PRIA CANTIK DALAM BUDAYA K-POP: SEBUAH PERGESERAN KONSEP MASKULINITAS
Kulit mulus dan wajah cantik tidak lagi semata-mata identik dengan perempuan. Dunia panggung hiburan dan media perlahan memperluas gambaran tersebut tidak hanya melekat pada tubuh perempuan. Pergeseran tersebut nampak begitu nyata ketika kita melihat penampilan personil boyband Korea. Sebut saja boyband Bangtan Sonyeondan atau yang kerap disingkat BTS. Beranggotakan tujuh personil, penampilan mereka baik di panggung pertunjukan maupun dalam poster iklan, terbilang sangat cantik sebagai sosok laki-laki. Kemunculan personil boyband Korea dengan tampilan kulit mulus dan wajah cantik, menandai adanya pergeseran konsep femininitas dan maskulinitas.
BTS hanyalah satu dari sekian banyak group boyband Korea dengan tampilan fisik ramping, lembut, fashionable dan bahkan sarat make up. Pada awal kemunculannya, penampilan lembut dan cantik tersebut terkesan kompleks. Namun pada perkembangan berikutnya, masyarakat menjadi terbiasa dengan standar ketampanan ala boyband Korea. Publik bahkan menerima dengan baik hal tersebut. Ini terbukti dari sejumlah penghargaan yang mereka terima. Perpaduan antara suara, gerak, dan rupa yang terkesan feminin, mengantarkan BTS meraih predikat Top Social Artist dari Billboard Music Award yang diterima BTS tiga tahun berturut-turut, 2017, 2018, dan 2019, seperti dikutip kompas.com. (https://entertainment.kompas.com/read/2019/05/02/102241210/bts-raih-penghargaan-top-duogroup-di-billboard-music-awards-2019).
Jung dalam tulisan Ainslie (2017, p. 610) menyebut tampilan baru para personil boyband Korea itu sebagai soft masculinity. Dalam konsep ini, laki-laki tidak lagi digambarkan dengan tubuh yang kekar, alami (tanpa make up), dan garang, seperti gambaran yang kerap ditemui di sejumlah iklan dan film. Publik tidak hanya menemukan sosok maskulin seperti dalam iklan rokok dan produk minuman berenergi yang menampilkan laki-laki berotot dan perkasa. Khalayak juga tidak lagi hanya disuguhi maskulinitas ala film “Rambo” dan “Terminator”, yang identik dengan senjata. Louie (2012, p. 934) menyebutkan bahwa saat ini gagasan maskulinitas direpresentasikan dengan persahabatan dan penuh cinta. Laki-laki tidak lagi tampil dengan konotasi mengancam, tapi lebih digambarkan sebagai sosok lembut dan baik hati.
Soft Masculinity Sebagai Resistensi Konstruksi Sosial
Persoalan maskulinitas, tidak bisa dilepaskan dari perbincangan tentang gender. Judith Butler (1990: ix) menjelaskan bahwa gender bahkan seks adalah pertunjukan, bukan esensi seks yang ada pada tubuh. Gender adalah pertunjukan atau hasil pertunjukan, jurinya adalah teman kita, orang tua kita, dan juga media. Sementara Fakih (2013, p. 8) menjelaskan konsep gender adalah, suatu sifat yang dilekatkan pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, perempuan dikenal lemah dan lembut, cantik dan emosional. Sedangkan laki-laki sering dianggap kuat dan perkasa, gagah dan rasional. Ciri dari sifat di atas merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Sedang menurut Bradley (dalam Houghtagling, 2009) gender adalah konstruksi sosial, sebuah kategori yang digunakan oleh manusia sebagai cara membagi dan memahami dunia yang mereka rasakan di sekitar mereka. Sebagai sebuah konstruksi sosial, Bradley mengakui, gender bukanlah sesuatu yang tetap, tetapi bervariasi sesuai dengan waktu, tempat dan budaya.
Sebagai sebuah konstruksi, gender kerap dikaitkan dengan identitas feminin dan maskulin. Woodward (2004, p. 7) menyebutkan identitas terbentuk sebagaimana kita menampilkan diri kita pada orang lain, dan bagaimana orang lain melihat kita. Giles dan Meddleton (1999, p. 36) menjelaskan ada dua pandangan terkait identitas, yaitu esensialis dan non esensialis. Pandangan esensialis meyakini bahwa identitas adalah suatu hal yang tetap tidak bisa berubah. Jika dilihat dari pandangan ini, ciri maskulin seperti yang ada selama ini sebagai identitas laki-laki, tidak akan bergeser menjadi soft masculinity. Pandangan non esensialis berbicara sebaliknya, identitas adalah sesuatu yang cair dan tidak tetap. Identitas dinilai sesuatu yang terbuka dan bisa berubah. Berdasar pandangan non esensialis, konsep maskulinitas sangat mungkin untuk berubah. Ciri maskulinitas yang sebelumnya hanya diidentikkan dengan tubuh kekar bergeser dengan maskulinitas yang dicitrakan dalam kelembutan.
Sementara itu, Morgan dalam Jewitt (1997) mengatakan, maskulinitas adalah imaji kejantanan, ketangkasan, keperkasaan, keberanian untuk menantang bahaya, keuletan, keteguhan hati, hingga keringat yang menetes, otot laki-laki yang menyembul atau bagian tubuh tertentu dari kekuatan daya tarik laki-laki yang terlihat secara ekstrinsik. Bagi Morgan, selain merupakan konsep yang terbuka pada dasarnya maskulinitas bukan merupakan identitas yang tetap dan monolitis, yang dipisahkan dari pengaruh ras, kelas dan budaya.
Jika maskulinitas adalah sebuah identitas, dan identitas tidak bisa dilepaskan dari konsep gender yang bersifat ‘socially constructed’, maka identitas maskulin akan sangat bergantung pada kondisi ruang dan waktu. Artinya, konsep maskulinitas juga bisa berubah, tidak selamanya sama persis dengan gambaran umum maskulinitas yang ada, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam representasi media. Konstruksi maskulinitas yang telah dipertontonkan oleh para personil boyband Korea menjadi sebuah resistensi terhadap konstruksi maskulinitas yang telah dianggap mapan sebelumnya.
Soft Masculinity Antara Hibridisasi dan Industri Budaya
Shin (2009) mengatakan konsep soft masculinity hadir sebagai identitas baru, tersebar melalui budaya Korean Pop (K-Pop) setelah munculnya produk Jepang serupa di akhir tahun 1990-an. Boyband Jepang yang anggotanya memiliki penampilan dan sikap feminin telah menjadi populer di Asia selama beberapa waktu, dan telah mempengaruhi cara perempuan muda Asia dalam memandang maskulinitas yang diinginkan. Namun, selama dekade terakhir, artis Korea mungkin telah menarik lebih banyak pengikut di Asia, dan gelombang Korea tidak menunjukkan tanda-tanda mereda.
Terbentuknya soft masculinity yang akhirnya dibawa sejumlah boyband Korea ke berbagai belahan dunia, khususnya Asia Timur, tidak bisa dilepaskan dari persoalan globalisasi. Jika soft masculinity baik yang berkembang di Jepang maupun Korea muncul dari pengaruh globalisasi, mungkinkah bentuk tersebut berasal dari barat? Bicara globalisasi, setidaknya ada beberapa diskursus yang bisa kita gunakan. Pertama, pemahaman bahwa globalisasi adalah sebuah proses westernisasi. Giddens dalam Ritzer (2014) adalah salah satu yang menekankan perat Barat pada umumnya, dan Amerika Serikat khususnya, dalam globalisasi. Giddens menyampaikan poin penting terkait detradisionalisasi sebagai akibat fenomena globalisasi. Detradisionalisasi dimaksudkan sebagai memudarnya tradisi-tradisi lokal. Dalam pandangan Giddens, masyarakat meninggalkan tradisi lokal dan mengikuti arus global yang berdampak pada hilangnya heterogenitas menuju homogenitas.
Pendapat Giddens mendapat kritik Petras (1999). Dalam tulisannya Globalization: A Critical Analysis, Petras mengungkapkan bahwa globalisasi bukan hanya aktor Barat yang membawa ke seluruh dunia. Globalisasi melibatkan tiga pihak. Pertama, pihak yang mendukung globalisasi, yaitu mereka yang memperoleh keuntungan dari adanya globalisasi. Kedua, pihak yang menentang globalisasi, umumnya adalah mereka yang menjadi korban eksploitasi. Ketiga, pihak yang dieksploitasi namun juga memperoleh keuntungan dari globalisasi. Menurut Petras, globalisasi adalah proses yang dilakukan secara aktif bukan hanya oleh negara maju. Negara dunia ketiga atau negara berkembang juga ikut berperan dan memberikan kontribusinya pada proses globalisasi tersebut.
Giddens (1991) juga menyebutkan bahwa globalisasi adalah hasil kerja proyek modernitas. Gagasan ini dikritik oleh McChesney (1998) dalam Shim (2006), karena globalisasi yang dipahami sebagai hasil modernitas cenderung akan memberikan aura keniscayaan pada kebangkitan neoliberalisme. Pendapat lainnya disampaikan Pieterse (2004) dalam Kellner dan Durkham (2006) yang mengatakan bahwa globalisasi tidak bisa didefinisikan secara penuh sebagai westernisasi, dan tidak hanya mencakup modernisasi.
Dalam tulisannya yang berjudul Globalization as Hybridization, Pieterse menjelaskan bahwa globalisasi adalah suatu proses hibridisasi. Hibridisasi dipahami sebagai “the ways in which forms become separated from existing practice and recombining with new forms in new practice”. Tulisan tersebut menggambarkan bahwa hibridisasi merupakan proses peleburan bentuk dan unsur-unsur lama yang akhirnya membentuk sesuatu yang baru.
Lebih lanjut dikatakan bahwa hibridisasi menghadirkan fenomena baru terkait aspek budaya dan identitas. Menurutnya, globalisasi yang mengaburkan batas ruang dan waktu membuat masyarakat berada pada keberagaman global. Bagi Pieterse, globalisasi bukan proses homogenisasi dan standarisasi, karena globalisasi tidak mengaburkan heterogenitas masyarakat itu sendiri. Masyarakat bisa merasakan hibridisasi budaya dan memiliki identitas yang kompleks, yang membawa mereka pada suatu global melange. Pieterse mendefinisikan global mélange sebagai proses perpindahan kebudayaan yang tidak berlangsung di daerah asalnya. Dalam kontek ini, peleburan budaya tidak hanya bersumber dari Barat, namun sebuah osmosis budaya secara interkontinental, yang juga bersumber dari negara-negara Timur.
Bicara soft masculinity tidak hanya terkait persoalan hibridisasi. Soft masculinity yang notabenenya melekat pada budaya K-Pop, khususnya personal boy band ketika ‘manggung’, tidak bisa dilepaskan dari perbincangan industri budaya. Ketampanan soft masculinity dibangun dari ‘tubuh’ yang telah dimodifikasi, baik melalui meja operasi maupun polesan beragam make up dan balutan fashion tertentu. (https://www.tribunnews.com/lifestyle/2017/12/20/begini-standar-ketampanan-pria-korea-selatan-oplas-wajah-agar-mulus-tapi-badan-tetap-berotot?). Ketampanan ‘feminin’ itu juga menjadi salah satu faktor pendulang pendapatan. Big Hit Entertainment selaku agen boyband BTS dalam siaran persnya menyebutkan, total pendapatan fiskal Big Hit dalam tahun 2018 adalah 214,2 miliar won atau sekitar US$190 juta, dengan laba operasi kisaran US$57 juta dan laba bersih US$44 juta (https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20190320083123-227-378911/big-hit-mendulang-banyak-cuan-berkat-bts). Realitas tersebut membawa pembicaraan soft masculinity boyband K-pop tidak hanya terkait seni musik, tapi juga merambah ke ranah industri. Adorno dalam tulisannya yang berjudul Culture Industry Reconsidered (1975) menyebut hal tersebut sebagai industri budaya. Budaya dijadikan sebagai komoditas dengan sistem produksi massal yang kemudian direproduksi dan disebarkan dengan motif keuntungan layaknya dalam sistem industri lainnya.
Melalui tulisan berjudul Cultural Industry: Entlightenmen Mass Deception yang tertuang dalam buku Dialectic of Enlightenment (2002), Adorno dan Horkheimer mengkritisi kehadiran budaya yang masif dalam masyarakat kapitalis sebagai budaya yang berasal dari produk industri semata dan tidak berasal dari ekspresi kultural masyarakat. Industri budaya, yang membawa hasil kerja seni sebagai pembungkus produknya, jutru lebih mengutamakan aspek ekonomi dalam rasionalitas kapitalis ketimbang membawa pencerahan dalam masyarakat. Dalam pandangan Adorno dan Horkheimer, karya seni seharusnya menjadi pencerahan bagi kemanusiaan, bukan malah membuat kemunduran otonomi individu atau regresi terhadap makna sebenarnya dari pencerahan.
Lebih spesifik lagi, Adorno dan Horkheimer menganggap kehadiran industri budaya dalam masyarakat telah mengikis nilai-nilai kemanusiaan secara menyeluruh, dimana manusia hanya dinilai sebagai objek untuk memperoleh keuntungan, baik itu sebagai pembeli ataupun pekerja. Dalam relasi budaya kapitalis, budaya telah diubah menjadi komoditi. Masyarakat sebagai konsumen sendiri hanya dilihat sebagai “angka-angka statistik pada grafik lembaga penelitian, dan dikelompokkan berdasarkan pendapatan ekonomi ke dalam warna merah, hijau, dan biru; sebuah teknik yang diterapkan ke dalam segala jenis propaganda (2002:97).
Membahas K-pop, khususnya sisi maskulinitas personilnya, merupakan hal yang cukup menarik. Tidak mengeharankan jika penelitian terkait hal tersebut pernah dilakukan beberapa peneliti sebelumnya. Wahyuningtyas dan Agustiana (2020) membuat penelitian yang berjudul “Resepsi Mahasiswa Terhadap Maskulinitas Melalui Fashion Idol K-pop” (Studi Deskriptif Kualitatif Maskulinitas pada Fashion yang Ditampilkan dalam Music Video BTS “No More Dream” dan “Boy With Luv”). Penelitian ini fokus pada resepsi audiens dalam melihat konsep maskulinitas. Penelitian lain dilakukan oleh Yusanta (2019) yang mengangkat tema “Fluiditas Maskulinitas dan Femininitas dalam Boyband K-Pop sebagai Produk Industri Budaya”. Dalam penelitian ini, penulis hanya melihat maskulinitas dalam boyband K-pop dari sisi industri budaya. Sementara Fribadi (2012), menulis tentang “Representasi Maskulinitas dalam drama TV Korea You’re Beautiful”. Penelitian ini melihat bagaimana maskulinitas digambarkan dalam sebuah drama.
Ketiga penelitian tersebut di atas, tidak melihat persoalan pergeseran konsep maskulinitasoleh boyband K-pop secara komperehensif, baik terkait model representasi, pola hibridisasi, maupun sisi industri budayanya. Masing-masing penelitian hanya fokus pada satu sudut pandang. Oleh karena itu, tulisan ini mencoba memberikan gambaran lain yang merupakan kombinasi dari ketiga hal tersebut. Tulisan ini tidak sekedar melihat bentuk pergeseran maskulinitas, tetapi juga menyuguhkan sisi hibridisasi dan kaitannya dengan industri budaya, yang mencakup; Bagaimana representasi soft masculinity boyband K-pop? Bagaimana proses hibridisasi terbentuknya soft masculinity boyband K-pop? Bagaimana budaya industri membingkai soft masculinity boyband K-pop sebagai sebuah komoditas? Dengan tiga fokus tersebut, diharapkan tulisan ini memberi gambaran bagaimana maskulinitas baru ditampilkan, sejarah yang mengawalinya, hingga perkembangannya dalam industri budaya. Pergeseran maskulinitas yang menjadi fokus utama dalam tulisan ini adalah maskulinitas yang ditampilkan oleh personil boyband K-Pop, khususnya ketika di panggung pertunjukan maupun dalam poster iklan.
Representasi Soft Masculinity dalam Boyband K-Pop
Chafetz (1974) menjelaskan bahwa secara fisik maskulinitas cenderung jantan, atletis, kuat, berani, dan tidak peduli dengan penampilan dan penuaan. Jika dikaitkan dengan penampilan boyband K-pop ciri tersebut memiliki perbedaan. Hal ini bisa dilihat dari berbagai pertunjukan panggung yang ada, baik dalam live show di panggung, di kanal youtube, maupun poster. Ada keseragaman bentuk fisik, meski mereka berasal dari group dan agenci yang berbeda.
Umumnya secara fisik mereka ramping, memiliki wajah tirus dan imut, dan berkulit mulus. Para boy band Korea juga memiliki tata rambut yang hampir sama, memakai ‘poni’ dan berwarna warni sebagai hasil proses pewarnaan. Mereka sangat memperhatikan penampilan dengan warna fashion yang feminine, seperti pink dan berbunga-bunga. Ciri lainnya adalah polesan make up, seperti lipstick dan eyeshadow, serta pemakaian aksesories seperti anting, bahkan bunga untuk riasan kepala. Representasi maskulinitas tersebut bisa dilihat pada sejumlah group band, seperti BTS, SuperM, NCT, Seventeen yang saat ini tengah naik daun di kalangan penggemar musik K-pop.
Para personal BTS dengan penampilan soft masculinity (sumber: google.com)
Penampilan mereka yang jauh berbeda dengan standar ketampanan maskulin pada umumnya, justru mendapatkan animo publik yang luar biasa. Sebut saja V BTS. Penampilannya yang sangat feminine dan cantik, mengantarkan V BTS meraih penghargaan The Best Face in The World 2020, versi Starmometer, sebuah media hiburan yang berbasis di Filipina. Ia bahkan dinobatkan sebagai pria tertampan versi majalah The Independent Critics List by TC Candler. Seperti ditulis kompas.com, berdasarkan data Annual Independent Critics Lists, dua personal BTS, Kim Taehyung atau yang dikenal V BTS dinobatkan sebagai Most Handsome Faces of 2017, sedang Jungkook meraih penghargaan yang sama tahun 2019. (https://www.kompas.com/hype/read/2020/01/11/205004666/v-dan-jungkook-bts-masuk-daftar-30-pria-tertampan-dekade-ini).
Gambaran tampilan soft masculinity di atas juga sesuai dengan hasil penelitian Yusanta dkk. (2019). Personil boyband Korea menggunakan konsep soft masculinity sebagai citra maskulinitas mereka, yang menabrak batas-batas gender. Banyaknya apresiasi publik, baik yang berbentuk fans maupun award sekaligus menandakan bahwa model pria cantik yang kerap dipentaskan, turut mendongkrak popularitas mereka. Mengacu pendapat Willoughby (2006) yang dikutip Harris dan Howard, citra dalam trend musik pop Korea justru menjadi kualitas yang paling esensial dari seorang penghibur. Disisi lain talenta musik dan kreatifitas justru memiliki peran sekunder.
Hibriditas Soft Masculinity K-Pop
Representasi soft masculinity yang menjadi trendsetter baru konsep maskulinitas saat ini, merupakan bentuk percampuran dari berbagai konsep maskulin yang ada sebelumnya. Jung (2011) mengatakan soft masculinity merupakan produk hibridisasi yang dibangun melalui penggabungan transkultural dari maskulinitas seonbi tradisional Korea Selatan, maskulinitas bishonen Jepang, dan maskulinitas metroseksual global.
Jung (2011, p. 59) menjelaskan karakter bishonen yang biasanya terdapat dalam komik Jepang menggambarkan pria pesolek yang tampan dan menggemaskan. Bhisonen digambarkan sebagai laki-laki yang memiliki kaki berjenjang, berwajah tirus dan manis. Menurut Jung (2011, h. 58) bahwa bishonen merupakan sebutan untuk pria yang memiliki wajah cantik, tapi sebenarnya definisi cantik disini adalah bermakna tampan. Gambaran ketampanan bhisonen bisa dilihat pada group band Jepang, seperti Arashi, Kat-Tun, Kis-My-Ft2. Selain memiliki fisik yang feminine, mereka juga kerap memakai riasan, seperti lipstick, bedak, dan eyeliner.
Sementara metroseksual menggambarkan laki-laki yang tidak garang, mereka lembut, fashionable, dan trendi. Pemunculan feminitas metroseksual ditekankan pada penampilan fisik yang memperindah penampilan laki-laki. Buchbinder (2012, p.iii) mengatakan seorang metrosexual menjaga bentuk tubuhnya agar tetap terlihat bagus dengan pergi ke gym, dan mereka mengeluarkan pendapatan mereka untuk biaya pakaian, dan perawatan tubuh. Mereka tidak lagi takut menggunakan produk kecantikan untuk kulit, wajah, dan rambut. Mengunjungi salon untuk melakukan perawatan tubuh merupakan bagian hidup mereka.
Metroseksual dikenal sebagai maskulinitas yang ditampilkan oleh bintang-bintang Hollywood. Mereka adalah pria dari kalangan atas, rajin berdandan, dan mengagungkan fashion. Flocker (2003) seperti dikutip Mitchell dan Amar Lodhia, (2017) mendefinisikan seorang metroseksual sebagai laki-laki trendsetter abad 21. Mereka tidak gay, memiliki kepekaan estetika yang tinggi, menghabiskan banyak waktu dan uang untuk penampilannya, dan memiliki keinginan memunculkan sisi feminisnya.
Selain dipengaruhi oleh dunia global, soft masculinity boyband K-Pop juga mengadopsi dari budaya tradisional Korea Selatan sendiri. Maskulinitas tradisional tersebut dikenal dengan nama seonbi. Jung (2011, p. 27) mengatakan bahwa seonbi merupakan maskulinitas tradisional konfusius yang berkembang pada masa dinasti Joseon (1392-1910). Terminologi seonbi dilekatkan pada para pelajar yang belajar teks konfusius untuk membentuk kepribadian sebagai pria yang bijak. Seonbi lebih mengindikasikan ketampanan secara mental bukan tertumpu pada fisik. Hingga saat ini, seonbi masih menjadi gambaran ideal maskulinitas Korea Selatan, yang bertumpu pada gambaran laki-laki yang sopan, berintegritas, terpercaya, loyal, dan juga menggambaran budaya terpelajar.
Percampuran ketiga konsep maskulinitas tersebut membentuk maskulinitas baru dalam budaya pop Korea saat ini. Jung (2011, p.4) menjelaskan, sebagai produk transkultural, fenomena ini merupakan bagian dari proses hibridisasi transkultural yang memadukan konteks maskulinitas global dan tradisional Korea Selatan sendiri.
Pria Cantik dalam Pusaran Industri Budaya
Berbicara ‘pria cantik’ sebagai representasi soft masculinity, tidak bisa dilepaskan dari persoalan industri budaya. Penampilan cantik para personil boyband K-Pop, tidak sekedar terkait visualisasi dunia hiburan di atas panggung. Keberadaan mereka telah menjadi komoditas budaya yang menghasilkan begitu banyak keuntungan finansial.
Adorno dalam buku The Culture Industry (1991) menjelaskan bahwa produksi budaya ditandai oleh beberapa karakteristik, yaitu standarisasi, massifikasi, dan komodifikasi. Jika dikaitkan dengan pendapat tersebut, maka ada beberapa cara untuk melihat soft masculinity budaya K-pop sebagai komoditas budaya. Seperti dijelaskan sebelumnya, visualisasi personil boyband Korea memiliki kemiripan, khususnya terkait ketampanan. Meski bernaung di bawah agensi yang berbeda, namun ketampanan mereka sama-sama divisualkan dalam wajah cantik, rahang berbentuk V, kulit mulus, dan tubuh ramping.
Joy Kong, CEO klinik operasi plastik Korea di Singapura, seperti dikutip tribunnews.com (https://www.tribunnews.com/lifestyle/2017/12/20/begini-standar-ketampanan-pria-korea-selatan-oplas-wajah-agar-mulus-tapi-badan-tetap-berotot?) menjelaskan, “…..Jika seorang pria Korea terlihat cantik, itu berarti dia tampan. Bagi pria Korea, mereka sebenarnya ingin tampil lebih feminine dibanding budaya lain. Ketika kamu melihat bintang K-Pop, mereka semua memiliki rahang berbentuk V dengan kulit mulus dan bertubuh maskulin tanpa cela sedikitpun, sempurna”. Kang menambahkan, untuk pria, kita punya konsep yang sama, yaitu ‘jimsung-dol’, seorang pria berwajah imut dengan tubuh berotot sangat kencang. Sementara itu, Kepala Ahli Bedah Banibagi Plastic Surgery Korea, Dr. Lee Hyun-Taek menambahkan bahwa umumnya pria Korea memilih menjalani operasi hidung, kelopak mata, kontur wajah, dan kontur tubuh agar terlihat cantik. Paparan di atas menunjukkan bahwa soft masculinity boyband menjadi barometer ketampanan yang merambah pada industri lain, seperti dunia kesehatan dan kecantikan. Dorongan wajah sempurna berkontribusi terhadap peningkatan operasi plastik di Korea Selatan. Survey International Society on Aesthetic Plastic Surgeon terhadap 30 negara di tahun 2016 mengindikasikan, Korea Selatan menduduki peringkat ke-empat dengan jumlah operasi plastik untuk estetika terbesar.
Soft masculinity yang direpresentasikan melalui berbagai riasan, juga berdampak signifikan terhadap industri kosmetik laki-laki. Kosmetik yang awalnya banyak dikonsumsi perempuan, kini banyak dikonsumsi laki-laki. Korea Selatan pun menjadi surga baru bagi pria berbagai manca negara yang ingin memanjakan tubuhnya dengan berbagai produk skin care. Sebut saja, Dr. Jart+ Black Label Nourishing Beauty Balm, Sulwhasoo Cleansing Foam for Men, Missha for Men Aqua Breath Moisture Cream, dan berbagai produk skin care lainnya. Kehadiran pria ‘cantik’ yang merupakan personal boyband pun menjadi daya tarik tersendiri pada iklan skin care tersebut. EXO dengan iklan produk Nature Republic, BTS untuk VT Cosmetics, dan GOT7 yang menjadi model iklan The Face Shop, merupakan bukti bahwa soft masculinity yang mereka miliki menjadi bagian penting industri budaya.
‘Kecantikan’ para boyband itupun berdampak pada pendapatan negara yang sangat signifikan. Euromonitor international menyebutkan, pada tahun 2012, penjualan produk perawatan kulit pria mencapai US$ 565 juta. Angka tersebut mewakili hampir 21% penjualan produk perawatan kulit global, sekaligus menempatkan Korea Selatan sebagai pasar terbesar perawatan kulit global (https://blog.euromonitor.com/south-korea-largest-market-for-mens-skin-care-globally).
Kesuksesan tersebut tidak terlepas dari gencarnya penyebaran informasi melalui berbagai platform media, baik dalam negeri maupun manca negara. Masyarakat di berbagai belahan dunia bisa dengan mudah mengakses informasi K-Pop dengan segala pernak perniknya. Bahkan aplikasi V LIVE yang menyediakan fitur khusus siaran live idola dari negeri ginseng, bisa diunduh dengan mudah. Fenomena penggemar yang sangat mudah membeli berbagai barang yang dikonsumsi dan diiklankan oleh para personal boyband K-pop, membuktikan industri budaya telah mengambil perannya. Industri budaya memunculkan kebutuhan dan kepuasan semu, seperti yang dipaparkan oleh Adorno dan Horkheimer di atas. Para penggemar tidak lagi menikmati musik. Mereka bahkan tidak sadar kalau dirinya sedang membeli citra sang idola. Mereka jatuh pada fetisisme komoditas yang menumbuhkan budaya konsumeris.
Keberhasilan ekspansi itu tidak terlepas dari dukungan penuh pemerintah Korea Selatan. Tae Young Kim dan Dal Young Jin (2016) dalam tulisannya “Cultural Policy in The Korean Wave: An Analysis of Cultural Diplomacy Embedded in Presidential Speeches” menuliskan bahwa Korea Selatan berhasil membuat budaya menjadi komoditas ekspor yang berkaitan dengan kepentingan politis. Penyebaran K-pop juga menjadi bagian dari public relations pemerintah. Tidak hanya itu, pemerintah Korea Selatan juga menjadikan budaya sebagai salah satu soft power negara disamping politik dan kebijakan luar negeri. Dengan kebijakan tersebut, soft masculinity yang tercipta dari budaya K-pop, menjadi terlegitimasikan dan semakin tidak bisa dipisahkan dari persoalan industri budaya. Pria ‘cantik’ sebagai representasi soft masculinity bukan sekedar terkait dengan dunia panggung dan dunia hiburan, tapi menjadi bagian penting dari persoalan ekonomi dan bisnis.
Kesimpulan
Penampilan para personal K-Pop telah menciptakan bentuk maskulinitas baru yang disebut soft masculinity. Soft masculinity dicitrakan dalam bentuk tubuh ramping, model rambut, kulit wajah mulus dan terawatt, make up, dan pernak pernik fashion yang dikenakan. Soft masculinity dalam K-Pop terbentuk dari hibridisasi beragam konsep maskulinitas, seperti dari bhisonen Jepang dan metroseksual yang banyak ditampilkan oleh bintang Hollywood, Amerika, yang kemudian dikombinasikan dengan konsep maskulinitas tradisional Korea Selatan sendiri. Pada akhirnya, soft maskulinitas tersebut tidak bisa dilepaskan dari industri budaya yang lebih berorientasi pada kepentingan kapitalis dan negara sebagai sumber kapital ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA
Adorno, T. W. (1975). Culture Industry Reconsidered. New German Critique, No.6, pp 12-19 dari
http://www.icce.rug.nl/~soundscapes/DATABASES/SWA/Culture_industry_reconsidere d.shtml, diunduh Desember 2020.
Adorno, T. W. (1991). The Culture Industry. New York: Routledge.
Adorno, T. W & Horkheimer, M. (2002). Dialectic of Enlightenment. California: Stanford University Press.
Ainslie, M. J. (2017). Korean Soft Masculinity vs. Malay Megemony: Malaysian masculinity and Hallyu Fandom. Korea Observer, 3(48), 609–638 Korea observer, Vol. 48, No. 3, pp. 609-638.
Buchbinder. D. (2012). Studying Men and Masculinities. London: Routledge.
Butler, J. P. (1990). Gender trouble; feminism and the subversion of identity. New York: Routledge.
Chafetz, J. S. 1974. Handbook of The Sociology of Gender. New York: Plenum Publishers.
Fakih, Mansour. (2013). Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: Diandra Primamitra.
Fribadi, D. O. (2012). Representasi Maskulinitas Dalam Drama TV Korea You’re Beautiful. Universitas Indonesia : Thesis (tidak diterbitkan)
Giddens, A. (1991). Modernity and Self Identity; Self and Society in the Late Modern Age. UK: Polity Press in association with Blackwell Publishing.
Giles, Judy & Middleton, Tim. (1999). Studying Culture: a practical introduction. Oxford and Massachusetts: Blackwell Publisher.
Houghtaling, M., K. (2009). Book review, Harriet Bradley, Gender: Key concepts. Canadian Journal of Sociology, Vol 34, No 3.
Jewitt, C. (1997). Images of Men: Male Sexuality in Sexual Health Leaflets and Posters for Young People. Sociological Research Online, vol. 2, no. 2.
Jung, S. (2011). Korean Masculinities and Transcultural Consumption: Yonsama, Rain. Oldboy, K-Pop Idols. Hong Kong: Hong Kong University Press.
Louie, K. H. (2012). Popular Culture and Masculinity Ideals in East Asia, with Special Reference to China. The Journal of Asian Studies. Vol. 71, No. 4
Mitchell, V. W & Lodhia, A. (2017). Understanding the metrosexual and spornosexual as a segment for retailers. International Journal of Retail & Distribution Management, Vol. 45 Issue: 4, pp.349-365.
Petras, James. 1999. Globalization: A Critical Analysis. Journal Contemporary Asia. Vol. 29, No. 1.
Pieterse, Jan Nederveen (2006) dalam Kellner, D. M, & Durkham, M. G. Media and Cultural Studies: Key Works. Malden: Blackwell Publishing.
Ritzer, G. (2014). Teori Sosiologi Modern (terjemahan). Depok: Prenadamedia Group.
Shim, D. (2006). Hybridity and the Rise of Korean popular Culture in Asia. Media Culture & Society Journal. Dari https://www.researchgate.net/publication/254737351_Hybridity_and_the_Rise_of_Korean_Popular_Culture_in_Asia. Diunduh Desember 2020.
Shin, H. (2009). Have You Ever Seen the Rain? And Who’ll Stop the Rain?: The Globalizing Project of Korean Pop (K-pop). Inter-Asia Cultural Studies 10 (4):507–23
Scholte, J. A. (2007). Defining Globalization. Clm.economía, 10, 15-63. Diunduh dari http://www.clmeconomia.jccm.es/pdfclm/scholte.pdf pada Desember 2020.
Tae, Y. K & Jin, D. L (2016). Cultural Policy in the Korean Wave: An Analysis of Cultural Diplomacy Embedded in Presidential Speeches. International Journal of Communication 10(2016), 5514–5534 1932–8036/20160005.
Wahyuningtyas, V., N. & Agustiana, N.D. (2020). Resepsi Mahasiswa Terhadap Maskulinitas Malalui Fashion Idol K-pop (Studi Deskriptif Kualitatif Maskulinitas pada Fashion yang Ditampilkan dalam Music Video BTS “No More Dream” dan “Boy with Love”. Jurnal Komunikasi, Masyarakat dan Keamanan (Komaskam) Vol 2.
Woodward, K. (2004). Question Identity: Gender, Class, Ethnicity. London & New York: Routledge.
Yusanta, D. A. (2019). Fluiditas Maskulinitas dan Feminitas dalam Boyband K-Pop sebagai Produk Industri. Jurnal Kafa’ah, 9 (2), 2019, (205-212).