Representasi Subjek Perempuan dalam Film
Sebagai produk budaya dan praktik sosial, film memiliki arti penting bagi representasi citra perempuan. Teresa de. Lauretis (1984: 38) dalam bukunya Alice Doesn’t: Feminism, Semiotics, and Cinema menyebutkan “…cinema works most effectively as an imaging machine, which by producing images (of women or not of women) also tends to produce woman as image”. Kutipan tersebut menegaskan bahwa film merupakan sarana yang sangat efektif dalam membentuk citra perempuan. Meskipun demikian, representasi citra perempuan yang ditampilkan dalam film seringkali justru bersifat negatif dan mendistorsi peran perempuan.
Seperti dikatakan Betty Friedan (1963) bahwa dalam teks media, laki-laki direpresentasikan lebih baik secara kualitatif dan kuantitatif. Pendapat tersebut diperkuat oleh Claire Johnston dalam Jackson dan Jones (2009: 368) yang mengatakan dalam suatu ideologi yang seksis dan sinema yang didominasi laki-laki, perempuan seringkali ditampilkan sebagaimana ia tampil untuk laki-laki. Perempuan ditampilkan sebagai potongan gambar dalam film, tetapi perempuan sebagai perempuan sendiri seringkali tidak hadir. Perempuan dalam film berfungsi sebagai tanda, tetapi tanda tersebut bukan didasarkan pada realitas kehidupan perempuan.
Pendapat senada juga disampaikan Laura Mulvey (dalam Sassatelli, 2011: 132) yang mengatakan bahwa tubuh perempuan yang beredar dalam gambar sangat berbeda dengan tubuh perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Citra perempuan dalam periklanan dan film misalnya, tidak selalu mengacu pada perempuan dalam kehidupan sebenarnya, tetapi didasarkan pada citra yang dapat diedarkan sebagai bagian dari komoditas budaya. Lebih lanjut Mulvey (1989: 15) dalam tulisannya “Visual Pleasure and Narrative Cinema” menegaskan bahwa tanda perempuan dalam film adalah tanda yang dibentuk oleh dan untuk suatu budaya patriarkal, yang memungkinkan laki-laki untuk menuntaskan fantasi dan obsesinya, dengan memaksakan fantasi dan obsesi tersebut pada citra perempuan yang bungkam, namun masih terikat pada posisi perempuan sebagai pembawa makna, bukan pencipta makna. Berbagai perspektif di atas menunjukkan bahwa representasi perempuan dalam film sangat bias gender.
Representasi subjek perempuan dalam film yang bias gender tersebut tidak terlepas dari keberadaan media sebagai produk ideologis. Stuart Hall dalam sebuah video kuliahnya yang berjudul Represenatation and the Media (Jhally, 2005: 3) meyakini bahwa berbagai pesan yang dikomunikasikan oleh media bersifat kompleks dan terkait erat dengan relasi kuasa dan kepentingan ideologis dalam konteks historis tertentu. Lebih lanjut Hall (dalam Jhally, 2005: 6) menjelaskan bahwa ketika media memberi gambaran tentang suatu topik yang mewakili orang, peristiwa, dan bahkan fakta, ada distorsi antara objek sebenarnya dengan apa yang direpresentasikan di media. Sebab, representasi bukanlah praktik yang netral dan bebas nilai, karena praktik produksi makna dalam representasi selalu melibatkan upaya seleksi, reduksi, penambahan, pembingkaian, dan berbagai tindakan lainnya (Noviani, 2020: 70).
Hall (2003: 15) menjelaskan, “representation means using language to say something meaningful about, or to represent, the world meaningfully, to other people.” Representasi merupakan bagian penting dari sebuah proses di mana makna diproduksi dan dipertukarkan diantara anggota budaya. Proses produksi dan pertukaran makna tersebut melibatkan penggunaan bahasa, tanda, dan gambar. Dalam praktik representasi, bahasa merupakan alat penting untuk menyampaikan pemikiran, gagasan, dan perasaan dalam suatu lingkup budaya. Representasi melalui bahasa menjadi aspek sentral dalam proses produksi makna. Hall (2003: 17) mengatakan “representation is the production of meaning of the concepts in our minds through language”. Bahasa dalam praktik representasi tidak hanya berupa ujaran dan tulisan semata. Representasi juga melibatkan bahasa dalam bentuk lain, seperti suara, citra visual, ekspresi wajah, gesture, emoji, dan juga fashion (2003: 19). Beragam bahasa tersebut digunakan secara luas dalam media, terutama film untuk memproduksi sekaligus mengkomunikasikan makna kepada subjek pemirsanya.
Untuk melihat peran bahasa dalam praktik representasi, Hall (2003: 25) menggunakan pendekatan konstruksionis. Menurutnya bahasa tidak sekadar bersifat reflektif yang bersumber dari makna yang melekat pada objek material semata. Bahasa juga tidak bekerja seperti cermin yang hanya menangkap dan menampilkan kembali makna yang ada. Selain itu, makna bahasa juga tidak bisa hanya didasarkan pada maksud pembicara, karena penggunaan bahasa mengacu pada aturan yang disepakati bersama dalam lingkup sosial. Dalam kaitan ini, Hall (dalam Jhally, 2005: 6) menegaskan
The notion of representations is the idea of giving meaning. So the representation is the way in which meaning is somehow given to the things which are depicted through the images or whatever it is, on screens or the words on a page which stand for what we’re talking about.
Mengacu kutipan tersebut, representasi pada dasarnya merupakan praktik pemberian makna terhadap sebuah objek atau peristiwa melalui gambar di layar ataupun kata-kata yang kita ucapkan. Sebagai praktik pemberian makna, representasi melibatkan aktor sosial yang mengkonstruksi makna berdasarkan konsep budaya yang dimilikinya.
Sejalan dengan pendapat Hall, Rosemarie Buikema juga memberikan perhatian tersendiri terhadap peran bahasa dalam ruang representasi, khususnya terkait representasi perempuan. Dalam tulisannya yang berjudul “The Arena of Imaginings: Sarah Bartmann and the Ethics of Representation (2009: 72), Buikema menjelaskan language can be a means of making present whatever is absent. Menurut Buikema, ketika perempuan hadir di ruang representasi, hadir saja tidak cukup karena representasi tidak hanya persoalan hadir atau tidak hadir. Terkait hal ini, Noviani (2020: 75) menjelaskan bahwa bahasa adalah alat untuk membuat sesuatu yang sebelumnya absent menjadi present. Oleh karena itu, Noviani (2020: 75) berpendapat, kita perlu memastikan; siapa yang membicarakan perempuan, bahasa seperti apa yang digunakan untuk membicarakan perempuan, dalam konteks apa perempuan dihadirkan, dan dalam posisi apa perempuan dihadirkan. Analisis tersebut menjadi penting untuk melihat representasi subjek perempuan dalam film. Kita tidak bisa bersikap taken for granted berdasarkan apa yang tersaji di layar film, sebagaimana makna yang dikehendaki oleh pihak produser dan sutradara film semata.
Representasi perempuan dalam film tidak semata terkait persoalan bahasa. Film sebagai produk budaya dan praktik sosial juga terkait erat dengan wacana pihak-pihak yang memproduksi film itu sendiri. Oleh karena itu, Michel Foucault (dalam Hall, 2003: 43) melihat persoalan representasi sebagai produksi pengetahuan melalui wacana dan praktik diskursif, bukan sekadar melalui bahasa. Foucault menegaskan, “nothing has any meaning outside of discourse…….the concept of discourse is not about whether things exist but about where meaning comes from (ibid: 45).” Pendapat tersebut menegaskan bahwa makna suatu objek tidak bisa dilepaskan dari wacana yang melingkupinya.
Menurut Foucault (dalam Hall, 2003: 43), konstruksi makna dalam praktik representasi berkaitan erat dengan gagasan tentang kekuasaan dan pengetahuan, regime of truth, produksi subjek, dan pendefinisian subjek dalam wacana. Lebih lanjut Foucault (dalam Hall, 2003: 43) menjelaskan bahwa wacana mengkonstruksi objek melalui tiga cara, yaitu melalui distingsi antara linguistik dan praktik, pihak yang memiliki otorisasi memberi makna, dan pengklafikasian objek dalam konteks tertentu.
Selain terkait dengan bahasa dan wacana, representasi subjek perempuan dalam film merupakan produk dari teknologi gender. Teresa de Lauretis (1987: 9) dalam bukunya yang berjudul Technologies of gender; essay on theory, film, and fiction menyebutkan “the construction of gender is the product and the process of both representation and self-representation”. de Lauretis (1987: 10) menjelaskan wacana gender yang hegemonik telah menempatkan perempuan pada dua jenis subjek, yaitu Woman (dengan huruf kapital dan tunggal) dan women (dengan huruf kecil dan jamak). The Woman merupakan figur yang selalu muncul di ruang representasi atau space of representation yang bersifat male-dominated. Figur ini merupakan fictional construction dan diposisikan sebagai objek yang dikonstruksi dan diimajinasikan oleh wacana dominan. Kehadiran the Woman dalam bingkai representasi adalah untuk mengajak women yang merupakan subjek sosial yang riil agar meyakini dan mengikuti bentuk femininitas ideal dan tunggal dengan menafikan adanya heterogenitas subjek perempuan.
Meskipun tidak berada di ruang representasi, eksistensi figur women tidak berada di luar wacana dominan. Mereka menempati ruang space off, sebuah ruang yang berada di margin wacana hegemonik dan diantara celah institusi (1987: 26). Meminjam istilah teori film, de Lauretis (1987: 26) menjelaskan space off sebagai “the space not visible in the frame but inferable from what the frame makes visible”. Mereka (women) diakui keberadaannya dan selalu dibicarakan, namun tak terlihat dan juga tak terdengar di ruang representasi. Oleh karena itu, perlu ada upaya-upaya tertentu untuk menghadirkan mereka yang berada di ruang space off agar masuk ke dalam ruang representasi. Untuk mewujudkan hal tersebut, de Lauretis (1987:26) menawarkan alternatif sinema avant garde. Menurutnya,
avant-garde cinema has shown the space-off to exist concurrently and alongside the represented space, has made it visible by remarking its absence in the frame or in the succession of frames, and has shown it to include not only the camera (the point of articulation and perspective from which the image is constructed) but also the spectator (the point where the image is received, re-constructed, and re-produced in/as subjectivity)
Pendapat tersebut di atas menunjukkan bahwa melalui sinema avant garde dimungkinkan munculnya women sebagai subjek sosial yang riil terlihat bersanding dengan Woman yang difigurkan di ruang representasi. Upaya ini sangat memungkinkan dilakukan pada film-film yang diproduksi bukan untuk tujuan komersil yang notabene didanai oleh negara, seperti yang dilakukan oleh pemerintah DIY melalui dana keistimewaan.