Lokalitas Budaya Sebagai Ruang Negosiasi

Pembicaraan tentang lokalitas budaya seringkali terkait dengan perspektif yang menganggap budaya sebagai hal-hal terbaik yang menjadi jati diri seseorang ataupun komunitas. Dalam Peraturan Daerah DIY nomor 3 tahun 2017 misalnya, kebudayaan Yogyakarta dipahami sebagai nilai-nilai dasar yang luhur hasil cipta dan rasa yang mewujud dalam karsa dan karya yang menjadi jati diri masyarakat Yogyakarta berbasis kebudayaan Kasultanan dan Kabupaten. Pemaknaan budaya tersebut tidak berbeda dengan tradisi analisis budaya yang berkembang pada akhir abad 19 yang bersumber dari pemikiran Matthew Arnold.

Dalam buku Culture and Anarchy, Arnold (2006: 5) berpendapat “culture as the great help out of our present difficulties; culture being a pursuit of our total perfection by means of getting to know, on all the matters which most concern us, the best which has been thought and said in the world.” Budaya dipahami sebagai upaya pencarian kesempurnaan penuh dengan cara mengetahui berbagai persoalan yang paling terkait dengan kita, yaitu hal terbaik yang dipikirkan dan dikatakan di dunia ini. Menurut Budiawan (2015:VII), definisi tersebut memberikan gambaran bahwa kebudayaan bersifat normatif sekaligus menstandarkan ekspresi gagasan yang layak disebut sebagai kebudayaan. Selain itu, definisi tersebut juga menciptakan oposisi biner budaya tinggi/budaya rendah, budaya adiluhung/budaya massa. Budaya terdahululah yang disebut sebagai peradaban sehingga memunculkan pengertian berbudaya atau beradab.

Pendefinisian budaya sebagai hal terbaik itupun digugat oleh sejumlah tokoh, seperti Richard Hoggart (1918-2014),  E.P Thompson (1924-1993), dan Raymond Williams (1921-1988). Dalam pandangan ketiga pemikir tersebut definisi kebudayaan Arnoldian dinilai politis karena bias kelas elit sekaligus menyingkirkan segala ekspresi gagasan yang dianggap bukan yang terbaik. Secara khusus, Williams (dalam Kellner, 2001: 395) memberikan perspektif berbeda dalam melihat kebudayaan. Menurutnya, kebudayaan adalah keseluruhan cara hidup yang meliputi rasa, nilai, praktik, dan artefak.

Williams juga menekankan pentingnya melihat budaya dan masyarakat dalam satu frame, serta menghapus pembagian antara budaya tinggi (adiluhung) dan budaya rendah. Berbagai kritik tersebut menjadi acuan penting untuk memaknai lokalitas budaya. Menarasikan lokalitas budaya sebagai nilai adiluhung semata sebagaimana pemaknaan yang tertuang dalam Perda DIY itupun menjadi tidak relevan.

Terlepas dari persoalan budaya tinggi/ budaya rendah, Stuart Hall (2003: 2) memberikan pandangan yang berbeda bahwa “culture is concerned with the production and the exchange of meanings – the ‘giving and taking of meaning’- between the members of a society or group”. Dari pengertian kebudayaan sebagai praktik penandaan tersebut, Budiawan (2015: IX) menggaris bawahi adanya dua pemikiran yang terkandung dalam definisi tersebut. Pertama, setiap praktik penandaan adalah suatu bentuk operasi kuasa entah itu untuk mendominasi atau reproduksi dominasi itu sendiri, atau sebaliknya upaya melakukan resistensi. Kedua, budaya sebagai medan pertarungan kuasa, karena setiap praktik penandaan akan bertemu dengan praktik penandaan yang lain, baik berupa gesekan maupun negosiasi. Pandangan Hall tersebut memberikan ruang untuk menegosiasikan makna lokalitas budaya. Lokalitas budaya tidak bisa lagi diterjemahkan secara esensialistik sebagai sebuah jati diri yang didasarkan pada praktik-praktik yang distandarkan oleh pemegang kuasa.

Selain itu, persoalan lokalitas budaya juga seringkali dimaknai secara sempit sebagai sesuatu yang spasial berdasarkan tempat dan subjek yang mendiami tempat tersebut. Mike Featherstone (2000: 103) dalam bukunya yang berjudul “Undoing Culture: Globalization, Postmodernism and Identity” mengatakan dalam tradisi sosiologi, lokalitas seringkali dianggap sebagai kekhasan yang ditempatkan berlawanan dengan budaya global. Lokalitas merujuk pada budaya ruang terbatas yang relatif kecil di mana individu yang tinggal di dalamnya terlibat dalam hubungan sosial yang erat dan kuat dalam jangka yang panjang.

Menurut Featherstone, pendefinisian tersebut menggiring pemikiran bahwa lokalitas merupakan identitas budaya yang bersifat homogen, terintegrasi, dan abadi. Oleh karena itu,  Featherstone mengatakan, kita perlu berhati-hati agar tidak berasumsi bahwa lokalitas merupakan bentuk komunitas yang terintegrasi. Sebab, lokalitas itu sesungguhnya bersifat periodik karena adanya perbedaan ruang waktu dan ruang sosial pada tiap orang yang terlibat di dalamnya.

Senada dengan pendapat tersebut, Arjun Appadurai (1996: 178) dalam bukunya yang berjudul Modernity at Large Cultural Dimensions of Globalization melihat lokalitas sebagai hubungan relasional dan kontekstual bukan hanya bersifat spasial menyangkut suatu tempat. Appadurai (1996: 182) menyebut “locality as a phenomenological property of social life, a structure of feeling that is produced by particular forms of intentional activity and that yields particular sorts of material effects.” Appadurai (1996: 182) juga menjelaskan bahwa lokalitas merupakan konstruksi sosial yang diproduksi dan direproduksi, sekaligus sebagai arena perebutan ruang.

Pendefinisian lokalitas yang tidak hanya terkait ruang fisik juga menjadi perhatian Chetan Bhatt seperti dikutip  Ahmad Baso (2002: 44) dalam bukunya yang berjudul “Plesetan Lokalitas Politik Pribumisasi Islam”. Menurut Bhatt, berbicara tentang lokalitas atau yang lokal, tidak hanya berbicara tentang ruang material yang didiami oleh suatu penduduk. Lokalitas adalah ruang imajiner, ruang simbolik yang dimaknai, diproduksi, dan dikontestasikan dalam berbagai relasi sosial dan relasi kuasa. Ruang bukan lagi sebagai sesuatu yang statis dan tidak dialektis, tetapi sesuatu dinamis, bisa dimaknai dan diciptakan, sekaligus dimanipulasi.

Mengacu pendapat tersebut, menjadi problematis ketika pembicaraan tentang lokalitas budaya hanya didasarkan pada berbagai pemikiran yang mengagungkan kemurnian budaya lokal semata yang belum tentu relevan dengan kehidupan dan identitas budaya manusia saat ini. Appadurai dalam Ulrike Schuerkens (2003: 216) menyebutkan “the life and the cultural identity of a human being are less and less constructed according to a traditional framework. This signifies that ‘standard cultural production . . . is now an endangered activity.” Jika identitas budaya tidak bisa dikonstruksi dalam kerangka tradisional, maka lokalitas budaya tidak bisa diterjemahkan secara esensialis dengan penekanan terhadap kemurnian budaya itu sendiri.

Oleh karena itu, Norman Long (1996: 47) berpendapat bahwa konstruksi lokalitas budaya merupakan perpaduan antara unsur-unsur budaya lokal dan global melalui interaksi terus menerus antara keduanya. Perpaduan tersebut menurut Richard Giulianotti dan Roland Robertson  (2007: 135) dalam risetnya yang bejudul “Forms of Glocalization: Globalization and the Migration Strategies of Scottish Football Fans in North America” melahirkan budaya hybrid sebagai alternatif.

Giulianotti dan Robertson menjelaskan, dalam budaya hybrid tersebut aktor sosial mensintesis fenomena budaya lokal dan budaya global untuk menghasilkan praktik dan makna budaya. Untuk memadukan antara lokal dan global, Hall (1991: 27) dalam tulisannya yang berjudul “The Local and the Global: Globalization and Ethnicity” menganjurkan untuk menempatkan global dan lokal sebagai dua muka dari gerakan yang sama. Muka pertama, ‘lokal’ mencerminkan suatu kespesifikan yang tidak pernah hilang, sedangkan muka kedua, ‘global’ menunjukkan kekuatan yang telah mempenetrasi, menyerap, membentuk kembali, sekaligus menegosiasikan kespesifikan tersebut.

Perpaduan antara lokal dan global menjadi hal penting ketika lokalitas budaya dikaitkan dengan persoalan etnisitas. Menurut  Hall (1991: 34-36) memunculkan pemaknaan etnisitas sebagai ‘kembali ke lokal’ yang dilakukan melalui upaya menemukan kembali akar atau asal usul lokalitas berasal, seperti desa atau komunitas, seringkali menjadi bentuk respons terhadap globalisasi. Dalam konteks ini, etnisitas menjadi bentuk fundamentalisme yang didasarkan pada suatu tempat, sejarah yang spesifik, serta suatu hubungan kekuasaan yang spesifik. Etnisitas dibingkai dalam sebuah tradisi sebagai suatu diskursus tentang masa lalu, sehingga menentang berbagai hal yang baru dan berasal dari luar.

Terkait hal tersebut, Hall (1991: 38) mengatakan masa lalu sendiri tidak ditemukan begitu saja, ia direkonstruksi melalui narasi tentang sejarah yang diperoleh berdasarkan keinginan dan ingatan. Selain itu, etnisitas juga bukan proses akhir dari sebuah sejarah, ia terus berlanjut sebagai sebuah dialektika. Meskipun demikian, pemahaman konsep etnisitas sebagai sebuah tradisi yang mengacu masa lalu masih kerap ditemukan, salah satunya  dalam penjelasan amandemen UUD 1945 pasal 32 yang menyebutkan bahwa budaya etnis dipahami sebagai kebudayaan yang timbul dari buah usaha budi-daya rakyat Indonesia seluruhnya bersifat lama dan asli.

Menurut Dennys Lombart (2005) dalam bukunya yang berjudul “Nusa Jawa: Silang Budaya” penjabaran etnisitas dalam konteks Indonesia itupun menjadi problematis. Sebab, berabad-abad lamanya, kebudayaan asli Indonesia telah bercampur dengan berbagai kebudayaan lain, seperti India (Hindu), Arab (Islam), dan China. Lombart (2005) menegaskan bahwa keseluruhan campuran kebudayaan-kebudayaan tersebut menjadi pondasi kebudayaan nusantara yang dikenal saat ini.

Pendapat Lombart tersebut menunjukkan bahwa lokalitas budaya yang dibingkai dalam perspektif etnis tidak menjamin terwujudnya budaya yang semata mengacu tradisi lokal yang murni dan fixed.  Oleh karena itu, berbicara lokalitas budaya tidak bisa dilakukan sebagai upaya mempertahankan kemurnian budaya etnis-etnis tertentu sebagaimana yang dilakukan pihak-pihak yang memimpikan identitas budaya yang esensialis di tengah gencarnya pengaruh budaya global.

Catatan:

Tulisan di atas merupakan bagian dari disertasi yang berjudul “Artikulasi dan Representasi Subjek Gender dan Lokalitas dalam Film Produksi Dana Keistimewaan Yogyakarta” yang telah dinyatakan lulus dalam ujian disertasi program doktor Kajian Budaya dan Media, Universitas Gadjah Mada.

error: Content is protected !!