KANIBALISME RAS DAN ETNIS MENURUT KACAMATA BELL HOOKS
bell hooks dilahirkan di Hopkinsville, Kentucky 25 September 1952 silam, dengan nama asli Gloria Jean Watkins. Lahir dari keluarga kulit hitam yang secara ekonomi terbilang kelas bawah, membuat masa kecil hooks akrab dengan persoalan diskriminasi. Perbedaan ras mulai dirasakan oleh hooks ketika dirinya masih di bangku sekolah dasar. Saat itu, hooks dipisahkan dari murid-murid lainnya yang berkulit putih. Hooks meraih gelar Bachelor of Arts dari Standford University tahun 1973, meraih gelar MA dari Wisconsin University tahun 1976, dan gelar Ph.D diperoleh dari California University tahun 1983. Hooks meraih gelar Professor of African-American Studies and English di Yale University, Associate Professor of Women’s Studies and American Literature di Oberlin College in Oberlin, Ohio.
Pada 1980-an, hooks mendirikan kelompok pendukung untuk perempuan kulit hitam yang disebut Sisters of the Yam, yang kemudian ia gunakan sebagai judul buku, yang diterbitkan pada 1993. Hooks telah menulis puluhan buku yang terkait issue gender, ras, dan feminism. Berbagai karyanya yang cukup terkenal antara lain: Feminis Theory from Margin to Center (1984), Talking Back: Thinking Femist, Thinking Black (1989), Black Looks: Race and Representation (1992), Killing Rage: Ending Racism (1995), Reel to Real: Race , Sex, and Class at the Movies (1996), Remembered Rapture: The Writer at Work (1999), Where We Stand: Class Matters (2000), Communion: The Female Search for Love (2002), dan buku pendamping We Real Cool: Black Men and Masculinity (2003) dan The Will to Change: Men, Masculinity, and Love (2004). Writing Beyond Race: Living Theory and Practice diterbitkan pada tahun 2012. Ia juga menulis sejumlah karya otobiografi, seperti Bone Black: Memories of Girlhood (1996) dan Wounds of Passion: A Writing Life (1997).
Membaca tulisan bell hooks yang berjudul ‘Eating the Other: Desire and Resistance’ membuat kita lebih berhati-hati dalam memaknai representasi keragaman budaya, khususnya dalam teks-teks media. Semangat menampilkan dan mengenalkan budaya orang lain yang kadang diwujudkan melalui berbagai citra visual di ruang representasi, bisa jadi bukan dalam konteks apresiasi tapi justru sebuah bentuk apropiasi budaya. Apropriasi berasal dari kata appropriation. Menurut Cambridge Digtionary, apropiasi berarti tindakan mengambil sesuatu seperti ide, kebiasaan, atau gaya dari suatu kelompok atau budaya orang lain yang digunakan untuk kepentingan sendiri (the act of taking something such as an idea, custom, or style from a group or culture that you are not a member of and using it yourself). Mengacu definisi tersebut, apropiasi budaya bisa diterjemahkan sebagai sebuah tindakan perampasan budaya.
Menurut hooks, apropriasi budaya sulit dideteksi, karena praktik ini cenderung terbuka bahkan dirayakan. Padahal praktik ini berkontribusi terhadap semakin mapannya hegemoni budaya “white supremacist capitalist patriarcy“. Dalam pandangan hooks, ras dan etnis sebagai sebuah budaya dianalogikan sebagai makanan. ‘Eating the other’ merupakan konsep yang menggambarkan seseorang ataupun kelompok secara kanibal memakan budaya kelompok lain demi menambah cita rasa budaya sendiri. Hooks mempersoalkan komoditas budaya yang mengubah ras dan etnis sebagai bumbu yang melengkapi cita rasa dominasi budaya ras kulit putih. Menurutnya, hasrat atas budaya lain yang disebutnya sebagai liyan, dimanipulasi dan diubah untuk melanggengkan status quo para supremasi kulit putih.
Pendapat tersebut diawali ketika hooks mengunjungi Universitas Yale dan mendengar obrolan mahasiswa laki-laki kulit putih. Mereka memperbincangkan hasratnya untuk berhubungan seksual sebanyak-banyaknya dengan perempuan ataupun laki-laki dari ras yang berbeda, terutama adalah orang kulit hitam. Para mahasiswa itu memandang orang kulit hitam sebagai objek mencari pengalaman, sehingga ketika berinteraksi secara seksual merasa merasakan fantasi meruntuhkan tembok ‘white innocent’-nya. Bagi mereka (kulit putih), liyan dijadikan sebagai sumber pengalaman baru yang unik dan sensual. Hal yang menarik adalah, hooks mengatakan bahwa para laki-laki kulit putih tersebut merasa tindakannya bukan bagian dari supremasi kulit putih. Mereka bahkan memposisikan diri bukan bagian dari rasisme. hooks mengatakan, “To these young males and their buddies, fucking was a way to confront the Other, as well as a way to make themselves over, to leave behind white “innocence” and enter the world of “experience”.
Terkait hal tersebut, hooks mengatakan bahwa hasrat seksual antar ras tidak lebih dari sebuah cara mengobyekkan lyan, serupa dengan orientalisme yang disampaikan Edward Said. Dalam konteks ini, tubuh liyan dijadikan objek untuk mendatangkan kenikmatan. Selain itu, tindakan tersebut merupakan upaya untuk mendominasi liyan yang didasari hasrat untuk menguasai dan mengontrol.
Nostalgia Imperialis
Untuk membahas komodifikasi dan eksploitasi budaya, hooks meminjam istilah nostalgia imperialis yang digagas Renato Rosaldo. Nostalgia imperialis dimaksudkan sebagai bentuk komodifikasi dan eksploitasi budaya non kulit putih yang bersifat imperialisme di dalam budaya massa dengan cara menghidupkan kembali dan reritualisasi imperialisme melalui cara yang berbeda. Nostalgia imperalis ini didasarkan pada keyakinan atavisme yang menganggap bahwa jiwa primitif yang ada pada orang kulit hitam merupakan budaya, tradisi, dan gaya hidup yang tidak akan bisa dirubah. Kondisi tersebut disebabkan oleh imperialisme, kolonialisme, dan dominasi rasisme.
Nostalgia imperialis bisa muncul dalam bentuk representasi orang kulit hitam yang ditampilkan sebagai sosok yang liar dalam sejumlah media. Representasi tersebut tidak lebih dari imajinasi orang kulit putih atas orang kulit hitam. hooks melihat hal tersebut bukan sebagai pengakuan atas keberagaman budaya lain, tapi justru merupakan bentuk kekerasan budaya dan identitas. Disinilah hooks menyoroti praktik representasi yang bukan didasarkan pada apresiasi budaya, tapi lebih pada apropriasi atau perampasan budaya. Sebagai contohnya adalah model rambut kepang yang awalnya menjadi identitas orang kulit hitam yang banyak ditiru oleh selebriti Amerika. Mereka menganggap kepang rambut tersebut sebagai tren tanpa mengakui bahwa budaya tersebut merupakan identitas perempuan kulit hitam. Kasus kepang rambut yang dinilai bentuk apropriasi budaya pernah terjadi pada penyanyi Katy Perry dalam video musik ‘This is How We Do It’
Untuk menghindari munculnya apropriasi budaya, hooks menawarkan solusi perlunya ‘mutual recognition’ antara pihak dominan dan subordinat. Menurutnya, diperlukan kesepakatan dan kesetaraan pengetahuan antara self sebagai pihak yang menghegemoni dan other sebagai pihak yang disubordinasi.
Sumber:
hooks, bell. (2006). Eating the Other: Desire and Resistance, dalam Durham, Meenakshi Gigi; dan Kellner; Douglas M, Media and Cultural Studies: KeyWorks (Revised Edition). Blackwell Publishing. Pg 366-380