Film Sebagai Produk Budaya dan Praktik Sosial
Film bukanlah medium informasi dan karya seni yang diproduksi semata untuk menghibur penontonnya. Film mengandung pesan tertentu yang seringkali mewakili kepentingan pihak dominan. Seperti dikatakan Graeme Turner (1999: 47-49) dalam bukunya yang berjudul “Film as Social Practice” bahwa film bukanlah semata sebuah karya seni. Film adalah produk budaya dan praktik sosial, yang berfungsi sebagai medium untuk memproduksi dan mereproduksi makna budaya. Film merupakan teks sosial yang merepresentasikan interaksi budaya dalam masyarakat dimana film tersebut diproduksi dan dikonsumsi. Sebagai teks sosial, film tidak dimaknai sebagai bentuk ekspresi seni pembuatnya.
Film merupakan produk yang dihasilkan melalui interaksi yang kompleks dan dinamis dari berbagai elemen pendukung dalam proses produksi, distribusi, maupun eksibisinya (Irawanto, 1999: 13). Pendapat tersebut sejalan dengan definisi teks yang digagas Roland Barthes. Dalam karyanya yang berjudul “Image, Music, Text”, Barthes (1977: 46) menyebutkan teks bukanlah sebaris kata yang memaparkan satu makna atau pesan si pengarang. Teks merupakan ruang multidimensi dimana berbagai tulisan tentang beragam budaya berbaur dan saling berbenturan.
Gagasan film sebagai produk budaya dan praktik sosial juga disampaikan oleh Timothy Corrigan dan Patricia White (2004: 20) dalam karyanya yang berjudul “The Film Experience an Introduction”. Corrigan dan White menyebutkan bahwa berbagai praktik yang dilakukan dalam pembuatan film tidak hanya terkait persoalan artistik dan komersial. Film terkait erat dengan persoalan budaya dan sosial di mana makna dan nilai dihasilkan. Makna cerita yang dituturkan dalam film dihasilkan dari kombinasi berbagai elemen, seperti gambar, cerita, dan suara. Film juga dinilai sebagai kreativitas hybrid yang merupakan perpaduan antara realisme, fantasi, seni dan hiburan. Seni sendiri menurut Chris Barker dan Emma A. Jane juga bukan salinan peristiwa yang ada di dunia, melainkan sebuah representasi konstruksi sosial (2016: 54).
Sebagai produk budaya dan praktik sosial, Turner (1999: 48) menegaskan bahwa kehadiran film tidak bisa dilepaskan dari praktik representasi – sebuah proses sosial yang menciptakan citra, suara, dan tanda – untuk memberikan gambaran makna budaya. Pendapat tersebut diperkuat oleh Robert P. Kolker (2015: 304) dalam bukunya yang berjudul “Film, Form, and Culture”. Kolker menyebutkan bahwa “Film and other mass media offer a place of entry and participation in the imaginative representations of the world”. Oleh karena itu, sebagai sebuah representasi, film hanya bekerja menampilkan realitas budaya yang belum tentu merefleksikan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Terkait hal ini, Turner (ibid: 152) menjelaskan:
Film does not reflect or even record reality; like any other medium of representation, it constructs and ‘represents’ its pictures of reality by way of the codes, conventions, myths, and ideologies of its culture as well as by way of the specific signifying practices of the medium.
Mengacu pendapat Turner di atas, Irawanto (1999: 1) menjelaskan bahwa makna film sebagai representasi dari realitas masyarakat berbeda dengan film sebagai refleksi dari realitas. Sebagai refleksi dari realitas, film sekadar memindah realitas ke layar lebar tanpa mengubah realitas itu sendiri. Sementara itu, sebagai representasi dari realitas, film membentuk dan menghadirkan kembali realitas berdasarkan kode-kode, konvensi, dan ideologi dari kebudayaannya.
Pembacaan film sebagai praktik representasi, menurut Turner (1999: 153-156) pada akhirnya memfokuskan pada hubungan antara representasi film dan ideologi. Dalam konteks ini, Turner menekankan pada pendekatan kontekstual yang cenderung menganalisis budaya, politik, institusi, hingga industri yang berperan dibalik produksi film, bukan sekadar sudut pandang tekstual yang memfokuskan pada perspektif fungsi budaya yang tersaji dalam sebuah film. Dalam pendekatan kontekstual, kehadiran film dinilai tidak bisa dilepaskan dari kebijakan budaya, intervensi pemerintah, produksi-distribusi, praktik komersial, dan juga institusi publik. Film, kemudian, baik sebagai sistem representasi maupun sebagai struktur naratif menjadi situs yang kaya bagi analisis ideologis.
Turner mencontohkan bahwa lembaga film memiliki kepentingan politik yang pada akhirnya menentukan film apa yang dibuat dan layak dilihat. Selain itu, pengaturan dan pengendalian definisi seni dan sastra oleh apparatus negara juga bersifat hegemonik yang berkontribusi terhadap produksi film yang berbasis pada sudut pandang dominan. Dalam konteks Indonesia misalnya, kondisi tersebut ditemukan pada sejumlah film yang sumber pendanaannya dari lembaga-lembaga negara, seperti Danais Yogyakarta. Berbagai pandangan Turner tersebut berkelindan dengan pendapat Commoli dan Norboni (dalam Kauvaros, 2008: 377) yang mengatakan bahwa film adalah produk ideologis karena produksi film selalu terkait dengan ideologi penciptanya.
Meskipun ideologi menjadi faktor penting yang turut mempengaruhi produksi film, namun Turner (1999: 152) melihat hubungan antara film dan ideologi kebudayaan bersifat problematis. Di satu sisi film merupakan produk dari struktur sosial dan budaya, namun di sisi lain film juga membentuk dan mempengaruhi struktur tersebut. Turner mengatakan “Just as film works on the meaning systems of culture—to renew, reproduce, or review them—it is also produced by those meaning systems”. Kutipan tersebut menjelaskan bahwa film bekerja pada sistem-sistem makna kebudayaan untuk memperbaharui, mereproduksi, atau mereviewnya, ia juga diproduksi oleh berbagai sistem makna tersebut.
Mengacu pendapat Turner tersebut, Irawanto (1999: 19) menjelaskan bahwa posisi film sesungguhnya berada dalam tarik ulur dengan ideologi kebudayaan dimana film itu diproduksi. Bagaimanapun, ini menunjukkan bahwa film tidak pernah otonom dari ideologi yang melatarinya