rumor, natural disaster, malevolence, accident, dan misdeed. Pengkategorian tersebut didasarkan pada persepsi atas tanggungjawab organisasi terhadap krisis. Terkait dengan sejarah krisis, penting untuk dicermati apakah organisasi tersebut mempunyai pengalaman situasi krisis yang sama di masa lalu atau tidak. Sedangkan reputasi organisasi sebelumnya terkait dengan persepsi publik terhadap organisasi dalam memperlakukan korban pada situasi sebelumnya. Jika organisasi tidak memperlakukan publik dengan baik pada situasi sebelumnya, bisa dipastikan organisasi tersebut memiliki prior relational reputation yang buruk.

Strategi Memperbaiki Reputasi Pasca Krisis

Berbagai teori tersebut di atas, baik teori apology, IRT maupun SCCT memberi perhatian khusus terhadap hubungan dengan stakeholder dan bagaimana organisasi dapat meminimalkan kerusakan reputasinya, melalui strategi pesan yang dipilihnya. Tidak bisa dihindari, krisis akan mempengaruhi sikap dan pandangan stakeholder terhadap organisasi. Meraih kembali kepercayaan stakeholder harus menjadi prioritas penting dalam proses pemulihan pasca krisis. Oleh arena itu, cara apapun yang dipilih oleh sebuah organisasi tujuan mendasarnya adalah upaya mengembalikan persepsi publik terhadap suatu organisasi sebagaimana ketika sebelum terjadi krisis atau justru lebih baik dari sebelumnya.

Persepsi stakeholder sendiri turut dibentuk dan dipengaruhi oleh narasi yang diciptakan oleh media. Melalui berita yang ditulisnya, media akan dengan mudah mempengaruhi opini publik. Ketika krisis terjadi, berbagai pertanyaan mungkin saja muncul dalam benak masyarakat. Apakah krisis itu akibat kelalaian? Siapa yang bersalah dan harus bertanggungjawab? Apakah komunikasi yang dilakukan organisasi bisa dipercaya dan tulus? Berbagai pertanyaan tersebut dilatarbelakangi pemikiran negatif terhadap organisasi yang dianggapnya menyembunyikan informasi dan tidak tulus dalam melakukan komunikasi. Krisis berdampak pada lunturnya kepercayaan publik terhadap organisasi.

Oleh karena itu komunikasi pasca krisis harus diorientasikan untuk mempengaruhi opini publik, meyakinkan publik agar bisa menerima perspektif organisasi terkait krisis yang terjadi, sekaligus   memperbaiki hubungan dengan mereka. Sebelum melakukan komunikasi, organisasi harus memahami stakeholder mana yang memiliki kesan negatif dan sejauh mana mereka memahami krisis yang ada. Dengan pemahaman tersebut, organisasi bisa menyampaikan pesan yang sesuai untuk menutupi kesenjangan informasi dan mengoreksi ketidakbenaran informasi yang beredar, sekaligus melakukan permohonan maaf jika diperlukan.

Menurut Sturges dalam Ndlela (2019, p.105) tujuan akhir dari komunikasi krisis adalah mengatasi perkembangan opini publik yang diharapkan sama atau justru lebih positif dari sebelum terjadinya krisis. Untuk mencapai hal tersebut organisasi bisa memilih kombinasi dari beberapa strategi penanganan reputasi pasca krisis. Coombs menawarkan empat strategi, yaitu denial response, diminishing response, rebuilding response, dan  bolstering strategies. Strategi ini tidak berbeda jauh dengan strategi yang disampaikan Benoit dalam image repair theory.

Melalui denial response, organisasi bisa menegaskan tidak terjadi krisis. Hal lain adalah organisasi menyalahkan kelompok lain sebagai penyebab terjadinya krisis. Sedangkan diminishing response dimaksudkan sebagai upaya organisasi meminimalkan tanggung jawab terhadap krisis dengan alasan tidak ada niat buruk maupun kesengajaan, dan semua terjadi di luar batas kemampuan organisasi. Strategi rebuilding response diterapkan ketika organisasi memilih langkah memberikan ganti rugi dan bertanggungjawab sekaligus memohon maaf kepada para korban krisis. Pada bolstering strategies, organisasi mencoba mengingatkan stakeholder tentang perbuatan baik yang pernah dilakukan sekaligus menjelaskan bahwa organisasi juga menjadi korban krisis.

Dalam melakukan komunikasi krisis, organisasi harus melihat berbagai faktor sebelum memutuskan strategi mana yang dianggap paling efektif dalam pemulihan reputasi pasca krisis. Faktor-faktor tersebut terkait dengan sifat krisis, persepsi stakeholder, dampak krisis terhadap reputasi, dan juga stakeholder itu sendiri. Dengan pemilihan strategi yang tepat, organisasi bisa meraih kepercayaan kembali dari para stakeholdernya.

Kesuksesan meraih kembali reputasi pasca krisis, telah ditunjukkan oleh Air Asia. Maskapai ini pernah diterjang krisis hebat ketika salah satu pesawatnya, QZ 8501 mengalami kecelakaan pada Desember 2014. Pesawat jenis airbus 320-200 itu terbang dari Surabaya menuju Singapura dengan membawa 162 penumpang. Seluruh penumpang dan awak pesawat dinyatakan tewas dalam tragedi tersebut.

Maskapai sebagai badan usaha yang sangat bergantung pada kepercayaan stakeholdernya, dalam hal ini penumpang dituntut mampu menangani krisis dengan baik. Dalam kasus ini, Air Asia menerapkan strategi rebuilding response dengan mengedepankan sikap permohonan maaf, tanggungjawab dan kesanggupan mengganti rugi kepada korban. Strategi tersebut dibuktikan dengan beberapa langkah yang diambil oleh CEO Air Asia Group, Tony Fernandes.

Dalam akun twitternya Fernandes menulis “My heart is filled with sadness for all the families involved in QZ 8501. On behalf of Air Asia my condolences to all. Word cannot express how sorry I am” sesaat setelah pesawat dinyatakan hilang. Melalui awak media, Fernandes juga memohon maaf dan berjanji akan bertanggungjawab dengan semua kasus tersebut.Dalam kejadian itu, Nampak jelas bahwa pihak Air Asia memanfaatkan media dengan baik sebagai salah satu sarana komunikasi dengan publik. Langkah tersebut sekaligus membatasi beredarnya informasi yang tidak benar dari sumber yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Fernandes membuktikan ucapannya untuk bertanggungjawab atas kejadian tersebut dengan melakukan berbagai langkah nyata. Reaksi pertama yang dilakukan adalah mengadakan konferensi pers.  Seperti diberitakan liputan6.com (https://www.liputan6.com/bisnis/read/2156996/aksi-heroik-tony-fernandes-kuatkan-keluarga-korban-airasia), selang beberapa jam dari kejadian, Fernandes langsung terbang ke Surabaya untuk menemui keluarga korban. Pihak Air Asia juga tidak mengingkari janjinya terkait asuransi dan santunan terhadap korban. Langkah yang tidak kalah pentingnya adalah empati yang diberikan Air Asia terhadap keluarga korban. Air Asia secara khusus menyediakan psikolog dan tokoh agama untuk mendampingi keluarga korban yang tengah mengalami masalah kejiwaan akibat kehilangan orang-orang yang dicintainya.

Seluruh langkah yang diambil Air Asia, terbukti mendapat apresiasi dari para keluarga korban. Liputan6.com (6/1/2015) menulis bahwa sejumlah keluarga korban bahkan mengaku tidak takut terbang dengan Air Asia. Para ahli mengatakan, respon yang diberikan Air Asia pada tragedi tersebut merupakan contoh yang baik dalam komunikasi krisis. Melalui komunikasi krisis yang dilakukan, Air Asia terbukti mampu mengembalikan kepercayaan stakeholder pasca krisis terjadi.

Tulisan ini disarikan dari buku:

  1. Griffin, A. (2014). Crisis, Issues and Reputation Management, Bab 15 Recovering from reputation damage, halaman 240-251.
  2. Ndlela, M. N. (2019).  Crisis Communication A Stakeholder Approach, Bab 5 A Stakeholder approach in managing reputation, Sub babProtecting of reputation during a Crisis dan Post-crisis strategies for repair of reputation, halaman 99-106.
error: Content is protected !!