REPRESENTASI: Darstellen dan Vertreten

Representasi. Sebuah kata yang sangat sering kita dengar, namun luput dari pemaknaan yang benar. Dalam Bahasa Inggris, kita hanya mengenal satu kata representation yang mewakili  begitu banyak makna. Untuk memberikan makna representasi yang lebih tepat dan spesifik, Pitkin dalam Ball et al. (1995) menjabarkan hal tersebut dengan meminjam Bahasa Jerman. Ada tiga kata yang dipilih, yaitu darstellen, vertreten, representieren.

Darstellen merujuk pada pengertian menggambarkan dan mendiskripsikan. Sedang vertreten bermakna bertindak sebagai agen yang berbicara atas nama pihak yang diwakili. Kata representieren memiliki makna sama dengan vertreten, hanya saja bersifat lebih formal dalam konteks pemerintahan atau urusan publik. Misalnya anggota DPR berbicara atas nama rakyat, presiden berbicara mewakili bangsa. Sedang vertreten lebih bersifat personal, seperti lawyer yang mewakili kliennya.

Untuk melihat makna representasi secara lebih luas, Pitkin merunut makna tersebut dengan melihat pada kontek sejarah. Dilihat dari sisi etimologi (asal usul kata), representasi berasal dari Bahasa Yunani yang artinya menghadirkan atau mewujudkan atau menghadirkan kembali. Pengertian tersebut lebih menggambarkan sesuatu yang tak bernyawa, jadi tidak terkait dengan representasi rakyat dalam kontek Negara Romawi.

Pemaknaan seperti itu juga terjadi pada awal abad ke XIII hingga pertengahan abad XIV ketika Paus dan Kardinal sering menggunakan kata representasi. Konotasi representasi masih belum terkait dengan mewakili. Kata representasi lebih digunakan sebagai perwujudan Kristus dan Rasul. Dalam perkembangannya, kata representasi juga digunakan dalam Bahasa Perancis. Namun demikian makna representasi masih terkait penggambaran inanimate object.

Pada akhir abad XV terjadi perkembangan makna representasi dalam Bahasa Inggris. Dalam kamus Oxford dijelaskan bahwa representasi terkait dengan dua makna. Pertama representasi bisa merupakan penggambaran inanimate object dan juga bisa standing for human being, misalnya pembuatan patung yang menggambarkan sosok manusia. Kedua, representasi juga terkait dengan penggambaran aktivitas manusia, misalnya melalui tulisan atau seni gerak. Namun makna tersebut masih belum merujuk pada pengertian aktivitas bertindak untuk mewakili orang lain.

Konsep representasi yang terkait dengan aktifitas politik dan agenci, baru muncul abad XVI ketika tradisi para ksatria dan borgesses menjadi perantara raja dan rakyat utamanya terkait persoalan pajak dan keluhan rakyat. Namun waktu itu belum muncul istilah representative.

Awal abad ke XVII pandangan tentang parlemen muncul, yang mengkaitkan makna representasi dengan perwakilan. Sayangnya saat itu parlemen lebih berfungsi sebagai lembaga pengadilan dibanding sebagai lembaga perwakilan. Parlemen bukan merupakan lembaga demokrasi. Raja bukanlah lembaga negara, bukan pemilik dari semua realita, tapi raja adalah realita itu sendiri. Artinya, apapun yang dilakukan raja dianggap representasi kemauan rakyat.

Istilah representative pertama digunakan tahun 1651 dalam tulisan Issaac Pennington. Pada saat yang sama Hobbes juga menulis ide tentang politik representasi. Ia menyebutkan terminologi representasi terkait dengan aspek formal agen, khususnya dalam konteks otorisasi. Representative berarti sebuah otorisasi untuk betindak atas nama orang lain.

Problem Representasi

Ketika kita bicara representasi dalam kaitannya dengan perwakilan, persoalan yang muncul kemudian adalah apakah perwakilan itu bertindak berdasar apa yang dikehendaki oleh konstituen atau berdasar apa yang menurutnya baik? Ada beberapa paradox yang muncul ketika kita berbicara tentang perwakilan, khususnya dalam parlemen. Pitkin menyebutkan bahwa representasi menghadirkan sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Hal ini terkait erat dengan pendapat Burke bahwa parlemen bukanlah kongres yang mewakili berbagai kepentingan yang berbeda, tetapi parlemen adalah majelis permusyawaratan negara dengan satu kepentingan. Memang kita memilih wakil, tapi mereka bukan semata anggota dari sebuah kelompok, mereka adalah anggota parlemen. Jadi tidak bisa dipastikan bahwa suara yang diwakili akan sesuai dengan suara kepentingan yang lebih besar.

Problem lainnya adalah eksistensi perwakilan juga terkait dengan kepentingan partai politik, bukan semata kepentingan konstituen. Bentham mengatakan representative adalah sesuatu yang tidak mungkin karena adanya perbedaan kepentingan dan motivasi antara yang mewakili dan diwakili. Sementara Rousso menegaskan bahwa keinginan setiap individu itu berbeda. Oleh karena itu, eksistensi masyarakat dalam fungsi legislative tidak mungkin bisa diwakili.

Persoalan representasi ini juga menjadi perhatian Karl Marx dalam buku Kojin Karatani, yang mengupas makna Darstellen dan Vertreten dalam konteks representasi. Melalui buku The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte, Karl Mark mengungkap sebuah persoalan politik yang terjadi antara 24 Februari 1848 hingga desember 1851, yang disebutnya sebagai drama kelas sosial dan perjuangannya.

Mark menyoroti tentang pengertian keterwakilan (vertreten) para petani di Perancis dalam system parlemen era Louis-Bonaparte. Mereka tidak memiliki kesadaran kolektif untuk membentuk formasi kelas akibat kondisi sosial ekonomi yang tidak memungkinkan. Mereka tidak bisa menggambarkan (darstellen) dirinya, sehingga membutuhkan orang lain yang menjadi perantara. Sayangnya, perwakilan tersebut justru berangkat dari kelas borjuis, sehingga ketika mereka berbicara di parlemen tidak didasarkan pada kepentingan petani yang diwakilinya.

Padahal, seorang perwakilan, logikanya akan berbicara berdasar kepentingan pihak yang diwakili dan mampu menyuarakan kepentingannya. Kalaupun mereka berbicara tentang petani di parlemen, namun suara yang dimunculkan berdasarkan pada kesadaran kelas sebagai borjuis bukan petani. Akibatnya petani sebagai subjek politik dalam konteks representasi dibungkam. Paradoknya adalah representasi  posisi petani dianggap penting sehingga butuh perwakilan (vertreten), disisi lain representasi itu menjadi penggambaran pembungkaman petani (darstellen).

Mengutip pendapat Hannah Arendt, hanya demokrasi langsung yang memungkinkan terwakilinya kepentingan seseorang. Namun demikian hal tersebut tidak mungkin bisa diwujudkan, karena proses demokrasi selalu dijalankan dengan sistem representasi. Satu hal yang masih bisa dilakukan, menjaga spirit resistensi terhadap praktik pembungkaman kepentingan yang tak tersuarakan, atau kita akan membiarkan hilangnya kebebasan publik.

Disarikan dari tulisan “Representation” karya Hanna Fenichel Pitkin dalam buku Political Innovation and Conceptual Change karya Terrence Ball, James Farr & Russel L. Hanson (1995).

error: Content is protected !!