Pembelajaran Crisis Management dan Crisis Communication United Airlines Breaks Guitar & The Tylenol Case
United Airlines Breaks Guitar
United Airlines Break Guitars merupakan lagu yang mengungkapkan kekecewaan musisi Kanada, Dave Carrol atas kerusakan gitar yang dialaminya, saat terbang menggunakan pesawat United Airlines. Dave Carrol mengkomplain kejadian yang dialaminya, namun tidak mendapat respon baik dari United Airlines. Lagu tersebut di posting di youtube dan mendapat respon sangat baik dari pemirsa, hingga mencapai angka jutaan viewers.
Dari sudut pandang ilmu komunikasi, ada dua pembelajaran yang bisa diambil dari kasus tersebut. Pembelajaran pertama terkait manajemen issue yang tidak dilakukan dengan baik sehingga eskalasi menjadi krisis. Pembelajaran kedua adalah pemanfaatan media sosial sebagai sarana pembentukan opini publik. Regester dan Larkin (2015, p. 43) mengatakan,
An issue represents a gap between corporate practice and stakeholder expectations. In other words, an emerging issue is a condition or event, either internal or external to the organization, that if it continues will have a significant effect on the functioning or performance of the organization or on its future interests.
Jika dikaitkan dengan teori tersebut, dalam kasus ini terdapat gap antara harapan Dave Carrol yang menginginkan tanggungjawab pihak United Airlines atas kerusakan gitarnya, di sisi lain pihak United Airlines tidak menanggapi hal tersebut dengan baik. Akibatnya, Dave mencari penyaluran lain untuk mengungkapkan kasusnya, yaitu dengan membuat lagu yang diposting di media sosial YouTube. Tindakan tersebut mendapat animo luar biasa dari publik, terbukti video yang diposting 6 Juli 2009 ditonton 150.000 orang pada hari pertama penayangan. Angka viewer terus beranjak naik hingga puluhan juta viewers.
Dalam kasus ini, sosial media menjadi sarana sangat efektif untuk membeberkan buruknya pelayanan konsumen. Seperti yang dikatakan Austin, Liu dan Jin (2017, p. 58),
Social media speed the development of critical situations because they enable rapid sharing of information on a hugely unimaginable scale in real time. People use social media to seek updated information on critical situations, to share experiences, and to get emotional support.
Munculnya informasi tersebut di media sosial hingga menjadi issue di berbagai belahan dunia menunjukkan United Airlines tidak menjalankan manajemen issue dengan baik. Regester dan Larkin menjelaskan “issues management is a proactive, anticipatory and planned process designed to influence the development of an issue before it evolves to a stage which requires crisis management” (2015, p. 68). Akibat tidak tertanganinya issue tersebut dengan baik, krisis pun tidak bisa dihindari.
Krisis tersebut mengakibatkan kerugian baik finansial maupun reputasi yang dialami oleh maskapai ini. Harga saham United Airlines turun hingga 10% atau setara dengan nilai 180 juta USD. Tidak hanya itu, di mata publik slogan “fly the friendly skies” yang selama ini dipakai untuk membangun reputasinya serta merta berubah. Publik mengubah slogan tersebut dengan “United Breaks Guitars”. United Airlines terbukti gagal dalam menghandle loyalitas konsumen. Menurut Fearn-Bank (2010, p.30) salah satu tujuan dasar bisnis adalah membangun dan mendapatkan loyalitas customer, yang salah satu caranya adalah handle complaints swiftly.
Kejadian tersebut juga menunjukkan bahwa United Airlines tidak memiliki manajemen krisis yang baik dan berimbas pada tidak adanya komunikasi krisis yang dilakukan dengan baik pula. Hal ini bisa dilihat dari lambatnya penanganan krisis. Bahkan pihak United Airlines berupaya mengevaluasi peristiwa tersebut sebagai pembelajaran setelah 9 bulan dari kejadian. Padahal komunikasi krisis seharusnya dilakukan sebelum, selama, dan setelah sebuah peristiwa negatif terjadi. Fearn-Bank mengatakan crisis communications is the dialog between the organization and its public(s) prior to, during, and after the negative occurrence. The dialog details strategies and tactics designed to minimize damage to the image of the organization (2010, p. 2)
The Tylenol Case
Kasus Tylenol yang dialami Johnson & Johnson merupakan contoh penanganan krisis yang tepat dan berhasil mengembalikan reputasi perusahaan tersebut. Johnson & Johnson adalah perusahaan manufaktur yang bergerak dalam pembuatan dan pemasaran obat-obatan dan alat kesehatan. Perusahaan ini terkena badai krisis sejak tahun 1982.
Krisis bermula dari adanya lima korban meninggal sesaat setelah mengkonsumsi Tylenol di area Chicago. Tylenol adalah obat rasa nyeri yang diproduksi oleh McNeil Consumer Product Company yang kemudian menjadi bagian anak perusahaan Johnson & Johnson. Pemberitaan tersebut muncul terkait insiden meninggalnya lima orang yang diindikasikan akibat konsumsi tylenol yang mengandung sianida. Tragedi lebih parah bahkan dilaporkan bahwa sebanyak 250 kematian dan penyakit di berbagai bagian Amerika Serikat dikaitkan dengan kapsul tersebut. Kejadian tersebut menjadi berita hangat di media cetak dan elektronik.
Setelah melalui pengujian terhadap 8.000.000 tablet yang telah diproduksi, Johnson & Johnson menemukan bahwa tylenol yang terkontaminasi hanya di wilayah Chicago dengan jumlah tidak lebih dari 75 butir kapsul. Pihak Johnson & Johnson meyakini bahwa Tylenol terkontaminasi sianida setelah Tylenol keluar dari pabrik dan bukan terjadi saat proses produksi. Namun demikian, pihak Johnson & Johnson tidak fokus pada investigasi penyebab krisis dan perusahaan lebih memilih fokus pada upaya penyelamatan korban sebagai tindakan pertama. Dalam menangani krisis, Regester dan Larkin (2005, p. 172) menegaskan “talk about people first, then the environment and property and, finally money”.
Upaya tersebut terlihat dari langkah yang diambil Johnson & Johnson. Meski hanya sebagian kecil Tylenol yang terkontaminasi sianida, namun pihak Johnson & Johnson tetap menarik seluruh produknya secara nasional sebagai upaya merespon kondisi yang lebih buruk dan antisipasi ketakutan konsumen. Perusahaan mengambil risiko kerugian yang cukup besar dibanding membiarkan lebih banyak jatuh korban. Langkah lain yang diambil perusahaan adalah membuat kemasan tylenol yang lebih aman meski harus menambah biaya. Johnson & Johnson juga menunjukkan rasa tanggungjawabnya dengan menanggung biaya pengobatan para korban keracunan.
Jika dikaitkan dengan teori strategy perbaikan image yang disampaikan Benoit dalam Ndlela (2019, p.102) apa yang dilakukan Johnson & Johnson masuk pada kategori corrective action dan mortification, dimana perusahaan langsung bertindak menyelesaikan masalah dan meminta maaf atas peristiwa yang sudah terjadi. Permintaan maaf tersebut sangat jelas disampaikan CEO Johnson & Johnson, Bill Weldon saat wawancara TV dengan senior editor, Geof Colvin. Dalam wawancara tersebut Weldon secara langsung meminta maaf dan menyesal atas insiden yang terjadi. Menurut Seeger dan Sellnow dalam Ndlela (2019, p. 100) komunikasi apology dilakukan untuk menjelaskan apa yang terjadi sekaligus meningkatkan dan memperbaiki reputasi yang rusak akibat krisis.
Dalam menangani krisis Tylenol, Johnson & Johnson menerapkan respon krisis dengan sangat baik. Coombs mengatakan “crisis responses are designed to protect or reduce the damage toward the organization that is caused by the crisis episode, and crisis responses are goal rooted, in that they are used to influence” (2010, p. 222). Respon baik tersebut tidak terlepas dari implementasi credo yang dianutnya. Credo yang menjadi fundamen manajerial dan petunjuk operasi tersebut diciptakan pertama kali oleh Robert Wood Johnson tahun 1943. Dengan dasar filosofi credo inilah Johnson & Johnson menempatkan customers first dan stockhlderr last.
Semua langkah yang diambil perusahaan ini terbukti mampu mengembalikan kepercayaan publik kepada perusahaan. Tylenol pun kembali diterima di pasaran. Manajemen situasi krisis sukses dilakukan oleh Johnson & Johnson. Regester dan Larkin (2005, p. 163) mengatakan,
Successful management of a crisis situation is about recognizing you have one, taking the appropriate actions to remedy the situation, being seen to take them and being heard to say the right things. Companies often misclassify a problem, focusing on the technical aspects and ignoring issues of perception.