Kecerdasan Sosial Kunci Sukses Pemimpin (Refleksi Ketokohan KH Ubaidi Usman)

Pekerja keras dan cinta ilmu pengetahuan. Ungkapan itu agaknya tepat untuk menggambarkan sosok ini. Tokoh yang lahir di desa kecil Sirau 1932 silam itu menghabiskan sebagian hidupnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan dunia pendidikan di daerah kelahirannya. Ia adalah KH. Ubaidi Usman yang akrab disapa Ubaidi. Meski lahir di desa, pemikiran dan perhatiannya pada dunia pendidikan terbilang luar biasa pada zamannya.

Hobby membaca dan belajar sudah ditunjukkan Ubaidi sejak kecil. Ini dibuktikan dengan kerajinannya mengaji dan berguru pada para guru ngaji dan kyai kala itu. Menginjak usia remaja, putra pasangan Usman dan Kasinah inipun memutuskan memperdalam ilmu agama di salah satu pesantren yang terletak di Bendo, Pare, Kediri. Jarak yang cukup jauh tidak menyurutkan semangatnya. Dengan berbekal doa ayah ibunya, ia pun berhasil menyelesaikan pendidikan di Pesantren tersebut.

Sekitar tahun 1949, Ubaidi berhasil menyelesaikan pendidikannya dan bertekad kembali ke daerah asal untuk mengabdikan ilmunya. Perjalanan pulang kampung pun dilakoninyadengan  jalan kaki. Hampir satu bulan lamanya perjalanan ia tempuh. “Bapak pulang jalan kaki karena saat itu ada agresi militer Belanda kedua. Selama perjalanan Bapak sering ngumpet agar tidak ditangkap Belanda,” tutur Ubaidi kepada anak-anaknya. Cerita pengantar tidur yang selalu diulang itu, ia maksudkan agar anak-anaknya tidak mudah menyerah dalam menuntut ilmu.

Merintis Lembaga Pendidikan

Tiba kembali di desa kelahirannya, Ubaidi masih rajin mengaji kepada Kyai Mukri, yang kelak akan menjadi mertuanya. Selain berguru, ia juga turut membantu pengajian yang ditangani sang Kyai. Kala itu, tepatnya tahun 50-an, Ubaidi beserta teman-teman seperjuangannya sudah mulai merintis Sekolah Arab. Desa Sirau pun menjadi magnet bagi para pencari ilmu dari berbagai daerah.

Ubaidi beserta teman-teman seperjuangannya terus berupaya mengembangkan lembaga pendidikan, hingga akhirnya terbentuklah Madrasah Wajib Belajar (MWB). Kesuksesan membentuk MWB tidak membuat Ubaidi berpuas diri. Tahun 1962, ia pun turut membidani lahirnya Pendidikan Guru Agama (PGA) dan Madrasah Tsanawiyah dan ‘Aliyah yang semuanya bernaung di bawah Yayasan Mu’allimin.

Keikhlasan Ubaidi mengurusi lembaga pendidikan membuat dirinya tidak pernah terpikir dengan status kepegawaiannya. Hingga akhirnya atas saran sejumlah pihak, ia pun mengikuti ujian guru negeri. Tahun 1967 menjadi tonggak kiprah Ubaidi di dunia pendidikan dengan status PNS. Yayasan Mua’allimin yang kala itu menaungi pendidikan dari TK,MI, MTs hingga MA maju pesat di bawah kepemimpinannya. Desa Sirau menjadi salah satu referensi masyarakat yang ingin memburu ilmu, khususnya ilmu agama.

Mimpi Ubaidi mengembangkan lembaga pendidikan yang diasuhnya tidak pernah pudar. Dalam sebuah pidato pelepasan siswa MTs dan MA, Ubaidi pernah menyampaikan keinginanya untuk membentuk Perguruan Tinggi guna menampung lulusan MA yang dipimpinnya. “Bapak Ibu para wali murid, saya mengajak bapak ibu untuk membangun lembaga pendidikan yang lebih tinggi agar anak anak kita bisa kuliah disini. Rencana ini bisa terwujud jika kita mau kerja keras sama-sama,” tegasnya dalam gaya orasi yang berapi-api. Sayang impian besar itu tidak terwujud hingga “pahlawan tanpa tanda jasa” itu menghembuskan nafas terakhirnya.

Sang tokoh tidak hanya mewariskan lembaga pendidikan formal. Untuk menampung siswa yang berasal dari luar daerah, Ubaidi sempat membangun asrama yang akhirnya berubah menjadi Pesantren Darul ‘Ulum Sirau.  Meski sosok Ubaidi telah tiada, namun warisan besarnya masih terpelihara di tangan putra putrinya, termasuk MA Mua’allimin yang sejak tahun 2012 berubah nama menjadi MA Ma’arif I Sirau.

Sosok Dibalik Kesuksesan

“Dibalik pria sukses selalu ada wanita tangguh yang mendampinginya”. Pepatah itu laksana doa bagi sosok Ubaidi. Kesuksesannya memimpin lembaga pendidikan di Sirau tidak terlepas dari peran perempuan tangguh yang mendampingi hidupnya dalam suka dan duka. Perempuan itu adalah Hj. Nur Sa’idah, gadis kembang desa Sirau yang lahir tahun 1932. Putri bungsu pasangan Kyai dan Nyai Mukri ini merupakan hadiah terindah yang diperoleh Ubaidi.

“Dulu ketika bapak rajin ngaji ke mbah Mukri, ibumu masih sering ketidur dipangkuan ayahnya yang lagi ngajar ngaji,” kenang Ubaidi yang diselipkan dalam cerita pengantar tidur kepada anak-anaknya. “Mbah Mukri itu terkesan sama Bapak yang rajin dan pintar ngaji. Makanya disuruh nikah sama ibu,” kelakar Ubaidi mengenang masa lalunya. Akhirnya mereka pun menikah tahun 1955. Dari pernikahan itu, Ubaidi dan Sa’idah dikaruniai enam putri dan dua putra.

Sebagai putri tokoh besar kala itu, Sa’idah lahir dan besar dalam gelimang harta dan sarat penghormatan. Latar belakang hidupnya tidak membuat Sa’idah enggan mengikuti pola hidup sang suami yang menghabiskan hidupnya untuk berjuang. Ubaidi yang kala menikah dengan Sa’idah masih harus fokus merintis pendidikan, tidak segan-segan menyisihkan sebagian pendapatannya untuk kelancaran operasional sekolah. Salah satunya adalah konsumsi guru yang tiap hari harus ia tanggung sendiri karena memang tidak ada dana dari sekolah.

Ubaidi tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual. Ia juga memiliki kecerdasan sosial yang luar biasa. Masih jelas dalam ingatan banyak orang ketika ia harus merelakan rumahnya untuk menampung para siswa yang berasal dai luar daerah. Kala itu, asrama atau pesantren belum terbangun karena minimnya dana yayasan. Terhadap semua langkah suaminya, Sa’idah terus mendukung sebagai bagian dari pengabdiannya sebagai istri. Ubaidi menghargai pengabdian itu dengan memberikan pengajaran khusus hingga Sa’idah mampu menjadi da’iyah kondang dan pemimpin organisasi, seperti Muslimat NU.

Meski tidak lahir di era modern, Ubaidi paham benar apa arti kesetaraan dan emansipasi. Tidak mengherankan jika sampai akhir hayatnya Ubaidi selalu memberikan kesempatan pada istrinya untuk tampil di berbagai panggung dakwah. Sikap ubaidi tersebut juga ditunjukkan pada para putrinya melalui pesan-pesan yang disampaikan di tengah obrolan santai. “Anak-anakku meski kalian perempuan, Bapak tidak ingin kalian hanya menjadi ibu rumah tangga yang diam di rumah. Kalian harus tetap punya profesi yang bisa dibanggakan,” demikian pesan yang disampaikan pada anak-anak perempuannya.

Sayang Keluarga

Kesibukan dan perhatian Ubaidi pada dunia pendidikan tidak membuat dirinya jauh dari anak-anaknya. Bagi Ubaidi kedekatan dengan anak tetap menjadi prioritas utama. Ia tidak pernah capek menyempatkan ngajar ngaji hingga membantu mengerjakan PR anak-anaknya di sela-sela kesibukan kerja.

Tidak hany itu, tiap hari Ubaidi selalu menceritakan dongeng pengantar tidur bagi anak-anaknya. Dari mulai dongeng “Kancil Nyuri Mentimun” sampai kisah-kisah para nabi menjadi santapan harian yang disuguhkan kepada putra putrinya. Tentu saja, suguhan kisah masa lalu Ubaidi tidak pernah ketinggalan diceritakan meski sifatnya pengulangan yang kadang sudah sangat dihafal oleh anak-anaknya. Disela-sela dongeng dan cerita itulah Ubaidi menyelipkan ajaran moral tentang kehidupan.

Kini ayah dan tokoh besar itu telah tiada, namun cerita dan perjuangannya tidak akan pernah dilupakan oleh orang-orang yang mengasihinya. Ubaidi pergi bukan meninggalkan harta, melainkan meninggalkan warisan ilmu pengetahuan dan lembaga pendidikan yang dirintisnya sejak muda. Sang tokoh, KH Ubaidi Usman berpulang ke rahmatulloh tahun 2006, tidak lama setelah kepergian istri tercintanya, Hj. Nur Sa’idah menghadap Sang Pencipta.

(Disarikan dari berbagai dokumen dan wawancara sejumlah saksi sejarah)

error: Content is protected !!