Teknokrat yang Humanis Pandangan dan Harapan DR. Ir. H. Harry Miarsono (Sony)
Sangatta Kota Tercinta
KESEDIHAN tidak bisa disembunyikan dari wajah Harry Miarsono, ketika ia harus mengucapkan kata selamat jalan Sangatta. Meski demikian, sosok yang lebih akrab dipanggil Sony itu, perlahan dan runtut terus membacakan sambutan perpisahannya. Ia pun mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada satu persatu pejabat Kutai Timur, petinggi KPC, sahabat-sahabatnya di berbagai organisasi sosial, keagamaan, pemuda, olah raga, dan LSM, yang pernah dibinanya di Kutai Timur.
Acara perpisahan yang dihadiri oleh segala komponen masyarakat itu menandai berakhirnya tugas Sony sebagai GM Divisi External Affairs and Sustainable Development di tambang batubara terbesar di dunia, PT Kaltim Prima Coal (KPC). Meski demikian, perpisahan itu tidak berarti menandai lepasnya ikatan batin tokoh kelahiran Semarang, 1 Mei 1960 dengan Sangatta. “Bagi saya, Sangatta sudah seperti rumah sendiri. Bahkan saya menganggap rumah saya di Jakarta sebagai rumah kedua setelah Sangatta,” demikian yang dituturkannya. Sony juga menggambarkan kedekatan dirinya dengan kota yang kaya sumber daya alam ini, bagai pohon yang sudah menyatu dengan akarnya.
Karena kedekatan itu pula, penerima beasiswa Fulbright saat meraih gelar Doctor of Philosophy (Ph.D), dari University of Cincinnati, Amerika Serikatitu bertekad akan kembali lagi ke Sangatta untuk mendedikasikan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya. “Perpisahan ini hanyalah sementara, karena suatu hari nanti saya ingin kembali ke Sangatta, untuk bersama masyarakat setempat membangun kota tercinta ini khususnya, dan Kutai Timur pada umumnya,” tekad Sony penuh percaya diri.
Tekad ini semakin menandai kecintaan sosok yang rendah hati itu terhadap bumi Sangatta yang telah memberinya kesempatan berkarya dan berkembang bersama masyarakat. Ibarat pepatah, dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung, ia pun selalu menempatkan dirinya menjadi bagian dari masyarakat setempat, yang siap berkarya demi kesejahteraan daerah yang ditempatinya. Filosofi inilah yang menjiwai Sony hingga ia begitu dekat dengan Sangatta meski bukan kota kelahirannya.
Multi Talenta
KESUKSESAN seseorang dalam memimpin tidak terlepas dari ilmu pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman yang dimilikinya. Modal tersebut akan menjadi kekuatan yang sangat dahsyat manakala dibarengi dengan kejujuran dan integritas pemimpin itu sendiri. Sebagai seorang akademisi yang sudah banyak makan asam garam, Sony sangat menyadari hal itu. Berbagai ilmu yang ia peroleh, baik yang berasal dari pendidikan formal maupun non formal dimanfaatkannya, hingga ia dipercaya untuk menjabat beberapa posisi penting dan strategis di berbagai perusahaan kelas dunia.
Tahun 1998-2003, Sony dipercaya menjadi Town Manager diPT Freeport Indonesia, yang salah satu tugasnya menangani perencanaan dan pengembangan Kuala Kencana di Kabupaten Mimika, Papua sebagai salah satu bagian dari kawasan pertambangan PT Freeport Indonesia.
Selama memegang jabatan tersebut, Sony juga harus mampu membuat perencanaan dan pengembangan tata kota yang baik, termasuk pemeliharaan dan operasional seluruh asset kota yang mencapai US$280 nilainya. Bagi peraih gelar Master of Architecture dari University of Wisconsin-Milwaukee, Amerika Serikattersebut mengembangkan tata kota tambang tidaklah mudah. Bahkan tugas berat itu menjadi tantangan tersendiri yang dijalankan penuh tanggungjawab. Sony pun mampu menyelesaikan tugas tersebut dengan baik. Tidak mengherankan jika ia dipercaya mengemban jabatan tersebut hingga lima tahun lamanya sebelum ia memutuskan untuk mencari pekerjaan di tempat lain.
Tidak hanya itu, selama mengemban amanah sebagai Town Manager, PT Freeport Indonesia, Sony juga berhasil membuat master plan pembangunan Kuala Kencana dan Kabupaten Mimika. Keseriusan dan kesuksesannya mengembangkan tata kota tersebut nampak jelas tertuang dalam bukunya yang berjudul “Membangun Mimika: Bagaimana Mimika Menjadi Pemimpin Dalam Pembangunan Wilayah di Papua”. Selain menjadi bukti kepiawaian dirinya dalam menata sebuah kawasan kota, buku tersebut telah menandai kepedulian dan kecintaan bapak tiga anak ini terhadap pembangunan wilayah.
Keberhasilannya membuat tata kota di Kuala Kencana secara fisik tidak membuat sosok yang gemar menulis ini berpuas diri. Memang, menata sebuah kota yang lebih berpijak pada penataan secara fisik bisa jadi bukan hal sulit bagi seseorang yang sudah menekuni disiplin ilmu terkait. Namun, persoalannya jadi berbeda ketika pembangunan tersebut harus dikaitkan dengan pola pengembangan masyarakat sekitarnya.
Tidak mengherankan jika Sony akhirnya banyak melakukan studi agar bisa mengkaitkan kedua model pembangunan tersebut. Kegemarannya melakukan studi tertentu tak terlepas dari sifatnya yang selalu ingin membuat perencanaan matang yang dikaji secara ilmiah sebelum program digulirkan. Pengalamannya menjabat Executive Director pada lembaga Center for Architecture and Urban Studies (CAUS) Jakarta pada tahun 1990-1994 berdampak signifikan terhadap kebiasaan dan pola pikir Sony dalam melaksanakan tugas.
Pada akhirnya berbagai studi dan pengalamannya selama di Papua, menjadi bekal yang sangat berarti dalam menunjang karir sosok yang gemar membaca itu. Ini terbukti dari berbagai langkah dan terobosan yang ia ciptakan ketika bergabung dengan KPC, sebuah perusahaan tambang yang terletak di kabupaten Kutai Timur, tepatnya di Sangatta, pada awal tahun 2003 hingga pertengahan tahun 2009.
Beruntung, di perusahaan ini Sony dipercaya menempati posisi sebagai GM External Affairs and Sustainable Development (ESD), yang memungkinkan dirinya beserta staf yang dipimpinnya merumuskan program yang berbasis pada pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Studi tentang persepsi masyarakat sekitar tambang yang dilakukan bersama dengan Universitas Mulawarman, yang notabenenya merupakan Perguruan Tinggi terkemuka dan terakui kredibilitasnya di wilayah Kalimantan Timur, menjadi dasar tersendiri dalam penyusunan program berbasis kebutuhan masyarakat itu.
Kesederhanaan dan pola pergaulannya yang tidak mengkotak-kotakkan masyarakat perusahaan dan penduduk lokal juga nampak pada pendapatnya terkait penataan Swarga Bara, sebuah kawasan pemukiman dan perkantoran KPC, sebagai kota terbuka. “Pemisahan kawasan perusahaan menjadi area eksklusif yang tidak bisa dimasuki masyarakat luar, bisa menimbulkan persoalan sosial di kemudian hari,” paparnya.
Agaknya, Sony tidak terlalu mengalami kesulitan untuk menyampaikan pendapat dan harapannya. Sebagai Ketua Dewan Pembina Yayasan Sangatta Baru (YSB), sebuah yayasan yang menjadi kepanjangan tangan perusahaan dalam merencanakan dan membangun kota Swarga Bara, Sony memiliki tempat tersendiri untuk menyampaikan ide-idenya. Perumahan karyawan pun berangsur-angsur diarahkan untuk lebih membaur dengan masyarakat sekitar, dengan meninggalkan kesan eksklusifitas tertentu. Salah satunya adalah dengan menyelenggarakan Hiburan Malam Minggu (HMM) di town hall yang menjadi ajang pertemuan antara warga Sangatta dan Swarga Bara.
Alhasil, keberpihakannya kepada masyarakat membentuk karakter Sony sebagai sosok yang mampu memadukan dirinya tidak hanya sebagai ‘boss’ tetapi juga sebagai ‘pemimpin’, yang siap berbagi untuk kepentingan masyarakat. Tidak mengherankan, meski notabenenya sebagai karyawan perusahaan, ia terus berupaya memutuskan segala sesuatu yang terbaik bagi perusahaan tempatnya bekerja dan masyarakat sekitar sebagai tetangga yang baik bagi perusahaan.
Mimpi-mimpi Sony semakin mudah direalisasikan manakala UU No 40 tahun 2007 yang mengatur keharusan perusahaan melaksanakan tanggungjawab sosial perusahaan (CSR) digulirkan pemerintah. Ide-ide pengembangan masyarakat sekitar tambang pun terus diterapkan bersama staf-stafnya di divisi yang dipimpinnya. Semua itu dilakukan dengan satu tujuan terciptanya kesejahteraan masyarakat sekitar tambang, yang berujung pada terciptanya ‘social license’ bagi operasional perusahaan.
CSR dan Pemberdayaan Masyarakat
BERBICARA tentang CSR, tidak bisa dilepaskan dari sosok Sony. Pemahamannya terhadap konsep kedermawanan sebuah perusahaan yang dikemas dalam bentuk tanggungjawab sosial perusahaan tidak diragukan lagi. Sebagai GM ESD, Sony dituntut mampu membuat model CSR yang diterapkan dalam bentuk program-program kemasyarakatan yang tepat sasaran.
Bagi Sony yang telah berhasil meraih gelar S-2 Master of Community Planning, dari University of Cincinnati ini, membuat model CSR yang tepat tentu saja bukan hal baru. Bersama para stafnya, ia merumuskan apa yang disebut sebagai tujuh program unggulan. Ketujuh program tersebut mencakup pengembangan agribisnis, kesehatan dan sanitasi, pendidikan dan pelatihan, pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah KUKM), peningkatan infrastruktur masyarakat, pelestarian alam dan budaya, dan penguatan kapasitas masyarakat desa.
Program yang diorientasikan untuk kesejahteraan masyarakat sekitar tambang itu akhirnya terlaksana di beberapa kecamatan, seperti Sangatta Utara, Sangatta Selatan, Rantau Pulung dan Bengalon. Untuk memastikan berjalannya program, di sela-sela kesibukan kerja, tidak jarang Sony turun langsung ke tengah masyarakat. Kebiasaan turun ke bawah itu, semakin memposisikan Sony sebagai orang yang paham CSR baik secara konsep maupun pelaksanaan di lapangan dengan segudang problematikanya.
Kebijakan tujuh program unggulan itupun menuai pro dan kontra, seiring banyaknya persoalan yang dihadapinya ketika program dilaksanakan. Sebagian pihak menganggap bahwa konsep itu terlalu mengambil peran pemerintah dan membuka peluang ketidakmandirian masyarakat.
Selain itu, pandangan Sony yang menganggap lebih baik memberi kail dari pada memberi ikan, telah mengarahkan kebijaksanaan CSR tidak hanya bertumpu pada pembangunan fisik semata. Berbagai pelatihan yang sifatnya memberikan keterampilan untuk bekal usaha masyarakat digalakkan. Program ini justru dinilai kurang memberikan dampak nyata akibat masih tertumpunya pola pikir masyarakat terhadap hasil fisik ketimbang sebuah proses.
Kontroversi tersebut tidak membuat Sony menyerah. Baginya menyiapkan keterampilan akan memberikan bekal tersendiri kepada masyarakat jika tambang sudah tutup dikemudian hari. Untuk mensukseskan program, Sony bahkan mengumandangkan diri bisa dihubungi masyarakat 24 jam. Akibat kebijaksanaan komunikasi yang terlalu terbuka itu, praktis membuat waktu Sony tersita untuk urusan kerja dan masyarakat. Bahkan kondisi ini berimbas kepada para stafnya, yang terkadang harus terganggu di luar jam kerja.
Meski menuai kontroversi dan ada sementara pihak yang mempertanyakan keberhasilan tujuh program unggulan yang digagasnya, program CSR KPC terbukti telah menyentuh kebutuhan masyarakat yang paling mendasar. Bahkan berbagai penghargaan bidang CSR berhasil diperoleh perusahaan yang telah beroperasi sejak tahun 90-an itu. Beberapa penghargaan antara lain diberikan oleh Ikatan Akuntan Indonesia, Menko Kesra, Departemen Sosial, Kementerian Perumahan Rakyat, Metro TV, Corporate Forum on Community Development (CFCD), SGS Indonesia, dan lainnya.
Memang benar, program CSR KPC bukan semata keberhasilan seorang Sony. Namun demikian, tidak bisa dipungkiri keterlibatan tangan dingin sosok yang cukup menuai kontroversi sepanjang memimpin Divisi ESD itu, turut berkontribusi terhadap keberhasilan CSR KPC.
Menurut Sony, kesuksesan CSR sebuah perusahaan akan berdampak positif dan signifikan terhadap kinerja perusahaan tersebut. Untuk itu, ia berpendapat “program kemasyarakatan harus diorientasikan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar tambang. Kesuksesan program ini sekaligus menandai hubungan baik antara pihak perusahaan dengan tetangganya. Jika hubungan sudah tercipta dengan baik, maka social license to operate (ijin sosial untuk operasi) akan mudah didapat, yang akan berdampak pada kelancaran proses produksi,” demikian papar Sony terkait benang merah antara CSR, pemberdayaan masyarakat dan social license.
Pemikiran dan langkah-langkahnya dalam mengembangkan CSR telah menempatkan Sony sebagai salah satu sosok yang menjadi pusat perbincangan seputar CSR. Kesibukan Sony pun bertambah dengan banyaknya permintaan untuk menjadi pembicara di berbagai forum CSR baik dalam maupun luar negeri. Global CSR Forum, Singapore Asian Forum on CSR, Philippine, Asia Pasific CSR Conference, Singapore, GCG Conference, Singapore, dan Evan Marcus CSR, Singapore merupakan sebagain forum internasional yang pernah menghadirkan Sony sebagai pembicara seputar CSR, disamping forum-forum dalam negeri yang tak terhitung jumlahnya.
Selain itu, Sony juga memiliki pandangan tersendiri terhadap persoalan pemberdayaan masyarakat. Dalam pandangannya, pemberdayaan masyarakat merupakan suatu pendekatan pembangunan wilayah (regional development) yang memanfaatkan modal sosial (social capital) sebagai dasar utama dalam peningkatan ekonomi lokal. “Modal sosial perlu dibangun agar semakin kuat dan dapat mengubah perilaku masyarakat. Jika modal sosial sudah kuat, maka akan tercipta kebersamaan, kepedulian dan kemandirian yang pada akhirnya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi lokal yang sekaligus menjadi tulang punggung ekonomi rakyat,” katanya.
Lebih jauh Sony mengatakan kebijakan pemberdayaan masyarakat berorientasi kepada golongan ekonomi lemah, keadilan, transparansi dan tanggung jawab. Menurutnya, syarat utama untuk mewujudkan ekonomi rakyat berbasis pada pemberdayaan masyarakat adalah meningkatkan kelembagaan masyarakat yang mengakar dan mewakili kepentingan semua pihak, dan bukan kepentingan pribadi. Ia pun menambahkan, kelembagaan masyarakat yang kuat akan semakin meningkatkan kepercayaan diri (self confidence) masyarakat sehingga akan mampu bersaing dengan daerah lain.
Menatap Masa Depan Kutim
Sony memiliki pandangan yang lebih jauh dari sekedar persoalan CSR. Selama enam setengah tahun bersentuhan dengan masyarakat dan budaya daerah sekitar tambang, membuat Sony begitu peduli dengan pengembangan Kutai Timur ke depan. Sebagai pakar bidang pengembangan wilayah, dia sangat berharap daerah ini bisa dikembangkan lebih optimal. “Kutai Timur sangat kaya akan sumber daya alam (SDA), namun pengelolaannya masih bisa lebih dioptimalkan. Potensi pengembangan Kutai Timur sungguh luar biasa dibanding daerah-daerah lain di Indonesia. Sungguh beruntunglah masyarakat di daerah dengan kekayaan SDA ini,” demikian kesannya terhadap daerah yang begitu dicintainya.
Dalam pandangannya, kabupaten yang memiliki wilayah terpencar-pencar itu harus bisa menerapkan model pembangunan berkelanjutan yang terpadu (integrated sustainable development), yang menitik beratkan pada pengelolaan sumber daya alam baik yang tidak terbarukan (non-renewable resources) seperti pertambangan maupun yang terbarukan (renewable resources) seperti perikanan, pertanian dan perkebunan.
“Yang paling penting dalam model pembangunan berkelanjutan yang terpadu adalah tersedianya sumber daya yang memadai baik sumber daya alam, sumber daya manusia, maupun teknologi. Model ini akan memaksimalkan tiga aspek sekaligus yaitu aspek ekonomi, sosial dan lingkungan, dimana ketiganya saling berkaitan satu sama lain,” ungkap Sony.
Menurut Sony, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, agar pembangunan di Kutai Timur memberi nilai (added value) tambah terhadap kemajuan daerah ini, sekaligus kesejahteraan rakyatnya. Koordinasi antar instansi yang terkait dengan pengelolaan SDA seperti pertambangan dan energi, kehutanan, perkebunan, perikanan, pertanian dan tata ruang atau pertanahan sangat penting agar pengelolaan SDA tepat sasaran dan tidak tumpang tindih. Di matanya saat ini masih banyak terjadi tumpang tindih penggunaan lahan yang berpotensi konflik dan menghambat laju pembangunan.
Sony berharap informasi antar instansi terbuka dan transparan. Dengan transparansi ini diharapkan ada suatu informasi terpadu dan setiap warga negara termasuk investor dapat mempunyai akses ke informasi terkait. “Saat ini penyebaran informasi masih dibatasi dan dikuasai oleh pihak-pihak tertentu yang mempunyai kepentingan. Padahal setiap orang memiliki hak yang sama untuk mendapatkan informasi,” jelasnya.
Berbicara tentang investor, Kutai Timur merupakan daerah yang sangat bergantung dengan investor dalam menjalankan proses pembangunannya. Sony pun mencoba berteori bahwa pengembangan wilayah, suatu daerah akan maju jika ada interaksi dengan daerah lain sehingga terjadi perdagangan. Oleh karena itu, sudah sepantasnya jika masyarakat Kutai Timur menggelar karpet merah untuk para investor, karena merekalah yang akan membantu mengembangkan wilayah ini.
Mengecewakan investor, menurut Sony tindakan yang kurang bijak. Sebab, mereka bisa pergi ke daerah lain jika sudah kecewa. Tidak menutup kemungkinan, penanganan investor yang tidak baik, bahkan akan begitu mudah terdengar oleh investor lain di seluruh dunia. “Kemajuan teknologi dan informasi membuat dunia ini begitu kecil, sehingga informasi di belahan bumi manapun akan begitu cepat tersebar,” tutur sosok yang sudah begitu akrab dengan dunia maya ini.
Dengan model pembangunan tersebut, mungkinkah Kutai Timur menjadi pelopor dalam pembangunan? Dengan tenang Sony menjawab, tidak ada yang tidak mungkin jika kita bisa mengelola pembangunan dengan baik. “Pengelolaan pembangunan dan pemerintahan secara efisien, kunci utama untuk mencapai hal tersebut,” katanya. Sony menambahkan, untuk mewujudkan efisiensi itu, salah satunya adalah dengan membentuk manajemen proyek terpadu yang mengelola proyek-proyek fisik secara terpadu. Pada akhirnya dengan adanya efisiensi diharapkan tidak terjadi lagi kebocoran-kebocoran.
Lebih jauh, Sony juga menyinggung tentang efisiensi tata kota Sangatta. Dalam pandangannya, pembangunan kota ini juga perlu dikelola secara efisien. Ia mengatakan “saat ini Sangatta berkembang dengan tanpa kendali. Saya merasakan bahwa masyarakat membangun tanpa ada koordinasi sehingga kota tidak tertata dan terpantau dengan baik. Banyak bangunan yang dibangun tanpa IMB. Penggunaan lahan juga tidak bisa optimal karena tidak ada sistem manajemen lahan. Hal ini sebagai akibat tidak diterapkannya peraturan bangunan dengan baik, bahkan terkesan tidak ada sistem monitoring pembangunan yang diterapkan.”
Namun, hal yang lebih mendasar dari segala perencanaan pembangunan itu menurut Sony adalah pengembangan infrastruktur. “Kita tidak akan bisa berbicara pembangunan yang efisien, kesejahteraan masyarakat yang memadai, jika jalan, air bersih dan listrik sebagai kebutuhan utama masyarakat belum terpenuhi,” tegasnya. Sosok yang pernah sukses mengembangkan kota Kuala Kencana dan Mimika di Papua itupun berharap dengan model pembangunan tersebut, Kutai Timur ke depan menjadi bumi impian tidak hanya bagi penduduk lokalnya, namun bagi siapa saja yang hadir di bumi ini.
Cinta Pendidikan
DUNIA pendidikan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan Sony. Baginya, menuntut ilmu adalah suatu keharusan. Oleh karenanya, selepas pendidikan S-1 bidang arsitektur di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta tahun 1986, Sony masih terus melanjutkan studinya hingga jenjang doktoral. Untuk mengabdikan ilmunya, ia pun memilih berkarya di jalur akademik. Tahun 1990-1992, Sony menjadi pengajar tetap di Universitas Diponegoro, Semarang dan pengajar paroh waktu di Universitas Mercu Buana dan Universitas Persada Indonesia, Jakarta antara tahun 1988-1994.
Kecintaannya terhadap dunia pendidikan, tidak hilang meski ia harus tinggal di kota kecil Sangatta. Sony selalu berupaya meluangkan waktunya demi kemajuan lembaga pendidikan yang ada di Sangatta, seperti Yayasan Pendidikan Prima Swarga Bara (YPPSB). Seringnya terlibat dalam berbagai kegiatan sekolah tersebut, membuat penerima beasiswa Fulbright untuk jenjang PhD (S-3) di Amerika Serikat itu begitu popular namanya.
Popularitas tersebut dibuktikan ketika Sony menang mutlak pada pemilihan ketua komite sekolah. Pemilih yang merupakan gabungan ribuan orang tua dan wali murid siswa TK, SD, dan SMP di bawah naungan YPPSB, seolah sepakat memilih Sony menjadi corong perantara orang tua murid dengan pihak sekolah, dengan mendudukannya pada jabatan Ketua Komite Sekolah YPPSB. Peristiwa tersebut menandai begitu kuatnya harapan orang tua kepada sosok yang satu ini untuk turut memajukan lembaga pendidikan yang ada.
Pentingnya pendidikan bagi putra ke enam dari pasangan HR. Soemitro dan almarhumah Soenarti itu, nampak dalam gayanya dalam mendidik putra putrinya. Kepada anak-anaknya ia selalu menekankan pentingnya ilmu pengetahuan yang merupakan modal utama dalam meraih masa depan. “Saya tidak ingin membekali anak-anak dengan harta yang kapan saja bisa habis. Bekal ilmu pengetahuan akan lebih langgeng sekaligus mampu membuat mereka lebih mandiri dalam menghadapi kerasnya kehidupan. Untuk itu, saya lebih suka berinvestasi melalui pendidikan ketimbang harta kekayaan,” tuturnya.
Karena prinsip itulah, Sony tidak segan mengeluarkan biaya besar untuk pendidikan putra putrinya. Angkasa Putra Miarsono (18 tahun) putra pertamanya, saat ini tengah kuliah tingkat dua di TAFE, Sydney, Australia. Sedangkan Samudra Perkasa Miarsono (16 tahun) putra keduanya tekun menuntut ilmu di Ryde Secondary Collage, Sydney, Australia kelas 11. Sementara putri semata wayangnya, Melati Bunga Miarsono (9 tahun) masih menuntut ilmu di SD IGM Palembang, tempat Sony bekerja saat ini sebagai Senior GM External Affairs di PT Barasentosa Lestari, sebuah perusahaan tambang batu bara.
Model pendidikan yang diterapkan kepada anak-anaknya, tidak terlepas dari pola asuh dan pola didik kedua orang tuanya. Sony terbiasa dididik disiplin dari kecil. Tidak mengherankan jika bocah kecil yang kerap menjadi juara kelas itu, mampu mengukir prestasi cemerlang sejak duduk dibangku Sekolah Dasar. Prestasi yang sangat membanggakan bagi kedua orangtuanya adalah terpilihnya Sony kecil sebagai siswa teladan tahun 1975.
Beranjak remaja, prestasi Sony semakin membanggakan. Tahun 1979 ketika masih berada di bangku SMA, Sony terpilih mengikuti program pertukaran pelajar (exchange student) AFS di Amerika Serikat. Kesempatan itu merupakan kali pertama penerbangannya keluar negeri. Prestasi demi prestasi yang diraihnya sejak kecil, bukanlah diperoleh secara kebetulan. Lebih tepatnya, semua itu diperoleh ‘by design’, dengan kerja keras, kedisiplinan, dan ketekunan, serta kecintaannya terhadap dunia pendidikan.
Cinta pendidikan dan senang berbagi ilmu pengetahuan, agaknya dua ungkapan yang paling pas untuk menggambarkan kecintaan laki-laki yang jauh dari kesan glamour itu, terhadap dunia pendidikan. Hobby ‘sharing’ pengetahuan yang dilakukannya disela-sela jam kerja, merupakan satu hal yang tidak bisa dilepaskan dari kebiasaannya. Bagi ratusan staf yang pernah menjadi bawahan mantan GM ESD, KPC itu, bukan hal aneh jika setiap akhir pekan menerima email pembelajaran dari bossnya. Dengan setia, Sony menyebarkan berbagai pengetahuan singkat baik terkait psikologi, manajemen, leadership, maupun sekedar ungkapan bijak yang syarat makna. Kini, pesan elektronik itu tidak pernah muncul lagi di akhir pekan, seiring kepergian pengirimnya.
Apakah hanya melalui media itu Sony berbagi ilmu? Jawabannya tentu saja tidak. Sosok lulusan terbaik di Jurusan Arsitektur UGM tahun 1986 itu, cukup paham, bagaimana cara berbagi pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya. Berbagai media pun ia manfaatkan demi satu tujuan, ilmu yang berguna. Karena itu pula, sosok yang senang berorganisasi ini tidak sampai hati menolak berbagai permintaan untuk menjadi pembina di berbagai organisasi, meski harus dijalankan di sela-sela kesibukan kerjanya.
Catat saja keterlibatan Sony di Yasayan Sangatta Baru (YSB), Koperasi Karyawan KPC, Komite Sekolah YPPSB, Periska, Dewan Riset Daerah (DRD), Himpunan Karya Tani Indonesia (HKTI), FKPPI, Yayasan Pembina Muslim Daarussalaam, Persatuan Sepakbola KPC, Badan Pembina Olah Raga (BAPOR) KPC, KNPI, Persikutim, dan Kagama yang kesemuanya bermuara di kota Sangatta. Melalui organisasi ini pula Sony mencoba berbagi pengetahuannya bagaimana manajerial yang pas dalam menjalankan roda organisasi.
Keterlibatannya di berbagai organisasi sosial tersebut semata-mata merupakan bentuk kecintaan dan kepeduliaanya terhadap pemberdayaan sosial, walaupun tidak tanpa konsekuensi. Baginya, setiap tindakan dan keputusan akan membawa konsekuensi tersendiri, terlepas dari benar atau salah pilihan tersebut. ”Yang terpenting bagi saya adalah, tindakan tersebut diambil berdasarkan keputusan matang, maka segala konsekuensi yang timbul termasuk hilangnya waktu untuk keluarga menjadi konsekuensi yang harus diterima dan dihadapi dengan bijak, ungkapnya.
Itu sebabnya, Sony selalu mempertimbangkan segala sesuatunya dengan matang, termasuk jika ia ingin beralih profesi suatu hari nanti. Suatu ketika, sempat terlintas di benak Sony untuk menjadi teknokrat yang dekat dengan rakyat, bukan lagi sebagai profesional yang terikat dengan segala kebijakan yang berlaku di sebuah perusahaan. Ia berharap, alih profesi tersebut lebih memungkinkan untuk mengabdikan ilmu pengetahuan yang dimilikinya sekaligus mengimplementasikan ide-ide pengembangan masyarakat yang terus menggelayuti pemikirannya. Tentunya, hal ini perlu ruang yang tepat, waktu dan proses, serta dukungan sekelilingnya
Tentang Poligami dan Gender
KETIKA poligami tengah marak dilakukan oleh sejumlah tokoh nasional hingga kyai kondang, pertanyaan menggelitik pun sempat mendarat kepada Sony. ”Akankah bapak melakukan poligami”? Nada pertanyaan itu wajar diarahkan kepadanya. Sebab, dilihat dari segi jabatan dan finansial yang dimiliki saat ini, sangat memungkinkan jika ia memang menghendakinya.
Menanggapi hal tersebut, jawaban diplomatis ia lontarkan. ”Saya sangat menghomati harkat dan martabat perempuan, dan saya tidak sampai hati kalau harus menyakiti hatinya,” tegasnya. Ia melanjutkan ”andai saja posisi dibalik, perempuan yang melakukan poliandri, saya kira laki-laki juga akan merasakan rasa sakit yang sama. Oleh karena itu, saya tidak ingin mengambil jalan poligami, karena saya tidak ingin menyakiti hati istri saya,” tegas Sony.
Ketidaksetujuan sosok yang hingga kini tetap setia dengan istri tercintanya, Maya Saadah, bukan semata persoalan menghormati persaan perempuan. Sebagai seorang ayah, Sony tidak ingin dirinya menjadi model yang kelak ditiru oleh anak-anaknya. ”Saya tidak ingin anak laki-laki saya memadu istrinya, atau sebelaiknya anak perempuan saya dimadu suaminya, hanya karena mereka mencontoh tindakan saya,” jelasnya.
Sosok yang mempersunting gadis kelahiran Serang, 4 April 1968 itu, juga tahu persis bagaimana harus berterima kasih kepada istrinya yang telah mendukung kesuksesan pendidikan dan karirnya. Maya Saadah yang mengakhiri masa lajangnya tahun 1990 menjadi sosok penting dibalik kesuksesan suaminya. Kesetiaan itu pula yang membuat Maya, panggilan akrab Maya Saadah, suatu ketika mengorbankan kepentingan studinya demi mendukung kesuksesan pendidikan S-3 suaminya di Amerika Serikat.
Ketika itu, Maya yang lulusan Akademi Sekretaris di Jakarta, tengah tekun menuntut ilmu jurusan Bahasa Inggris di Universitas Atma Jaya, Jakarta. Ia tinggalkan studi itu, dan memutuskan untuk bersama-sama suaminya hijrah sementara waktu ke Negeri Paman Sam, Amerika Serikat. Pengorbanan yang tulus seorang istri dan ibu dari kedua anaknya saat itu tidaklah sia-sia. Suaminya berhasil menyelesaikan studinya tepat waktu.
Penghargaan Sony terhadap perempuan bukan semata karena keciantaan dirinya kepada istri tercintanya, atau sebaliknya kesetiaan dan ketulusan istrinya dalam mendampingi hidupnya. Hal yang lebih mendasar adalah pemahaman sosok yang pernah menjadi pembicara persoalan kesetaraan jender di Australian National University (ANU) itu sendiri terhadap konsep kesetaraan gender. ”Persoalan kesetaraan gender saat ini, menjadi salah satu faktor munculnya kemiskinan di sejumlah negara. Bahkan jika terjadi suatu kemiskinan, perempuan akan menjadi kelompok yang paling terkena imbasnya,” kata sosok pemerhati masalah perempuan itu.
Pemahaman itulah yang mendasari sikap Sony untuk terus memperjuangkan hak perempuan agar bisa berdiri sejajar dengan laki-laki. Pengakuan Sony atas kesetaraan itu nampak jelas dari peluang berkarir bagi perempuan yang kerap ia berikan. Selama memegang jabatan tertentu, Sony tidak segan mengangkat staf perempuan, bahkan untuk posisi yang cukup strategis sekalipun, seperti manajer. Ini bisa dilihat ketika dirinya menjabat GM ESD di KPC.
Bagi Sony, perempuan memiliki keunggulan tersendiri yang tidak dimiliki kaum laki-laki, yaitu dalam hal ketelitiannya. Faktor ketelitian itu pula yang menurut John Naisbit dan Patricia Aburdene dalam bukunya Megatrends 2000, yang memungkinkan perempuan menjadi pemimpin di masa mendatang.
Perhatiannya terhadap persoalan perempuan membuat Sony tanpa berpikir panjang menerima tawaran menjadi pembina organisasi persatuan istri karyawan KPC (Periska) selama enam tahun. Di matanya, organisasi ini memiliki peranan penting dan berkontribusi terhadap produktivitas para suami, yang berujung pada pencapaian produktivitas perusahaan.
Eksistensi perempuan yang kadang diedentikkan sebagai ’orang wingking’ menurut Sony juga bukan zamannya lagi saat ini. Oleh karena itu, Sony berkeinginan membuat program pemberdayaan perempuan, jika suatu hari nanti berkesempatan menjadi seorang pemimpin dalam arti yang lebih luas. Saat ini, ketika dirinya masih terikat dengan profesinya sebagai bagian sebuah perusahaan, tentunya mewujudkan keinginan tersebut bukan hal mudah. Lebih lanjut Sony berpendapat, jika perempuan memiliki kesempatan berkarya yang sama dengan laki-laki, diharapkan mereka memiliki ’bargaining position’ (posisi tawar) yang memadai.
Mengapa bargaining position menjadi begitu penting? Jika dikaitkan dengan persoalan poligami misalnya, perempuan sering berada pada posisi lemah yang kadang tidak bisa menolak keinginan suami. Akibatnya dominasi suami begitu kuat terhadap istrinya. Namun demikian, bargaining position dan pemberdayaan perempuan dalam arti yang lebih luas, tidak hanya penting dalam persoalan poligami. Dalam kontek yang lebih luas pemberdayaan perempuan diharapkan membawa dampak yang lebih serius, yaitu terangkatnya harkat dan martabat perempuan itu sendiri.
Sony di Mata Sahabat
SELAMA kebersamaannya di kota tercinta Sangatta, aktivitas Sony di berbagai bidang telah mengukir persahabatan tersendiri. Berbagai kesan pun muncul, dari persahabatan yang dijalin sosok yang supel dalam bergaul itu. Beberapa komentar bahkan sempat terekam dalam sebuah video shooting saat Sony akan meninggalkan kota ini. Tentu saja, tidak semua kesan para sahabat bisa dituliskan dalam paparan singkat ini.
Louise Gerda Pessireron, Manajer Project Management and Evaluation, KPC mengaku terkesan dengan kepribadian Sony, yang menjadi atasan sekaligus sahabat bertukar pikiran. ”Pak Sony orangnya cukup terbuka, dan mengedepankan tim kerja. Beliau juga mau menerima masukan meski dari bawahannya. Dalam pergaulan, pak Sony cukup supel dan mau berteman dengan segala lapisan. Terkait pengembangan masyarakat, beliau memiliki pandangan tersendiri yang berpihak pada kepentingan masyarakat. Pendek kata, pak Sony bisa dianggap sebagai ’soko guru’,” demikian tutur perempuan yang cukup lama mengenal sosok Sony.
Sementara itu, DR. Nora Suzuki Mokodompit, Direktur Pusat Studi dan Kajian Bahasa Universitas 17 Agustus 1945, Samarinda melihat Sony sebagai sosok yang visioner dan peduli pada pendidikan yang berkualitas. ”Selama kebersamaan di Sangatta, saya mengenal pak Sony sebagai pribadi yang sederhana dan apa adanya. Beliau juga ramah, religius, dan pekerja keras,” kenang Nora terhadap sahabatnya.
Kesan lain juga datang dari pengusaha kecil. Hamka Darasa, dari Usaha Kecil Menengah Bengalon misalnya, menilai kontribusi Sony terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat yang berbasis bisnis kerakyatan cukup besar. Beliau juga memiliki loyalitas dan sifat kekeluargaan terhadap masyarakat kecil. Pendek kata, beliau sosok yang peduli dengan pemberdayaan masyarakat kecil. ”Panggilan pak Sony, sangat cocok untuk beliau. Jika diibaratkan merk elektronik, Sony adalah merk yang cukup handal dan sudah senior di bidangnya. Dimata saya, pak Sony juga sudah cukup senior dan handal,” demikian Hamka membuat perumpamaan sekaligus apresiasi terhadap sosok yang dianggap telah berjasa dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat kecil. ”Kami juga bisa merasakan program vital pembangunan baik makro maupun mikro yang digagasnya,” imbuhnya.
Bagaimana sosok Sony di mata Letkol Inf Mukhtar, Komandan Kodim 0909/Sangatta ”Bagi saya, pak Sony sosok yang baik, dan keluarganya cukup harmonis. Beliau merupakan sosok pemimpin yang cukup luas pergaulannya dan tidak banyak mengeluh. Selain itu, dalam hal keagamaan, sosok yang satu ini bisa dikatakan taat beribadah. Pendek kata pola hidup beliau cukup teratur,” demikian kesan Letkol Muhtar. Lebih lanjut, ia mendoakan semoga kesuksesan selalu menyertai Sony dalam meraih segala cita-cita yang diinginkan.
Berbicara sosok pak Sony, tidak lepas dari pembicaraan kejujuran dan integritas seseorang. Kalimat singkat itulah yang keluar dari bibir mungil DR. dr. Inggriani Gandha, Executive Director, International SOS Indonesia. Di matanya, Sony sosok yang lugas dan apa adanya. ”Pak Sony itu jujur banget, dan gak berbelit-belit orangnya. Jadi saya sangat nyaman berkomunikasi dengan beliau. Dalam membuat suatu program ukurannya cukup jelas, dan beliau akan mengawal program tersebut hingga tuntas dilaksanakan. Karena beliau sosok yang komunikatif, maka saya tidak perlu mengeluarkan energi banyak untuk berdebat, ataupun sekedar mengikuti jalan pikirannya. Bahkan bisa dikatakan segala keputusan yang disampaikan, tidak perlu penafsiran karena orangnya memang nggak neko-neko,” itulah pemaparan lugas dari sahabatnya yang mengenal Sony sejak tujuh tahun silam.
Bagi HM Suwito, S.Sos, tokoh masyarakat Jawa dan mantan Kepala Desa Sangatta Selatan, Sony digambarkan sebagai sosok yang bijaksana dan accountable dalam menjalankan tugas. Terhadap pemerintah daerah, Sony dinilai cukup aspiratif. Sosoknya yang sabar dan rendah hati membuat beliau mudah menjalin hubungan dengan berbagai lapisan masyarakat. ”Secara pribadi, saya mengakui bahwa beliau sosok yang baik,” ungkap Suwito.
Tidak jauh berbeda dengan komentar banyak pihak, Ir Ismunandar, MM Sekretaris Badan Pelaksana Forum Multi- Stakeholder CSR Kabupaten Kutai Timur juga mengatakan Sony sebagai sosok yang rendah hati. ”Beliau memiliki jenjang pendidikan yang tinggi hingga mencapai gelar doktor. Dari segi posisi, beliau memiliki jabatan cukup tinggi sebagai seorang GM. Namun demikian, beliau masih tetap mau bertemu dan melayani seluruh lapisan masyarakat, bahkan sampai ke tingkat desa,” demikian pengakuan Ismunandar yang cukup banyak menjalin kerjasama dengan Sony selama di Sangatta. Selain itu, ia mengenal Sony sebagai sosok yang cepat tanggap dan peduli dengan permasalahan yang ada di tengah masyarakat.
Kesan sosok rendah hati agaknya menjadi pendapat umum yang berkembang di kalangan sahabat-sahabat Sony. Ini terbukti dari banyaknya komentar senada yang diarahkan untuk sosok yang satu ini. Alwin Rondonuwu, tokoh masyarakat Sulawesi Utara yang saat ini menjabat Manajer Koperasi Karyawan Kaltim Prima Coal (K3PC) misalnya, menilai Sony juga sebagai sosok yang rendah hati dan fleksibel dalam pergaulan. ”Beliau mau menerima masukan dari siapa saja. Sebagai seorang pemimpin, beliau merupakan sosok yang profesional sekaligus visioner,” ungkapnya. Sony dinilai memiliki visi yang jelas dari setiap program yang digagasnya.
Sementara itu, Ketua Persekutuan Dayak Kalimantan Timur (PDKT) Cabang Kutai Timur, Bayau Lung menilai Sony sudah berbuat sesuatu untuk masyarakat dan suku yang tinggal di pedalaman. ”Beliau itu orangnya baik dan terbuka sekali dengan segala lapisan masyarakat,” ungkapnya.
Berbagai kesan yang muncul dari berbagai kalangan terhadap Sony, setidaknya memberikan sedikit gambaran bagaimana keseharian, kepribadian, integritas, sekaligus tipe kepemimpinannya. Sikapnya yang terbuka, rendah hati, bersahabat, dan menghargai orang lain lebih disebabkan oleh tingginya penghargaan dirinya terhadap nilai-nilai kemanusian, bukan semata didasari sebuah keinginan memperbanyak teman.
Sikap ini semakin mematangkan karakter Sony sebagai profesional yang tidak hanya peduli dengan pemberdayaan masyarakat dan pengembangan ekonomi rakyat, tetapi juga mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dalam setiap gerak langkahnya. Pendek kata, Sony tidak sekedar sebagai seorang profesional. Lebih dari itu, ia adalah sosok teknokrat yang humanis, yang siap bergandengan dengan siapa saja demi mencapai kesejahteraan bersama.