Perempuan di Panggung Politik: Peluang dan Tantangan
“Perempuan, dalam hidupnya enggan melakukan negosiasi. Mereka lebih senang menerima sesuatu dibanding harus bertanya tentang sesuatu”. Pendapat yang disampaikan Linda Babcock dan Sara Laschever itu tertuang dalam buku “Woman don’t Ask: Negotiation and the Gender Devide”. Pernyataan tersebut diperoleh dari hasil penelitian terhadap sejumlah perempuan dari berbagai usia.
Hasil penelitian tersebut memiliki keterkaitan dengan pembicaraan perempuan dan politik. Langkanya perempuan yang aktif di dunia politik barangkali juga karena keengganan perempuan melakukan negosiasi dan terlibat perdebatan keras yang kadang bahkan menjurus saling serang persoalan pribadi. Selain hal tersebut, barangkali faktor yang lebih mendasar adalah jarangnya perempuan yang membekali diri dengan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang memadai.
Di balik kedua alasan tersebut, tidak jarang perempuan mengkaitkan keengganannya di dunia politik dengan persoalan diskriminasi. Diskriminasi, sebuah kata yang sering dilihat sebagai sesuatu yang menyudutkan perempuan. Karena diskriminasi itulah, perempuan kerap menuntut sebuah emansipasi. Bahkan perempuan kerap mengungkapkan emansipasi sebagai sebuah perjuangan. Hingga pada akhirnya perjuangan itu melahirkan sebuah kesetaraan.
Jika kita tarik benang merah antara diskriminasi, emansipasi, dan kesetaraan, akan melahirkan berbagai pertanyaan. Diskriminasi oleh siapa, emansipasi terhadap siapa, dan kesetaraan dengan siapa. Jawabannya tentu saja tidak lain adalah makhluk Tuhan yang bernama laki-laki. Ya, laki-laki menjadi pihak tertuduh yang paling dominan atas ketidaksetaraan yang dialami kaum perempuan.
Kesiapan Perempuan
Sebelum menuduh diskriminasi sebagai biang terpinggirkannya kaum perempuan dari sektor publik, khususnya panggung politik, ada baiknya kita mencoba menengok kesiapan perempuan. Sudahkah perempuan memiliki kemampuan untuk bersaing dan eksis?
Dilihat dari sisi pengalaman dan ilmu pengetahuan, masih cukup banyak perempuan yang kurang membekali diri dengan hal tersebut. Padahal kedua hal itu mutlak harus dimiliki ketika perempuan ingin eksis di lembaga publik. Ketidaksiapan itu bisa dilihat ketika perempuan menuntut sejumlah kursi di legislatif. Perempuan ingin diberi hak yang berimbang dengan laki-laki, demi menyuarakan aspirasi kaumnya di lembaga wakil rakyat.
Sayang sekali, ketika perjuangan itu berhasil, justru perempuan yang tidak siap. Kuota 30 persen yang diberikan kepada perempuan tidak bisa terpenuhi. Sejumlah partai politik bahkan kesulitan mencari kader perempuan yang siap menduduki kursi legislatif, sesuai prasyarat yang sudah ditentukan. Ujung-ujungnya partai politik menaruh sembarang nama tanpa mempertimbangkan kualitas perempuan yang dinominasikan, hanya demi memenuhi regulasi pencalonan anggota legislatif.
Persoalan tidak berhenti sampai disitu saja. Sejumlah perempuan yang berhasil masuk lembaga wakil rakyat itupun, nyaris tanpa suara. Mereka tidak lebih sebagai pelengkap penderita. Suara DPR dari pusat hingga ke daerah lebih didominasi oleh laki-laki. Bahkan untuk memperjuangkan nasib kaumnya sendiri, seolah masih bergantung pada suara laki-laki. Mungkinkah ini faktor ilmu pengetahuan dan pengalaman yang juga tidak memadai?
Perempuan yang dikenal teliti dan intelligent sesungguhnya memiliki peluang sangat besar untuk eksis di berbagai sektor. Namun, perempuan sendiri yang kadang membuat sekat-sekat bahwa sektor tertentu tidak layak untuk perempuan. Dunia militer misalnya, kurang mendapat minat perempuan, karena dianggap tidak sesuai dengan kodratnya sebagai perempuan yang terlahir penuh kelembutan. Padahal dunia militer membuka kesempatan seluas-luasnya bagi putra putri bangsa, tanpa membedakan jenis kelamin.
Pemikiran keterbatasan fisik perempuan, menjadi persoalan tersendiri, selain kurang siapnya perempuan dari sisi ilmu pengetahuan dan pengalaman. Perempuan menghakimi dirinya sendiri sebagai kaum yang lebih pas menonjolkan penampilan fisik, dibanding pikirannya. Kondisi ini menggiring perempuan sibuk memikirkan penampilan ketimbang membekali dirinya dengan berbagai kemampuan.
Memikirkan penampilan dengan beragam kosmetik tentu saja bukan sesuatu yang salah apalagi berdosa. Persoalannya adalah, ketika penampilan itu diorientasikan sebagai sesuatu yang layak dinikmati, perempuan akan kembali menjadi objek. Lantas, masih wajarkah perempuan mununtut kesetaraan?
Diskriminasi oleh Perempuan
Barangkali agak aneh kedengarannya, ketika perempuan dicap sebagai pelaku diskriminasi atas kaumnya sendiri. Meski terdengar aneh, bukan berarti hal ini tidak terjadi. Kita mengenal berbagai organisasi yang menjadi wadah aktifitas kaum perempuan. Pada organisasi itu, tidak jarang istri pejabat tertinggi akan otomatis menduduki posisi ketua.
Pola penghormatan istri berdasar jabatan suami itu, tentu saja akan menutup peluang perempuan yang mungkin lebih siap memimpin, baik dari sisi pengalaman maupun ilmu pengetahuan. Tanpa disadari praktek diskriminasi telah dilakukan oleh perempuan itu sendiri.
Diskriminasi oleh perempuan sesungguhnya tidak hanya terjadi secara kelembagaan. Secara individu, perempuan kadang masih memandang remeh terhadap sesama perempuan. Ketika diminta memilih seorang pemimpin misalnya, terkadang perempuan masih ragu dengan kemampuan kaumnya sendiri. Atau sebaliknya, ketika seorang perempuan menjadi bos misalnya, kecenderungannya akan memilih staf lakilaki yang dianggap lebih siap bekerja. Jika kondisinya demikian, masihkah perempuan menganggap laki-laki sebagai biang diskriminasi?
Kartini Era Modern
Di era modernitas saat ini, peluang untuk berkarir dan berkarya bagi perempuan sangat terbuka lebar. Perjuangan perempuan seharusnya bukan lagi menuntut kesetaraan, tetapi lebih pada pembekalan diri untuk menyongsong peluang yang ada. Hal ini tentu berbeda dengan era Kartini, dimana hak perempuan memang dipasung. Perempuan saat itu terbelenggu oleh budaya yang sama sekali tidak memihak pada kaum Kartini. Barangkali jika Kartini saat ini masih hidup, ia pun lebih senang berjuang membekali kemampuan perempuan, dibanding sibuk dengan urusan kesetaraan.
Pemaknaan perjuangan Kartini saat ini, barangkali juga harus diperdalam. Saat ini, perempuan masih senang memperingati hari Kartini dengan kegiatan seremoni semata, seperti kontes kebaya. Sepintas, peringatan hari Kartini belum sah, tanpa identitas kebaya. Kalau pada saat itu Kartini identik dengan busana kebaya, semata tuntutan budaya berpakaian di zamannya. Di balik kebaya yang dikenakannya, kartini memiliki pemikiran yang begitu jauh, hingga menembus batas pemikiran manusia pada zamannya.
Tengoklah isi buku Habis Gelap Terbitlah Terang, yang dirangkum dari surat-surat Kartini oleh Abendanon. Keinginan, pemikiran, dan konsepnya untuk membekali eksistensi perempuan sangat luar biasa. Sayang sekali, kalau kaum perempuan justru tidak bisa memaknai perjuangan Kartini dengan baik. Atau bisa jadi tidak banyak perempuan yang membaca buku tersebut, sehingga Kartini dianggap identik dengan kebaya. Lagi-lagi perempuan terjebak oleh pola pikir yang justru jauh dari pahlawan yang diagungkannya, Kartini.
Jebakan Gender
Jika boleh disimpulkan, pembicaraan diskriminasi, emansipasi, dan kesetaraan justru akan menjebak kaum perempuan itu sendiri. Sebab, persoalan yang dihadapi perempuan dan laki-laki sesungguhnya merupakan persoalan yang bersifat universal dan tidak terkait gender. Kemiskinan, rendahnya kualitas kesehatan, dan mahalnya dunia pendidikan merupakan contoh persoalan yang dihadapi sebagian besar masyarakat kita tanpa memandang jenis kelamin.
Sudah saatnya perempuan membekali diri dengan berbagai kemampuan jika ingin eksis di sektor publik. Pembicaraan persoalan emansipasi bisa jadi justru akan membawa perempuan pada perdebatan yang tidak berujung. Minimnya jumlah perempuan yang memiliki kemampuan dan pengetahuan memadai, sesungguhnya peluang besar bagi perempuan untuk lebih eksis. Mengana demikian?
Secara umum, jumlah laki-laki yang membekali diri dengan berbagai skill dan pengetahuan lebih banyak. Artinya, persaingan diantara mereka sudah sedemikian ketat.
Disisi lain, jumlah perempuan yang memiliki kemampuan dan pengetahuan memadai masih sangat terbatas. Oleh karena itu, sedikit saja perempuan memiliki kemampuan, peluang untuk eksis sangat besar. Dengan kata lain, persaingan antar perempuan sendiri tidak seketat yang terjadi pada dunia laki-laki. Semua kembali pada perempuan. Mampukah mereka menangkap peluang itu?
Semoga perempuan lebih arif memaknai emansipasi, sehingga Kartini akan tersenyum bangga melihat hasil perjuangannya, bukan menangis sedih karena kaumnya salah memaknai pemikirannya.