Pekerja Perempuan di Tambang MEMAKNAI EMANSIPASI TANPA RETORIKA

“Aku tidak paham makna emansipasi. Aku kerja dan berkarya demi masa depan anak-anak, bukan untuk sebuah emansipasi”. Kalimat sederhana namun penuh makna itu, disampaikan Umandia (49), perempuan yang sudah 26 tahun bekerja sebagai operator alat berat di tambang PT Kaltim Prima Coal (KPC).

Umandia hanyalah satu dari ratusan operator yang fokus pada tugasnya sebagai pekerja tambang. KPC mempekerjakan perempuan sebagai operator alat berat sejak tahun 1992. Kini jumlah mereka mencapai 128 orang. Mereka bekerja tanpa disibukkan oleh konsep emansipasi dan segala hal yang terkait tuntutan akan sebuah kesetaraan.

Sebagian operator perempuan memberikan makna emansipasi dengan konsep yang cukup sederhana. “Menurut saya, emansipasi adalah perempuan bisa mengerjakan pekerjaa laki-laki“, ungkap Karticha (28), operator peraih penghargaan the best top gun operator Asia. Perempuan yang sudah 12 tahun mengoperasikan alat berat di tambang itu juga menegaskan “Aku bisa mengerjakan pekerjaan laki-laki bukan berarti berorientasi demi emansipasi. Sebagai single parent, aku bertanggungjawab penuh untuk kehidupan dan masa depan anakku”.

Pemikiran tentang emansipasi para operator perempuan di tambang, barangkali jauh berbeda dengan pemikiran para aktifis gerakan perempuan yang sibuk menyuarakan tentang kesetaraan gender. Para operator perempuan tidak bersuara lantang bahwa mereka melakukan emansipasi. Namun apa yang mereka kerjakan di dunia kerja yang sangat keras itu, lebih dari sebuah emansipasi.  Dengan kata lain, perempuan pekerja tambang memaknai “emansipasi tanpa retorika”.

Emansipasi Mutlak

Pembicaraan emansipasi sejatinya terkait erat dengan persoalan kesetaraan hak dan kewajiban. Namun realitanya banyak perempuan yang lebih suka bersuara lantang untuk kesetaraan hak. Lantas bagaimana dengan kesetaraan kewajiban? Barangkali hal yang satu ini sedikit kurang diperbincangkan karena orientasi perjuangan lebih focus pada kesamaan hak.

Ketika menengok operator perempuan di tambang, sebagai perempuan saya sangat bangga dengan eksistensi mereka. Operator perempuan melaksanakan semua pekerjaan tambang sebagaimana yang dikerjakan laki-laki. Mereka memiliki kewajiban yang sama persis dengan laki-laki yang berprofesi sebagai operator dalam segala sisi. Dilihat dari seragam yang dikenakan, baik operator laki-laki meupun perempuan sama-sama mengenakan helm, rompy, celana jeans, dan sepatu safety yang cukup berat.

Dari sisi alat yang dikendarai, tidak ada keistimewaan perempuan boleh memilih armada tambang yang berukuran kecil. Mengemudikan dump truck dengan kapasitas angkut 360 ton juga dilakukan oleh perempuan. Tidak hanya itu, perempuan juga harus bisa kerja dalam shift malam. Ketika giliran tersebut tiba, operator perempuan akan terjaga sepanjang malam di atas kabin alat berat di tengah hutan yang sunyi.

Tidak berlebihan jika dikatakan operator perempuan melaksanakan “emansipasi mutlak”. Konsep kesetaraan gender sangat mudah ditemukan di dunia tambang. Padahal, sejumlah pendapat mengatakan bahwa tambang adalah dunia kerja maskulin yang lebih cocok untuk laki-laki disbanding perempuan. Pendapat ini tidaklah salah, karena dunia kerja tambang memang terbilang cukup keras.

Tambang umumnya jauh dari kota bahkan umumnya terletak di hutan belantara. Armada pendukung pekerjaan berukuran sangat besar dengan aturan keselamatan kerja yang sangat ketat. Debu dan lumpur adalah pemandangan harian yang akan mereka temui. Kondisi tersebut sejatinya sangat tidak cocok dengan karakter perempuan yang dikenal lembut dan bahkan terkadang terkesan lemah. Namun realitanya, sejumlah perempuan berhasil menaklukkan dunia keras tersebut dengan sangat baik.

Mereka tidak perlu berteriak emansipasi untuk bisa bekerja di tambang hingga puluhan tahun lamanya. Bahkan hasil riset terhadap operator perempuan di tambang KPC membuktikan bahwa sejak awal perempuan bekerja di tambang tahun 1992, belum pernah ada lost time injury (LTI) yang melibatkan perempuan. Sebagian mereka bahkan menjadi the best operator hingga ke level Asia.

Perempuan yang dikenal teliti dan hati-hati berdampak sangat signifikan terhadap kesuksesan kerja di tambang. Ini terbukti dari data pelanggaran disiplin yang sangat kecil yang melibatkan perempuan. Dengan realita tersebut, masihkah dikatakan bahwa tambang adalah dunia kerja maskulin? Atau masih wajarkah kalau dikatakan bahwa perempuan adalah kaum lemah yang hanya bisa mengandalkan tubuh dan penampilan agar bisa eksis?

Sejumlah perempuan tambang mengaku sangat tidak setuju kalau tambang dikatakan sebagai dunia kerja laki-laki. Shierly (50) perempuan yang mahir mengoperasikan backhoe dan shovel itu dengan keras menentang anggapan tersebut. “Saya tidak setuju kalau tambang dibilang dunia kerja laki-laki. Buktinya saya mampu bekerja di sini selama 26 tahun” paparnya.

Asset Berharga

Hasil riset membuktikan bahwa perempuan mampu menunjukkan hasil kerja yang luar biasa. Artinya, perempuan adalah asset yang begitu berharga bagi sebuah korporasi, khususnya perusahaan tambang. Kedisplinan, ketelitian, dan ketekunan mereka berdapkan signifikan terhadap keselamatan operasi tambang. Dengan demikian, potensi terjadi kerugian baik finansial maupun jiwa bisa diperkecil. Dampaknya adalah penghematan biaya operasional bisa ditingkatkan.

Melihat hal tersebut, tentunya tidak ada alasan bagi industri pertambangan untuk tidak mempekerjakan perempuan di tambang. Memberi kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan untuk bekerja di tambang adalah bagian dari upaya menciptakan kesetaraan gender dalam semua lini kehidupan. Tentu saja, industri pertambangan juga harus mau dan mampu membuat payung regulasi yang jelas agar hak-hak perempuan juga terlindungi dengan baik. Dengan jaminan tersebut, potensi perempuan akan lebih maksimal untuk mendukung penambangan yang mengacu pada penerapan “good mining practice”. (Disarikan dari riset “Perempuan Pekerja Tambang”- bagian 1)

error: Content is protected !!