Pendekatan Stakeholder dalam Manajemen Krisis

Mengacu pendapat Lerbinger (1997) dalam Ndlela (2019, p. 6),  ada tiga karakteristik krisis, yaitu suddenness, uncertainty, time compressions. Pendapat tersebut mengisyaratkan bahwa krisis merupakan keadaan yang bisa terjadi kapan saja dan menimpa siapa saja, baik organisasi maupun perorangan. Oleh karena itu, menyiapkan diri dengan manajemen krisis merupakan langkah penting bagi sebuah organisasi. Tujuan utama manajemen krisis sesungguhnya adalah menemukan cara terbaik untuk menghindari munculnya krisis sekaligus mempersiapkan diri dari segala kemungkinan saat krisis terjadi.

Untuk mencapai tujuan tersebut, kita membutuhkan banyak pendekatan. Sangat disayangkan jika manajemen krisis hanya dilihat dari satu sisi, yaitu dari sudut pandang organisasi. Misalnya, bagaimana organisasi menyiapkan diri dan merespon krisis selalu menjadi topik utama ketika seseorang berbicara tentang manajemen krisis. Padahal dampak krisis tidak hanya berimbas pada organisasi tapi juga pada para stakeholdernya. Realita tersebut sewajarnya menggiring kita untuk melihat krisis dari sudut pandang lain dan tidak hanya fokus pada kesiapan dan langkah organisasi dalam menangani krisis. Sebab, memahami siapa sesungguhnya yang paling terdampak saat krisis terjadi juga merupakan bagian penting dari manajemen krisis.

Suatu alternatif baru pun digagas oleh Ndlela. Dalam bukunya, Crisis Communication A Stakeholder Approach (2019, p. 15-34), Ndlela menawarkan alternatif manajemen krisis dengan pendekatan stakeholder. Menurutnya, pendekatan ini memungkinkan penyelesaian krisis secara komprehensif. Lebih tegas, Ndlela (2019, p. 16) mengatakan kesuksesan penanganan krisis sangat ditentukan oleh kinerja organisasi dengan stakeholdernya sebelum, selama, dan setelah krisis. Sejauh mana organisasi mampu  berkomunikasi secara cepat dan tepat dengan para stakeholder juga turut menentukan tingkat kesuksesan manajemen krisis.

Menurut pendapat saya, pendekatan yang ditawarkan Ndlela tersebut sangat beralasan. Jika dikaitkan dengan realita yang ada, krisis yang menimpa sebuah organisasi memang tidak bisa dilepaskan dari persoalan stakeholder. Sebab, dalam menjalankan operasinya, organisasi tidak akan berjalan sendiri dan selalu ada stakeholder yang mempengaruhinya. Bahkan kesuksesan sebuah organisasi juga sangat bergantung pada dukungan stakeholder, baik stakeholder internal seperti karyawan dan serikat pekerja maupun stakeholder eksternal seperti supplier, customer, pemerintah, media, dan masyarakat. Oleh karena itu, ketika krisis muncul, penting bagi organisasi untuk memberikan perhatian kepada stakeholder, khususnya yang terdampak oleh krisis tersebut.

Begitu dekatnya hubungan antara organisasi dengan stakeholder, maka tidak mengherankan jika ketika krisis melanda organisasi, stakeholder juga turut terkena imbasnya. Kecepatan dan ketepatan komunikasi yang dibangun oleh organisasi dengan stakeholder akan berpengaruh pada penilaian stakeholder terhadap suatu organisasi. Menurut saya, disinilah pentingnya organisasi mempertimbangkan pendekatan stakeholder dalam menangani krisis.

Stakeholder Theory

Ndlela (2019, p. 17) mengatakan “the central idea in stakeholder theory is that an organization’s success is dependent on how well it manages the relationships with key groups such as customers, employees, suppliers, communities, financiers and others that can affect the realization of its purpose”. Menurut pendapat saya, apa yang disampaikan Ndlela tersebut harus menjadi perhatian organisasi. Sebab, ketika krisis muncul, para stakeholder akan memiliki beragam opini dalam menyikapi krisis. Hal tersebut  akan mempengaruhi hubungan yang telah dan akan dibangun para stakeholder dengan organisasi.

Sebagai contoh adalah krisis yang menimpa United Airlines. Akibat tidak adanya penanganan yang baik atas kasus kerusakan gitar yang dialami Dave Carrol, maskapai ini kehilangan kepercayaan customers dan juga investor. Krisis tersebut mengakibatkan kerugian baik finansial maupun reputasi yang harus ditanggung oleh maskapai ini. Harga saham United Airlines turun hingga 10% atau setara dengan nilai 180 juta USD. Tidak hanya itu, di mata publik slogan “fly the friendly skies” yang selama ini dipakai untuk membangun reputasinya serta merta berubah. Publik mengubah slogan tersebut dengan “United Breaks Guitars”. United Airlines terbukti gagal dalam menangani loyalitas konsumen.

Di sisi lain, ketika organisasi mampu menangani stakeholder dengan baik selama dan setelah krisis terjadi, organisasi tersebut tetap mendapat kepercayaan dari customernya. Salah satu perusahaan yang melakukan penanganan krisis dengan pendekatan stakeholder sangat baik adalah Air Asia pada kasus kecelakaan QZ 8501. Seperti diberitakan liputan6.com tanggal 6 Januari 2015 (https://www.liputan6.com/bisnis/read/2156996/aksi-heroik-tony-fernandes-kuatkan-keluarga-korban-airasia), selang beberapa jam dari kejadian, Fernandes langsung terbang ke Surabaya untuk menemui keluarga korban. Pihak Air Asia juga tidak mengingkari janjinya terkait asuransi dan santunan terhadap korban. Air Asia secara khusus menyediakan psikolog dan tokoh agama untuk mendampingi keluarga korban yang tengah mengalami masalah kejiwaan akibat kehilangan orang-orang yang dicintainya. Langkah Air Asia terbukti mampu mengatasi krisis dan tidak berdampak pada kehancuran image ataupun reputasi perusahaan. Di mata customer, terbang bersama Air Asia masih menjadi pilihan hingga sekarang.

Dua contoh di atas membuktikan bahwa penanganan krisis tidak bisa dilepaskan dari pendekatan stakeholder. Sikap abai seperti yang dilakukan United Airlines berdampak serius terhadap rusaknya reputasi perusahaan. Sebaliknya ketika organisasi menempatkan stakeholder sebagai fokus utama dalam upaya penanganan krisis, langkah tersebut berdampak sangat baik terhadap kelangsungan organisasi pasca krisis, seperti yang dialami Air Asia.  

Manajemen dan Pemetaan Stakeholder

Sebelum menerapkan pendekatan stakeholder, langkah penting bagi sebuah organisasi adalah memahami siapa stakeholdernya. Zaremba (2010) dalam Ndlela (2019, p. 20) mengatakan “knowing your stakeholders is an important prerequisite factor in avoiding sloppy communication. Sloppy communication during the crisis can plague an organization right out of its existence”. Apa yang disampaikan Zaremba merupakan faktor penting dalam komunikasi krisis. Menurut hemat saya, suatu oragnisasi yang mampu mengidentifikasi stakeholder dengan baik memiliki kesiapan lebih baik pula dalam melakukan komunikasi krisis. Pemahaman yang mendalam tentang stakeholder memungkinkan bagi organisasi untuk menyampaikan pesan yang sesuai dengan karakteristik stakeholder yang dihadapinya.

Untuk kesuksesan tersebut, Alpaslan et al. (2009) dalam Ndlela (2019, p. 20) mengatakan perlunya manajemen stakeholder yang dipahami sebagai bentuk komunikasi sebelum, selama, dan setelah krisis berlangsung. Pada tahap pre krisis, manajemen stakeholder dimaksudkan sebagai upaya pencegahan sekaligus persiapan jika krisis muncul. Sedang pada tahap krisis, manajemen stakeholder digunaan untuk membantu tindakan respon krisis dan manajemen krisis. Manajemen stakeholder yang baik memungkinkan organisasi mengidentifikasi sekaligus berinteraksi dengan stakeholder, khususnya yang berpotensi sebagai korban krisis sekaligus memahami apa yang mereka inginkan.

Manajemen stakeholder menurut saya sangat penting karena model ini mengharuskan organisasi memahami stakeholdernya sejak krisis belum muncul. Artinya, organisasi harus membangun kedekatan dengan stakeholder bukan hanya saat muncul persoalan. Dengan cara ini, komunikasi yang dibangun akan lebih mudah dan tidak ada kesan organisasi hanya bersentuhan dengan stakeholder saat ada kebutuhan saja. Sebagai contoh adalah komunikasi dengan media. Ketika kita mencoba melibatkan media hanya saat ada masalah, bisa jadi mereka tidak akan merespon positif apa yang kita inginkan. Ujung-ujungnya organisasi harus keluar biaya untuk melibatkan mereka dalam menyelesaikan kasus. Sebaliknya jika organisasi sudah membangun keakraban yang di maintain secara regular, maka tidak akan terlalu susah untuk menghadirkan media dalam situasi krisis.

Dalam membangun komunikasi dengan stakeholders, organisasi tentu saja tidak bisa menggunakan pola ataupun cara yang sama. Ndlela menyarankan perlunya stakeholder mapping. Menurut Ndlela (2019, p. 21) “stakeholder mapping is aimed at providing a picture of where the stakeholders are placed in relation to an organization in general or around specific issues or incidents”. Saya berpendapat stakeholder mapping mutlak diperlukan apalagi saat kondisi krisis. Stakeholder yang menjalin hubungan dengan sebuah organisasi memiliki beragam karakter dan kepentingan. Dengan memahami karakter dan kepentingan mereka, organisasi akan bisa melakukan pendekatan yang lebih tepat dan komprehensif saat menyelesaikan kasus.

Sebagai gambaran berdasar pengalaman di lapangan, stakeholder perusahaan tambang terdiri dari banyak sekali kelompok dengan berbeda-beda kepentingan. Ibarat makanan, perusahaan tambang adalah kue enak yang diperebutkan berbagai pihak. Banyak diantara stakeholder tersebut yang menjalin komunikasi dengan perusahaan didasarkan atas kepentingan pribadi dan golongan, kepentingan ekonomi, hingga kepentingan politik. Dari stakeholder yang sekedar membutuhkan sesuap nasi hingga stakeholder yang ingin menguasai korporasi tersaji dalam lingkup industri pertambangan. Oleh karena itu, stakeholder mapping sangat penting sebagai dasar pengambilan langkah penanganan yang tepat didasarkan pada tujuan strategis perusahaan.

Ndlela (2019, p. 22) mendefinisikan stakeholder mapping sebagai “step by step process guided by strategic goals”. Step tersebut mencakup empat hal, yaitu identifikasi, analisa, perencanaan, dan engagement. Menurut saya, step ini harus dijalani dengan baik untuk mendukung penanganan krisis. Dengan melakukan identifikasi, organisasi akan memahami apa kepentingan dan hubungan masing-masing stakeholder dengan organisasi.

Ada beberapa kriteria yang digunakan para ahli dalam melakukan stakeholder mapping. Kriteria pertama adalah pemetaan yang dilakukan atas dasar hubungan stakeholder dengan issue atau situasi. Terkait kriteria ini, Freeman, Harrison, and Wicks (2008) dalam Ndlela (2019, p. 26) membagi stakeholder dalam dua kriteria, yaitu primary stakeholder, seperti customer, karyawan, masyarakat, suplier dan secondary stakeholder, seperti pemerintah, media, dan kompetitor. Primary stakeholder dimaksudkan sebagai kelompok yang terdampak secara langsung oleh krisis, sedang secondary stakeholder dimaksudkan sebagai kelompok yang tidak secara langsung terpengaruh oleh krisis.

Menurut pendapat saya, memetakan stakeholder hanya dari sudut pandang siapa yang paling terdampak oleh krisis kurang tepat dan cenderung kurang menguntungkan bagi organisasi. Sebab, organisasi juga harus memikirkan stakeholder mana yang akan turut mempengaruhi kondisi krisis, apakah krisis bergerak pada situasi lebih buruk atau sebaliknya. Komunikasi krisis yang disusun organisasi harus didasarkan pada dua sudut pandang, yaitu stakeholder yang terpengaruh dan juga yang mempengaruhi krisis itu sendiri.

Dengan analisa dua arah tersebut dimungkinkan komunikasi krisis akan lebih tepat. Sebagai contoh, dalam situasi krisis, media memang bukan stakeholder utama yang paling terdampak oleh krisis. Namun demikian, media adalah stakeholder utama yang bisa mempengaruhi krisis. Krisis bisa lebih buruk atau justru berkurang intensitasnya terkait erat dengan pemberitaan media. Apalagi di era industri 4.0 saat ini, ketersediaan sarana komunikasi sangat beragam. Akibatnya penyebaran informasi terkait krisis akan sangat cepat. Oleh karena itu, organisasi juga harus mencari cara yang tepat dalam menyampaikan pesan kepada stakeholder yang akan mempengaruhi kondisi krisis seperti media ini.

Kriteria lain disampaikan oleh Helm, Kerstin, dan Storck (2011) dalam Ndlela (2019, 27) yang membagi stakeholder berdasarkan dua kriteria, eksternal dan internal. Pembagian ini didasarkan pada hubungan dengan operasional organisasi. Stakeholder Internal adalah kelompok yang terlibat langsung dengan operasi organisasi, seperti karyawan, pemilik, dan manajemen. Sedangkan stakeholder eksternal adalah stakeholder yang tidak terlibat langsung dengan operasi, seperti customer dan supplier. Menurut hemat saya, pemetaan ini tidak begitu tepat digunakan saat kondisi krisis. Sebab, dalam kondisi krisis hubungan dengan stakeholder cukup komplek sehingga harus dilihat secara menyeluruh tidak sebatas stakeholder yang terkait dengan operasional perusahaan. Organisasi juga harus bisa melihat dari sisi lain, seperti apa kepentingan dan pengaruh mereka terhadap organisasi dan juga terhadap krisis yang terjadi. Bisa jadi ada stakeholder yang tidak terkait sama sekali dengan operasi organisasi, namun eksistensi mereka justru mengancam organisasi khususnya di saat situasi krisis.

Sementara itu, Freeman dan McVea (2001) dalam Ndlela (2019, p. 30) membedakan stakeholder berdasarkan kekuasaan dan kepentingan yang dimiliki. Mengacu kriteria tersebut Freeman mengelompokkan stakeholder pada empat kelompok, yaitu high power but less interest, high power and high interest, low power and low interest, dan high interest but low power. Kelompok high power but low interest memiliki pengaruh besar pada suatu persoalan dan umumnya tidak memiliki kepentingan tertentu. Mereka umumnya berada di luar kontek issue yang muncul. Sebaliknya adalah kelompok high power and high interest. Kelompok ini terdiri dari para stakeholder kunci yang terkait langsung dengan issue dan selalu terlibat dengan issue tersebut. Kelompok ketiga, low power and low interest yaitu stakeholder yang tidak memiliki kekuasaan dan juga tidak memiliki kepentingan. Namun demikian kelompok ini bisa merubah posisinya. Sedangkan kelompok high interest but low power merupakan stakeholder yang berkepentingan sangat tinggi dengan organisasi namun mereka tidak memiliki power untuk mempengaruhi situasi.

Menurut hemat saya, pemetaan stakeholder seperti inilah yang paling tepat untuk mengahadapi situasi krisis. Sebab, melihat stakeholder dari sisi kekuasaan dan kepentingan memungkinkan perusahaan untuk melihat lebih detail potensi penanganan krisis dari sisi stakeholder. Perusahaan bisa membuat strategi komunikasi yang tepat dengan melihat pengaruh masing-masing stakeholder, didasarkan pada apa kepentingan mereka dan sebesar apa kekuasaannya. Selain itu, organisasi juga bisa memanfaatkan stakeholder yang memiliki power dan tidak memiliki kepentingan tertentu untuk membantu menangani krisis. Dengan cara tersebut perusahaan bisa menangani krisis dengan tepat dan energi yang dikeluarkan organisasi tidak terbuang sia-sia.

Selain alasan tersebut, ketepatan pembagian stakeholder seperti ini juga didasari penilaian keberpihakan. Stakeholder yang memiliki kepentingan bisa berada pada dua kondisi. Ketika kepentingannya terakomodir, dimungkinkan mereka akan berpihak kepada organisasi dan berupaya turut menjaga agar organisasi tidak collaps pasca krisis. Sebaliknya jika kepentingan tidak terakomodir, bisa jadi mereka tidak akan peduli bahkan cenderung ikut memperkeruh krisis. Situasi seperti ini bisa menjadi pertimbangan sekaligus evaluasi tim krisis manajemen.

Selain melakukan stakeholder mapping, sebaiknya organisasi juga melakukan analisa stakeholder. Friedman & Miles (2006) dalam Ndlela (2019, p. 24) mengatakan “a stakeholder analysis is a technique used to identify and assess the influence and importance of key people, groups of people or organizations that may significantly impact on the success of your activity or project”. 

Mengacu pendapat Friedman dan Miles di atas, saya berpendapat bahwa analisa stakeholder bukan sekedar proses identifikasi namun mencakup proses penilaian terhadap pengaruh dan pentingnya stakeholder kunci yang bisa berdampak pada kesusksesan aktifitas organisasi. Heath (1997) dalam Ndlela (2019, p. 24) menegaskan bahwa analisa stakeholder mensyaratkan pengetahuan organisasi terkait posisinya di tengah masyarakat. Menurut saya, penilaian organisasi terhadap posisinya sendiri mutlak diperlukan sehingga organisasi tersebut bisa melihat dengan jelas stakeholder mana yang memiliki arti penting bagi kelangsungan organisasi. Selain itu, organisasi yang mampu mendefinisikan posisi dirinya akan tahu persis stakeholder mana yang yang bisa mendukung organisasi sekaligus stakeholder mana yang berpotensi mengancam.

Sebagai contoh, perusahaan tambang, gas, dan minyak harus tahu posisi dirinya yang rentan dengan issue lingkungan. Sebab, perusahaan ini dalam menjalankan operasinya sangat bergantung pada sumber daya alam tak terbarukan. Kondisi ini membuka peluang munculnya stakeholder yang bersifat sebagai pengawas atas kinerja organisasi, seperti LSM lingkungan. Kesadaran organisasi atas posisi dirinya, akan membantu organisasi itu dalam melakukan analisa stakeholder secara lebih komprehensif. Selain itu cara ini juga memungkinkan bagi organisasi untuk menyiapkan bentuk komunikasi dan pendekatan yang lebih sesuai untuk masing-masing stakeholder. Langkah tersebut harus dilakukan sejak sebelum krisis terjadi, sehingga saat krisis muncul, organisasi sudah bisa merencanakan komunikasi yang tepat.

Selanjutnya Ndlela (2019, p. 25) menjelaskan “tailoring the message to the intended recipients and sending it timely through relevant communication channels has an impact on crisis resolution and public perceptions of the organization’s efforts”. Apa yang disampaikan Ndlela tersebut  menegaskan bahwa  menyesuaikan pesan dengan penerima yang dituju dan mengirimkannya tepat waktu melalui saluran komunikasi yang relevan berdampak pada resolusi krisis dan persepsi publik terhadap upaya yang dilakukan organisasi.

Terkait hal ini, saya berpendapat bahwa komunikasi dengan stakeholder di saat krisis akan berhasil jika organisasi mampu menggunakan cara yang tepat dan sesuai dengan karakteristik stakeholder. Sebagai contoh, ketika terjadi krisis tumpahan minyak di perairan Balikpapan, stakeholder yang dihadapi Pertamina cukup beragam, antara lain masyarakat petani, LSM lingkungan, media dan pemerintah khususnya DPRD. Mereka memiliki tuntutan dan kepentingan yang berbeda-beda. Menghadapi perbedaan stakeholder tersebut, tentu saja dibutuhkan pola komunikasi yang berbeda pula agar pesan yang ingin disampaikan diterima dengan baik. Disinilah pentingnya langkah analisa stakeholder dilakukan.

Perencanaan Komunikasi Stakeholder

Ndlela (2019, p. 25) mengatakan bahwa stakeholder memegang kunci kesuksesan dan kegagalan tindakan organisasi selama masa krisis. Menurut saya, pendapat Ndlela tersebut sangat fundamental dan perlu dijadikan pertimbangan bagi organisasi dalam menyusun langkah, khususnya perencanaan komunikasi pada saat krisis. Masih dalam halaman yang sama Ndlela menjelaskan bahwa pengaruh stakeholder terhadap organisasi akan berbeda ketika sebelum terjadi krisis dan pada situasi krisis. “Before the crisis, various stakeholder groups have varied interests in an organization’s operation and well-being. During a crisis, all key stakeholders are keen to know how the crisis incident will affect them” (Ndlela, 2019, p 25).

Jika dikaitkan dengan realita yang terjadi, ketika perusahaan dalam kondisi tenang, sejumlah stakeholder akan melakukan hubungan dengan organisasi sesuai kepentingan masing-masing. Apalagi mereka tahu bahwa saat ini industri diwajibkan melakukan program CSR yang tentu saja akan terkait erat dengan kebutuhan stakeholder. Sekilas bahkan nampak bahwa stakeholder menggantungkan sebagian hidupnya pada organisasi.

Tidak mengherankan jika pada kondisi krisis, para stakeholder akan berada pada situasi mempertanyakan sejauh mana krisis yang tengah dialami organisasi akan berdampak pada kehidupan mereka. Kekhawatiran itu wajar terjadi karena sejumlah stakeholder meski tidak menjadi korban langsung krisis, bisa kehilangan sumber kehidupannya dalam kontek positif maupun negatif. Kontek positif saya gambarkan sebagai peluang mereka mendapatkan imbas kesejahteraan melalui kerja dalam arti yang sesungguhnya, misalnya menjadi supplier atau sub kontraktor. Kontek negatif merupakan bentuk ketergantungan perolehan kesejahteraan melalui ketergantungan yang bersifat murni seperti pengajuan bantuan ataupun yang lebih bersifat ancaman seperti kasus klaimer tanah. Bahkan sebagian stakeholder kadang memanfaatkan kekeliruan yang dilakukan organisasi sebagai sumber pendapatan dengan melakukan intimidasi.

Mengingat kepentingan stakeholder dalam menjalin komunikasi dengan organisasi sangat beragam, maka langkah identifikasi dan analisa yang telah dilakukan organisasi harus dilanjutkan dengan perencanaan komunikasi. Ferguson (1999) dalam Ndlela (2019, p. 26) mengatakan “living in an information age requires organizations to constantly communicate their activities and intentions to the different stakeholder constituencies. Moreover, the volatility of the environment of many organizations necessitates the presence of a strong communication component”. Terkait pendapat Ferguson di atas, saya memiliki tanggapan yang berbeda.

Pentingnya komunikasi secara intensif dengan stakeholder bukan semata karena persoalan era informasi yang menuntut hal tersebut. Lebih dalam dari hal itu, komunikasi secara intensif dengan stakeholder merupakan salah satu cara organisasi mendeteksi dan menganalisa stakeholder mana yang menguntungkan dan merugikan atau bahkan mengancam keberadaan organisasi. Hasil temuan dan analisa tersebut selanjutnya akan menjadi dasar perencanaan komunikasi yang akan dilakukan organisasi. Ndlela (2019, p. 26) mengarahkan agar dalam melakukan perencanaan komunikasi organisasi mempertimbangkan beberapa hal seperti stakeholder kunci, garis besar informasi tiap stakeholder, frekuensi komunikasi, saluran komunikasi, termasuk juga mempertimbangkan komunikasi dua arah.

Jika kita melihat pemetaan stakeholder berdasarkan kekuasaan dan kepentingan seperti yang dilakukan oleh Freeman dan McVea, maka perencanaan komunikasi bisa dibuat dengan mempertimbangkan kekuasaan dan kepentingan masing-masing stakeholder. Bagi stakeholder yang memiliki high power but less interest, oragnisasi harus memantain komunikasi dengan cara selalu mengupdate informasi. Dengan memberi informasi diharapkan kelompok ini akan selalu mengetahui perkembangan krisis yang ada, dan jika sewaktu-waktu orgnaisasi membutuhkan mereka, stakeholder tersebut sudah memiliki gambaran secara komprehensif. Kelompok ini yang umumnya tidak memiliki kepentingan merupakan peluang bagi organisasi untuk menggandeng mereka ketika krisis melanda. Organisasi bisa memanfaatkan power yang mereka miliki untuk turut membantu melepaskan organisasi dari jeratan krisis yang berpotensi merusak reputasi dan bahkan bisnisnya.

Sementara itu, untuk kelompok high power and high interest, bisa dipastikan bahwa organisasi harus melakukan upaya ekstra dan lebih berhati-hati dalam menjalin komunikasi. Kekuasaan dan kepentingan yang mereka miliki berpotensi memperburuk krisis, karena mereka sendiri berada di pusat lingkaran krisis. Tidak tertutup kemungkinan bahwa kelompok ini akan menjadikan krisis sebagai sarana mencapai tujuan kelompok. Potensi lainnya adalah stakeholder jenis ini bisa membelokkan situasi krisis sesuai tujuan yang ingin mereka capai.

Komunikasi krisis untuk kelompok low power and low interest, barangkali sedikit lebih ringan. Organisasi cukup melakukan pemantauan terhadap kelompok ini namun tidak bisa menyepelekan mereka. Sebab, stakeholder pada kelompok ini bisa saja dimanfaatkan oleh mereka yang punya kekuasaan dan kepentingan. Untuk itu, komunikasi secara intensif tetap harus dijalin agar keberadaan mereka tidak dimanfaatkan pihak lain dan bisa sewaktu-waktu mendukung organisasi jika diperlukan. Strategi komunikasi ini barangkali bisa diterapkan kepada stakeholder kelompok ke empat, yaitu high interest but low power. Pada kelompok ini organisasi juga tidak bisa mengabaikan begitu saja. Sebab, kepentingan mereka yang cukup tinggi akan mudah dihasut dan dimanfaatkan oleh kelompok yang memiliki power.

Dari seluruh uraian di atas, saya menyimpulkan bahwa melihat penyelesaian krisis harus dari berbagai sisi. Pendekatan organisasi dengan menyiapkan diri dan mengatur respon krisis secara komprehensif  adalah langkah penting yang harus diambil. Langkah tersebut akan semakin sempurna jika organisasi mampu mengkombinasikan pendekatan organisasi dengan pendekatan stakeholder. Dengan kombinasi tersebut diharapkan penanganan krisis lebih maksimal dan organisasi akan bisa melewati krisis dengan baik.

Tulisan ini disarikan dari buku karya Martin N. Ndlela (2019): Crisis Communication A Stakeholder Approach, Bab 2 Stakeholder Approach in Crisis Management, halaman 15-34.

error: Content is protected !!